Datoek Soetan Maharadja

From Ensiklopedia

Datoek Soetan Maharadja dapat dikatakan sebagai perintis pers nasional di Pulau Sumatra (Amran, 1988). Bahkan penulis asing menyebutnya sebagai bapak wartawan Melayu karena memelopori penerbitan surat kabar dalam bahasa Melayu (Darwis, 2013: 88). Datoek Soetan Maharadja adalah tokoh yang sangat dikenal di Pantai Barat Sumatra, bukan saja karena latar belakang keluarga dan kedudukannya, melainkan juga karena keterlibatannya di dunia jurnalistik. Bergiat di dunia pers, beliau juga dikenal sebagai organisator dan pendiri berbagai klub dan perkumpulan untuk orang Indonesia. Datoek Soetan Maharadja lahir di Nagari Sulit Air, Solok, Sumatra Barat, pada 27 November 1862. Beberapa sumber menyebutkan tentang tahun kelahiran Datoek Soetan Maharadja seperti menurut surat kabar Soenting Melajoe pada tahun 1912, beliau berumur  50 tahun, sementara itu, Taufik Abdullah menyebutkan bahwa tahun kelahiran beliau adalah tahun 1860. Ketika lahir, Datoek Soetan Maharadja bernama Mahyudin kemudian namanya berubah menjadi Datoek Soetan Maharadja karena beliau merupakan keturunan bangsawan dari garis ayahnya Datoek Bendaharo. Datoek Soetan Maharadja menjalani pendidikan dasar hingga sekolah tinggi di Padang. Pada 1876, ia magang di kantor jaksa di Padang. Kemudian pada 1882, ia dipromosikan ajudan jaksa di Indrapura. Setahun kemudian ia dipindahkan ke Padang sebagai ajudan jaksa kepala di Padang. Enam tahun kemudian pada 1888, ia kembali dipindahkan ke Pariaman dan pada tahun inilah ia kemudian diangkat sebagai jaksa (Adam, 2003: 228).

Selain menjadi jaksa, Datoek Soetan Maharadja juga aktif dalam organisasi sosial budaya yang bernama Medan Perdamaian pada tahun 1888 yang memiliki anggota kurang lebih 80 orang. Secara bersamaan ia menjabat sebagai penasihat sebuah perkumpulan Taman Penglipoer Lara dan menjadi anggota Kongsi Anak Radja-Radja. Ketika menjadi jaksa di Pariaman, ia juga mendirikan Medan Keramean sebuah perkumpulan yang menyediakan surat kabar dan majalah untuk para anggota yang berjumlah 50 orang. Tujuan perkumpulan ini adalah untuk mengarahkan minat dan kepentingan anggotanya ke jalan yang benar tidak lagi melakukan kegiatan yang merugikan seperti berjudi dan sabung ayam. Pada tahun 1892, Datoek Soetan Maharadja berhenti dari jabatannya sebagai jaksa karena ia gagal naik pangkat. Pada tahun ini juga ia kembali ke Padang untuk meneruskan minatnya pada dunia pers (Adam, 2003: 228-229).

Ketika di Padang, Datoek Soetan Maharadja memimpin surat kabar yang merupakan hasil dari kerjasama orang Eropa dengan penduduk asli Minangkabau. Atas dasar itu kemudian surat kabar Pelita Kecil mengangkat Datoek Soetan Maharadja sebagai pemimpin surat kabar ini. Datoek Soetan Maharadja tetap menjadi pemimpin surat kabar ini ketika berubah nama menjadi Warta Berita pada tahun 1895 (Darwis, 2013: 59-60). Setelah tahun 1982, Datoek Soetan Maharadja sepenuhnya bekerja sebagai jurnalis yang bergerak pada masalah-masalah sosial dan lingkungan di Sumatra Barat.

Menjelang tahun 1900-an, Datoek Soetan Maharadja sebagai pemimpin surat kabar di Padang tidak hanya bergerak di  dunia sosial budaya tetapi juga memasuki dunia politik. Hal ini terbukti ketika beliau mengkritik kebijakan pemerintah Kolonial Belanda dengan menulis artikel di surat kabar dengan judul “Kesengsaraan dan Perlindungan Rakyat Biasa” serta “Pikiran Orang Aceh”. Kedua artikel tersebut dianggap menyerang pemerintahan. Atas dasar itu, kemudian Datoek Soetan Maharadja ditangkap dan dipenjara. Kemudian Datoek Soetan Maharadja diadili di pengadilan tinggi Padang dengan hasil dakwaan penjara satu bulan dan denda 100 gulden. Kemudian Datoek Soetan Maharadja mengajukan banding ke Mahkamah Agung di Batavia (Adam, 2003: 91-92).

Dalam dunia pendidikan, Datoek Soetan Maharadja melalui keahliannya dalam dunia jurnalistik, ia mengkritik pemerintah kolonial dengan memberi tekanan secara khusus pada bidang pendidikan di artikel-artikelnya. Dalam artikelnya Datoek Soetan Maharadja mengeluhkan kekurangan sekolah untuk anak-anak pribumi, sebagai tanggapan atas tulisan dalam Retnodhoemilah edisi 13 Februari 1909. Datoek Soetan Maharadja mengatakan bahwa gubernemen bisa membuktikan ketulusannya terhadap rakyat yang dijajah dengan membangun lebih banyak sekolah dan membuka kesempatan lebih luas bagi orang Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Dia juga mengkritik jumlah sekolah dari jenjang dasar hingga pendidikan lanjutan dan pelatihan sangat tidak mencukupi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia secara keceluruhan. Hal itu tidak sebanding dengan Belanda yang dianggapnya sudah menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama (Adam, 2003: 225-226).

Dalam perjuangan bidang adat budaya, Datoek Soetan Maharadja giat melakukan kampanye melalui surat kabar Oetoesan Melajoe untuk mengingatkan kepada para pembaca bahwa perlunya untuk melestarikan adat istiadat Minangkabau beriringan dengan ajaran Islam. Aksi tersebut semakin diperkuat dengan memprakarsai sebuah gerakan memurnikan adat Minangkabau pada tahun 1906. Sebagai inisiator memperjuangkan adat Minangkabau, Datoek Soetan Maharadja juga memperjuangkan hak-hak perempuan dan pendidikan, Datoek Soetan Maharadja telah mendengar peran dari Rohana Kudus yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Atas perjuangan Rohana  Kudus, kemudian Datoek Soetan Maharadja menjadikan Rohana Kudus sebagai dewan redaksi surat kabar Soenting Melajoe. Surat kabar Soenting Melajoe lahir pada 10 Juli 1912 yang beritanya banyak menyuarakan hak-hak perempuan atau surat kabar ini dikenal sebagai surat kabar perempuan reformis yang bertujuan untuk mengejar kemajuan dan perbaikan nasib perempuan (Adam, 2003: 238-240).

Memasuki penghujung tahun 1911, perkumpulan ini juga berhasil mendirikan percetakannya sendiri. Oetoesan Melajoe menjadi corong penegak adat Minangkabau melalui kalam editornya. Surat kabar Oetoesan Melajoe yang terbit di Padang setiap dua kali dalam seminggu yakni hari Rabu dan Sabtu. Dengan surat kabar ini, Datoek Soetan Maharadja dan tokoh-tokoh adat ingin mempertahankan adat lama demi kebesaran alam Minangkabau. Kendatipun pemikiran-pemikiran Datoek Soetan Maharadja sering bertentangan dengan “kaum muda” yang memperjuangkan ide dan gagasan pembaruan sosial, budaya, dan praktik keagamaan, namun Datoek Soetan Maharadja tetap gigih memperjuangkan agar adat istiadat Minangkabau tetap dilestarikan (Darwis, 2013: 62). Hingga akhir hayatnya, Datoek Soetan Maharadja tetap berjuang menggunakan media pers. Datoek Soetan Maharadja meninggal dunia pada tahun 1921 di Padang Sumatra Barat.

Penulis: Handoko


Referensi

Darwis, Yuliandre, 2013, Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Adam, Ahmat B., 2003, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amran, Rusli, 1988, Padang Riwayatmu Dulu, Jakarta: CV. Yasaguna.