Batig Slot Politiek

From Ensiklopedia


Batig Slot Politiek atau Politik Saldo Untung merupakan satu kebijakan dari Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch untuk mengambil keuntungan dari Sistem Tanam Paksa (Cuulturstelsel). Dapat dikatakan bahwa  Batig Slot Politik adalah upaya memaksimalkan sistem Tanam Paksa (1830-1870) yang telah berjalan (R. A. Djakatirtana 1961: 39).

Strategi Johannes Van den Bosch ini juga turut melibatkan pemimpin-pemimpin lokal di Jawa. Jika sebelumnya Gubernur Jenderal Daendels menempatkan Bupati sebagai pejabat dan bukan kepala daerah dalam birokrasi kolonial, maka pada politik Johannes Van den Bosch ini, derajat Bupati diangkat sehingga secara tidak langsung Bupati dapat mengendalikan rakyat untuk mematuhi tujuan dari Batig Slot Politik (A. M. Djuliati Suroyo 2000: 127). Namun demikian, pada akhirnya pemerintah kolonial melakukan kecurangan dan tidak menepati ketentuan-ketentuan yang telah berlaku dalam Sistem Tanam Paksa. Rakyat jajahan menderita karena beban yang diletakan di atas pundak rakyat semakin hari semakin berat.

Salah satu ciri dari Sistem Tanam Paksa adalah pemungutan pajak dari rakyat dalam bentuk hasil-hasil pertanian rakyat. Ketentuan dari Sistem Tanam Paksa yang dijalankan di Hindia Belanda terdapat dalam Stadsblad No. 22 tahun 1834. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak berjalan sesuai ketentuan. Pemerintah kolonial menyalahgunakan kekuasaan dari pemimpin tradisional untuk memaksa rakyat menyerahkan sebagian tanah dalam rangka menjalankan Sistem Tanam Paksa, sehingga berhasil memperoleh batig slot atau saldo untung dilihat dari angka keuntungan dari tahun ke tahun. Tercatat antara tahun 1832 dan 1867 saldo untung mencapai f 967 juta dan 10 tahun berikutnya, 1877, mencapai jumlah f 287 juta. Dengan demikian jumlah total saldo untung yang diperoleh negeri Belanda dari Sistem Tanam Paksa selama empat dasawarsa kurang lebih mencapai angka f 784 juta, sebuah angka yang cukup tinggi pada masa itu (TIM Nasional Penulisan Sejarah Nasional Indonesia 2010: 369).

Jenis tanaman perkebunan masyarakat Hindia Belanda telah ditentukan oleh pemerintah kolonial, seperti gula, nila/indigo, teh, tembakau, kayu manis, kapas dan kopi. Jelas bahwa tanaman-tanaman tersebut amat penting dalam Sistem Tanam Paksa. Dalam kebijakan Batig Slot Politiek, tanaman dagang terpenting yang ditanam adalah kopi, tebu/gula, dan nila/indigo. Selain itu jumlah masyarakat yang terlibat dalam penanaman ini juga penting. Pada 1858 terdapat 450.000 orang yang terlibat dalam penanaman kopi, 300.000 orang terlibat dalam penanaman tebu dan 110.000 orang dalam penanaman Nila (Tim Nasional Penulisan Sejarah Nasional Indonesia 2010: 361).

Pada 1860 seorang mantan pejabat kolonial bernama Eduard Douwes Dekker dengan menggunakan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max Havelaar. Buku ini menceritakan sikap dan Tindakan pemerintah kolonial yang lalim dan korup di Jawa yang kemudian menjadi perdebatan politik di Belanda untuk segera dihapusnya Cultuurstelsel (Ricklefs, 2005: 268-269).

Penulis: Sarlota Naema Sipa
Instansi: UNIVERSITAS NUSA CENDANA
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Djakatirtana, R. A., R. Santoso Poedjosoebroto (1961), Sedjarah Perekonomian. Jogjakarta: Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada.

Djuliati Suroyo, A.M. (2000), Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Ricklefs, M. C. (2005), Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

TIM Nasional Penulisan Sejarah di Indonesia (2010), Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV- Kemunculan Penjajah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.