Dewan Banteng

From Ensiklopedia

Perjuangan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah lepas dari berbagai tantangan yang mengiringi sejak awal kemerderdekaannya. Kondisi negara yang belum stabil pada tahun-tahun awal kemerdekaan memicu berbagai kegaduhan di dalam negeri, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Pada dekade 1950-an, lahir dewan-dewan di beberapa daerah sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Salah satu diantaranya yakni Dewan Banteng.

Dewan Banteng dibentuk sebagai hasil dari reuni anggota eks-Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-24 November 1956. Reuni tersebut diikuti oleh tokoh-tokoh penggerak eks-Divisi Banteng seperti eks-Kolonel Ismael Lengah, eks-Kolonel Dahlan Ibrahim, eks-Kolonel Usman, dan eks-Kolonel A. Halim (Dinas Sejarah Militer AD 1979: 1). Dewan Banteng beranggotakan 17 orang yang terdiri dari Letkol Ahmad Husein, Komisaris Besar Kaharudin Dt. Rangkajo Basa, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Mayor Sju’ib, Haji Darwis Taram, Mayor Anwar Umar, Sutan Suis, Suleiman, Hasan Basri, Kapten Nurmatias, Haji Abdul Manap, Saidina Ali, Dt. Simaradjo, Kapten Jusuf Nur, Letnan I Sebastian, Ali Luis, dan Kol. Ismael Lengah (Rachmat, 1992, p. 77). Letnan Kolonel Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara dan Teritorium I Sumatera, yang berkedudukan di Padang, terpilih sebagai ketua. (Hartanto 2007: 766)

Pembentukan Dewan Banteng merupakan ekspresi kekecewaan anggota-anggota eks-Divisi Banteng, suatu komando militer yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945-1950), yang berkisar pada beberapa persoalan, diantaranya bahwa daerah merasa dianak-tirikan oleh pusat. Pembangunan di berbagai sisi lebih diprioritaskan di Jawa bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Kondisi ini mendorong timbulnya pergolakan daerah di Indonesia sesudah tahun 1956 (Dinas Sejarah Militer AD, 1979: 1).

Sementara itu, diberlakukannya kebijakan rasionalisasi dan rekonstruksi oleh pemerintah di bidang ketentaraan juga menjadi salah satu alasan di balik lahirnya Dewan Banteng. Kebijakan tersebut dianggap sebagai perlakuan tidak adil dan menimbulkan rasa kecewa bagi perwira dan anggota-anggota lainnya. Divisi Banteng diciutkan menjadi satu brigade dengan lima batalyon, yang terbesar di Sumatera Barat dan Riau di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein. Selain itu banyak anggotanya yang dipulangkan ke masyarakat dan merasa diperlakukan dengan tidak adil (Rachmat 1992: 41).

Dewan Banteng mempunyai tujuh rencana perjuangan, dua di antaranya yaitu (1) menuntut pemberian dan pengisian otonomi yang luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang layak dan adil; (2) mempercepat realisasi pemerintahan otonom tingkat I bagi Riau, Jambi, dan Sumatera Barat serta melakukan persiapan ke arah tingkat II dan III (Raben & Bemmelen 2011: 153) Dengan alasan mempercepat pembangunan daerah, pada tanggal 20 Desember 1956 Dewan Banteng mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Sumatera Tengah. Kejadian ini kemudian memicu ketegangan-ketegangan antara pusat dan daerah (Angkatan Bersenjata 1976: 215)

Dewan Banteng menarik perhatian luas kalangan di Indonesia. Tuntutan dan visi, termasuk di dalamnya isu tentang tentara-tentara Indonesia, penilaian kembali kepemimpinan nasional, reorganisasi sistem politik nasional, dan harapan bagi sistem yang lebih egaliter dan demokratik merupakan suatu ekspresi terhadap kecenderungan otoriter baik secara politik maupun ideologi di Jakarta di bawah Sukarno. Dewan Banteng merupakan suatu refleksi meningkatnya tensi ideologis antara pusat dan daerah. (Depdikbud 1997: 65) Dewan Banteng merupakan cikal bakal lahirnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamirkan pada tahun 1958.

Penulis: Azrohal Hasan
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Rachmat, Redi (1992) Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus PRRI. Djakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional)

Raben, Remco & Sita van Bemmelen (2011) Antara Daerah dan Negara Indonesia Tahun 1950-an: Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Depdikbud (1997) Kongres Nasional Sejarah, 1996: Subtema Pemikiran dan Analisis Teks Sejarah. Djakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

ABRI (1976) 30 Tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Djakarta: Markas Besar, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Dinas Sejarah Militer AD (1979) Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD Dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Djakarta: Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

Hartanto, Agung Dwi (2007) “Kabar Buruk Buat Bung Karno”, dalam Pelopor: Seabad Pers Kebangsaan, 1907-2007.