Barlian

From Ensiklopedia

Kolonel Barlian adalah seorang perwira militer dari Sumatra Selatan. Ketokohannya dikenal selain karena turut berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tapi juga karena sikapnya yang kooperatif terhadap pemerintah pusat ketika terjadi pergolakan yang melahirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Barlian lahir di Tanjung Sakti, Lahat, Sumatra Selatan pada 23 Juli 1922. Ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang terpandang. Ayahnya, H. Senapi, adalah tokoh terpandang yang bisa menyekolahkan Barlian, bersama kakaknya Ramli, ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Bengkulu. 

Setelah lulus dari HIS, Barlian melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Malang dan lulus pada 1940 (https://beritapagi.co.id/2021/05/18/). Sebelum mengenal dunia militer, Barlian pernah melanjutkan ke Sekolah Dagang di Bandung. Namun, pada 1942, terjadi peristiwa yang benar-benar tidak terduga. Perang Asia Timur Raya telah membuat situasi menjadi kacau. Barlian harus meninggalkan Sekolah Dagang. Barlian kemudian bekerja di Kantor Residen Bengkulu namun ia kembali berhenti pada 1943. Keputusan itulah yang kemudian membawanya terjun ke dunia militer.

Pada masa pendudukan Jepang, Barlian mendaftar sebagai Gyugun (Sumatera Kambu Gyugun). Tiga tahun kemudian, Barlian mendapatkan tugas untuk memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Karesidenan Bengkulu. Pada saat BKR berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Berlian menjadi Komandan TKR Karesidenan Bengkulu dengan pangkat Mayor. Pada 1950, Barlian ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat sebagai Kepala Staf Logistik. Puncak karier militer Barlian adalah ketika menjadi Panglima Tentara dan Teritorium (TT) II/Sriwijaya pada 1956, di mana Barlian terlibat dalam pembentukan Dewan Daerah yang merupakan embrio dari PRRI.

Pada 1956, di beberapa daerah dibentuk dewan-dewan daerah oleh perwira-perwira menengah yang rata-tara berpangkat kolonel atau letnan kolonel. Dewan daerah dibentuk karena ketidakpuasan perwira militer di luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Pada 22 Desember 1956, dibentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 26 Desember 1956, Barlian yang pada saat itu berpangkat letnan kolonel mendeklarasikan pendirian Dewan Garuda. Di Sumatra Utara terbentuk Dewan Banteng pada 20 Desember 1956 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein. Selain di Sumatra, di Sulawesi juga dibentuk Dewan Daerah yang bernama Dewan Manguni pada 17 Februari 1957. Pemimpin Dewan Manguni adalah Mayor Daniel Julius Somba.

Barlian membentuk Dewan Garuda dalam kapasitasnya sebagai Panglima TT II/Sriwijaya. Pada 9 Maret 1957, Barlian mengumumkan melalui radio bahwa ia telah mengambil alih kekuasaan administratif Provinsi Sumatra Selatan. Barlian mengambil kontrol dalam kapasitasnya sebagai komandan militer. Selain itu, pengambilalihan itu juga didasari oleh penolakan masyarakat sipil terhadap loyalis Jawa. Gubernur Winarno Danuatmodjo yang merupakan orang Jawa telah mendapatkan mosi tidak percaya dari masyarakat dan jajaran pemerintah daerah, sehingga Barlian mengambil langkah menyelamatkan negara dari disintegrasi.

Selain itu, mosi tidak percaya yang dilayangkan kepada gubernur juga telah menyebabkan kekosongan kepemimpinan (The Canbera Times, 1957). Selain mengambil alih pemerintahan, Barlian dan stafnya juga melakukan berbagai konsolidasi yang bertujuan mengakomodasi aspirasi rakyat Sumatra Selatan. Meskipun Kolonel Barlian pernah mengambil alih pemerintahan di Sumatra Selatan, sebagaimana dilakukan juga oleh Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatra Tengah pada 22 Desember 1956, namun Kahin & Kahin (1997) secara kronologis menguraikan berbagai perdebatan yang terjadi dalam tubuh Dewan Daerah sampai akhirnya Kolonel Barlian memilih untuk tidak bersikap represif.

Barlian sebenarnya berharap ada pertemuan di antara Dewan Daerah dan A.H. Nasution sebagai jalan tengah atas persoalan yang terjadi. Namun, pertemuan itu tidak pernah terlaksana sehingga Barlian berharap pertemuan di Sungai Dareh yang dilaksanakan pada 9-10 Januari 1957 dapat menjadi jalan tengah dan tidak terjadi perpecahan antara Dewan Daerah dan pemerintah pusat. Pertemuan di Sungai Dareh dihadiri para perwira militer serta beberapa tokoh politik terutama dari Partai Masyumi, seperti Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir, dan Sjafruddin Prawiranegara. Pada pertemuan tersebut, pihak perwira militer sangat membutuhkan dukungan masyarakat sipil untuk melawan pemerintah pusat dan mengusulkan pembentukan pemerintah tandingan. Sementara para tokoh dari Masyumi mengkhawatirkan tindakan Dewan Daerah yang mengarah pada gerakan separatis. Menurut mereka, pembentukan pemerintahan tandingan itu penting, namun harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan banyak hal, termasuk jangan sampai terpisah dari Indonesia.

Pergolakan ternyata bukan hanya terjadi di antara tokoh militer dan Masyumi saja melainkan juga dari tubuh militer sendiri. Dalam hal ini, Kolonel Barlian menolak pembentukan pemerintahan tandingan, meskipun tujuannya hanya menggertak saja, namun dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan. Ia merasa perlu berkonsultasi dengan para pendukung militer dan sipilnya di Palembang. Meskipun demikian, para perwira yang lain telah memperkirakan kemungkinan Barlian akan berbalik tidak mendukung langkah mereka. Padahal, diakui oleh Sjafruddin bahwa Sumatra Selatan adalah wilayah yang sangat penting karena menjadi sumber kekayaan minyak. Mengambil alih kekuatan militer dan ekonomi tentu sangat menentukan keberhasilan dalam melawan pemerintah pusat (Kahin, 2005).

Benar saja, pada 21 Januari, Kolonel Barlian menyatakan secara terbuka penolakan terhadap gerakan-gerakan yang akan memisahkan diri dari Jakarta. Meskipun sampai dengan pertemuan di Sungai Dareh, Kolonel Barlian tetap berkonsolidasi dengan Achmad Hussein, termasuk ketika mengambil alih pemerintahan di Sumatra Selatan, namun keikutsertaannya dalam pembentukan Dewan Daerah adalah untuk tujuan otonomi yang besar bagi Sumatra Selatan, pembangunan ekonomi, serta porsi yang besar bagi setiap daerah dalam menempatkan perwakilannya di pemerintahan.

Barlian sebagai pemimpin Dewan Garuda bersikap sangat hati-hati dan justru berbalik mendukung pemerintah pusat. Salah satu alasannya adalah karena secara geografis, Sumatra Selatan memiliki kedekatan dengan Jawa. Ia tidak menghendaki terjadi peperangan disebabkan oleh perbedaan etnis dan ideologi. Selain itu, Barlian juga memiliki kedekatan secara emosional dengan A.H. Nasution (Kahin, 1997: 61). Daripada mengontrol pemerintah daerah, Dewan Garuda menempatkan diri sebagai penasihat.

Meskipun mendukung pemerintah pusat, Barlian juga tidak serta merta menarik diri dari Dewan Daerah. Ketika pergolakan di berbagai daerah semakin masif hingga akhirnya pada 15 Februari 1958 Dewan Daerah mengumumkan pembentukan PRRI, Barlian tetap membebaskan para anggotanya yang menghendaki revolusi. Dikutip dari Berita Harian (1958) bahwa pembentukan PRRI telah membuat Barlian dilemma. Hal itu karena pendirian PRRI tentu membuat hubungan Dewan Daerah dengan militer pusat menjadi semakin renggang. Barlian segera mencari jalan tengah yang tidak merugikan pihak manapun, termasuk Dewan Garuda. Salah satu tindakan Barlian untuk mencegah disintegrasi di Indonesia adalah dengan tidak bergabung dalam PRRI sebagaimana diberitakan di beberapa surat kabar luar negeri termasuk Berita Harian dan The Canberra Times. Meskipun ia membebaskan para anggota Dewan Garuda untuk bergabung atau tidak dengan PRRI, namun secara prinsip, Dewan Garuda menyatakan tidak terlibat dalam gerakan PRRI.

Pada akhirnya, hanya ada satu pimpinan Dewan Garuda yang memutuskan bergabung dengan PRRI. Ia adalah Mayor Nawawi. Barlian membebaskan para anggotanya jika ingin melanjutkan cita-cita pembangunan di PRRI (Berita Harian, 1958). Alasan lain yang membuat Barlian tidak bergabung dengan PRRI adalah bahwa persoalan yang terjadi di daerah masih dapat diselesaikan secara damai. Ia menyatakan bahwa rakyat Sumatra Selatan tidak semestinya dijadikan sebagai landasan atau latar belakang tindakan kekerasan dalam bentuk apapun. Sementara itu, menurut Ricklefs (2005: 518-519), absennya pemimpin militer Sumatra Selatan disebabkan oleh kegelisahan bahwa secara geografis, Sumatra Selatan dekat dengan Jawa. Di Sumatra Selatan sendiri banyak sekali orang-orang Jawa yang bekerja di ladang dan kilang minyak yang sebagian besar menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu tentu justru akan sangat merugikan Dewan Garuda jika terlibat dalam pemberontakan PRRI.

Penulis: Rafngi Mufidah
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

“Militarists Seize South Sumatra”. 11 Maret 1957. The Canbera Times.

“Rebels Claim Big Battle Raging.” 29 Maret 1958. The Canbera Times.

“Pemberontakan Berakhir.” 19 April 1958. Berita Harian.

Kahin, A., & Kahin, G. M. (1997). Subversion as Foreign Policy: the Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. University of Washington Press.

Kahin, A. R. (2005). Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia.

“Mengenal Dua Pejuang Asal Lahat, Barlian dan Letda Abdul Karim” https://beritapagi.co.id/2021/05/18/mengenal-dua-pejuang-asal-lahat-kolonel-barlian-dan-letda-abdul-karim.html