Boechari

From Ensiklopedia
Boechari, Ketua Lembaga Arkeologi Fak. Sastra Universitas Indonesia (FSUI), Rawamangun Jakarta (1983). Sumber: Pusat Data TEMPO


Boechari adalah seorang arkeolog senior dan pakar epigrafi sejarah kuno Indonesia. Ia lahir pada tanggal 24 Maret 1927 di Rembang, Jawa Tengah. Ia menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra UI pada tahun 1950. Selain menjadi mahasiswa, ia juga mengajar di sekolah swasta. Bahkan, Boechari juga mendirikan Perguruan Ksatria bersama R.P. Soejono dan Daoed Joesoef. Pada tahun 1958 Boechari pindah ke Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno Indonesia sembari bekerja di Dinas Purbakala, yang kemudian berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Boechari lulus sebagai sarjana pada tahun 1958 dengan skripsi berjudul Tembaga Tulis dari Polengan.

Boechari adalah seorang yang mendedikasikan dirinya untuk riset kepurbakalaan. Setiap ada data prasasti baru, ia akan menganalisanya. Akibatnya, penulisan disertasinya tidak pernah selesai, meski pembimbingnya, J.G. de Casparis, sudah berulang kali mengingatkan. Dengan berbagai pertimbangan, maka Prof. Koentjaraningrat dan Prof. Soekmono berupaya agar disertasi Boechari dapat bisa dalam bentuk kumpulan tulisan. Untuk itu Boechari hanya perlu menulis kata pengantar dan penutup (Djafar, 2012: 17).

Semasa aktifnya Boechari mencetuskan banyak pendapat dan teori, salah satunya yang paling terkenal adalah pembacaan prasasti Kedukan Bukit. Dalam teori yang dilontarkannya, Boechari fokus pada satu kata. Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa Dapunta Hyang datang di suatu tempat bernama ma [ … ]. Setelah kata ma tulisan di prasasti itu tidak dapat terbaca dengan jelas, sehingga muncul banyak interpretasi. Kelanjutan dari kata ma itu diartikan dengan banyak interpretasi oleh berbagai peneliti. Salah satunya adalah G. Coedes yang membaca ma tersebut sebagai matayap. N.J. Krom membacanya sebagai malayu, sedangkan Slamet Muljana membacanya sebagai matadanau. Boechari berkontribusi dengan teori baru. Ia membacanya sebagai mukha upang. Kata upang yang diajukan oleh Boechari sebagai pembacaan baru itu ternyata memang dapat dijumpai di peta-peta kuno. Bahkan kata upang juga masih tersisa sebagai nama desa di sebelah timur laut kota Palembang.

Selain pembacaan baru itu, Boechari juga melontarkan teori mengenai asal-usul wangsa Sailendra, merevisi teori ilmuwan asing yang menyatakan bahwa wangsa Sailendra berasal dari luar Indonesia, yakni Kalingga dan Padhya di India, sebagaimana dikatakan masing-masing oleh R.C. Majumdar dan Nilakanta Sastri. Ilmuwan Belanda, J.L. Moens sependapat dengan teori kedua ilmuwan India tadi. Di sisi lain, Ilmuwan Prancis, G. Coedes berpendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari Funan, yang saat ini adalah Kamboja.

Guna mematahkan pendapat-pendapat ini, Boechari melakukan pembacaan atas prasasti Sojomerto dan menyimpulkan bahwa wangsa Sailendra berasal dari Indonesia, bukan dari India maupun Kamboja. Boechari mendasarkan teorinya itu atas penyebutan nama Selendra dalam prasasti Sojomerto yang merupakan ejaan Indonesia dari kata Sansekerta: Sailendra (Boechari, t.t.). Setelah berkontribusi besar pada ilmu epigrafi serta menempatkan ilmuwan Indonesia dalam diskusi mengenai sejarah Indonesia, Boechari wafat pada tanggal 28 Mei 1991 karena sakit yang dideritanya.

Penulis: Muhammad Asyrafi
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Boechari. “Preliminary Report on the Discovery of an Old-Malay Inscription at Sodjomerto.” Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia 3 (n.d.): 241–51.

Djafar, Hasan. “Riwayat Hidup Singkat Prof. M. Boechari (Rembang, 2 Maret 1927 -Jakarta, 28 Mei 1991).” In Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, xiii–xvi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 50 Tahun Lembaga Purbakala Dan Peninggalan Nasional. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.