Dewi Sukarno (Ratna Sari Dewi)
Ratna Sari Dewi atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sukarno adalah istri ke-6 presiden Sukarno. Dewi Sukarno (selanjutnya akan disebut Dewi), yang memiliki nama asli Naoko Nemoto, lahir di Tokyo pada tanggal 6 Februari 1940, sebagai putri ketiga dari seorang pekerja konstruksi migran di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga mengharuskan Naoko untuk bekerja sebagai pramuniaga di sebuah perusahaan asuransi jiwa di Chiyoda, hingga ia lulus dari sekolah menengahnya pada tahun 1955 (kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, diakses pada 7 Januari 2021).
Masa kanak-kanak Dewi Sukarno dipenuhi dengan pengalaman pahit tentang Tokyo yang dilanda Perang Dunia Kedua. Pada saat usianya menginjak 2 tahun, ia terjebak dalam situasi mencekam ketika Perang Dunia II berkecamuk. Bahkan, dengan mata kepalanya sendiri ia merekam aksi pesawat bomber B-29 yang memuntahkan bom-bom berdaya ledak besar di seantero Tokyo (Zara, 2007: 2). Dewi mengawali pendidikan dasarnya di Togai School, Tokyo, pada sekitar tahun 1946. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya tersebut, pada 1952-1955 ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Koryo School dan Mita School, yang keduanya berada di Tokyo (Mat Enh dan Ghani, 2012: 119). Keadaan perekonomian keluarga yang pada saat tersebut tidak stabil, mengharuskan Dewi untuk menyelesaikan pendidikannya sembari bekerja. Dewi remaja dipenuhi oleh semangat untuk menghidupi keluarga, yakni ayah dan ibunya.
Dewi remaja pada saat tersebut memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap dunia seni dan sastra. Ketertarikannya inilah yang kemudian mendorongnya untuk mempelajari tarian klasik Jepang, bernyanyi, hingga bermain drama di Sishere Hayakawa Art Production. Hal tersebut menjadi titik awal terjunnya Dewi ke dunia entertainment. Paras cantik dan kepiawaiannya dalam dunia seni, membuat Dewi kerap kali muncul di pentas-pentas terkemuka yang berlangsung di Tokyo (Mat Enh dan Ghani, 2012: 119). Untuk mendukung kemampuannya tersebut, Dewi Sukarno memutuskan untuk mempelajari bahasa Inggris. Keputusannya untuk mempelajari bahasa Inggris tersebut, menjadi salah satu jalan menuju pertemuannya dengan Presiden Sukarno.
Selain aktif berkecimpung di dunia seni, untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari, Dewi memutuskan untuk bekerja paruh waktu sebagai pelayan di hotel-hotel ternama yang berada di Tokyo. Untuk membagi waktunya, Dewi memilih bekerja pada malam hari dan belajar pada siang hari. Yuanda Zara dalam bukunya yang berjudul Ratna Sari Dewi Sukarno: Sakura di Tengah Prahara menuliskan kesakisan dari Dewi Sukarno, yang menceritakan bahwa:
- “….bangku sekolah kutinggalkan, lalu aku nekat bekerja sebagai kabaret di pusat hiburan Akasaka, di kawasan Ginza, Tokyo. Sebagai geisha, sebagai perempuan penghibur. Barangkali banyak orang mencibir profesiku ini. Tetapi aku bisa memakluminya. Kebutuhan hidup yang mendesak, telah membutakan nalarku. Yang terlintas saat itu, hanya bagaimana bisa bertahan hidup, seluruh keluarga bisa makan secara layak, tak kelaparan….” (Zara, 2007: 6).
Menurut Sukarno “…perjuangan bangsa menjadi utuh apabila tidak hanya bertumpu pada kekuatan politik, tentara, dan ekonomi, tetapi juga kepada dunia budaya, mulai mendapatkan formulasinya…” (Dermawan, 2004: 49). Pendapatnya tersebutlah yang kemudian membawa kerjasama yang baik dalam bidang kebudayaan, antara Indonesia dan Jepang pasca kemerdekaan. Kerjasama ini kemudian memberikan kesempatan kepada Sukarno untuk beberapa kali mengunjungi ‘negeri matahari terbit’ tersebut. Kunjungannya yang dilakukan pada Juni, 1959, membawa Sukarno pada salah satu ‘dewi’ di hidupnya, yakni Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi atau Dewi Sukarno.
Mengenai pertemuan antara Sukarno dengan Dewi, terdapat dua versi berbeda yang dituliskan dalam beberapa referensi. Versi pertama, mereka bertemu di Copacabana Super Club, dan versi kedua–dan yang paling banyak dikisahkan–mereka bertemu di Hotel Imperial. Salah satu referensi yang mengisahkan mengenai pertemuan Sukarno dan Dewi pada versi pertama, adalah buku dari Azlizan dan Abdul Ghani (2012) yang berjudul Wanita dan Masyarakat. Diceritakan bahwa Dewi remaja bekerja pada sebuah club mewah yang bernama Copacabana Super Club, yang mana pengunjung dari club tersebut hanya kalangan pejabat dan pengusaha besar saja. Tanggal 16 Juni 1959 menjadi tanggal pertemuan Sukarno dengan Dewi, yang pada saat tersebut sedang mengunjungi tempat Dewi bekerja, Akasaka’s Copacabana ( Mat Enh dan Ghani, 2012: 122).
Versi kedua, dan yang paling banyak dikisahkan, menyebutkan bahwa pertemuan antara Dewi dan Sukarno terjadi di Hotel Imperial, pada 16 Juni 1959. Lagi-lagi karena paras cantik dan kepiawaian dalam dunia seni (khususnya melukis, sastra, dan drama), membuat Sukarno jatuh hati pada Dewi. Setelah pertemuan pertama tersebut, Sukarno kemudian mengirimkan undangan kepada Dewi yang pada saat tersebut merupakan remaja berusia 19 tahun, untuk datang ke Indonesia. Naoko tiba di Jakarta pada 14 September 1959. Setelah melalui berbagai proses, akhirnya pada 3 Maret 1962 Dewi resmi menjadi istri dari Presiden Sukarno yang kelima (Zara, 2007: 15; Dermawan, 2004: 50; https://voi.id/en/memori/85859/the-love-story-of-ratna-sari-dewi-and-Sukarno-who-are-hated-but-missed-by-the-public , diakses pada Januari 2022).
Selain memiliki paras yang cantik dan kepiawaian dalam dunia seni, Dewi Sukarno ternyata juga mempunyai ketertarikan dalam dunia politik. Selama menjadi istri dari Presiden Sukarno, Dewi telah memainkan beberapa peran penting, dari mulai bidang seni, politik, hingga ekonomi. Disebutkan bahwa Bung Karno sangat mencintai Dewi. Saking cintanya Sukarno terhadapnya, Bung karno berpesan:
“Kalau aku mati, kuburlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku…” (Erka, 1978: 2).
Di balik parasnya yang cantik, Dewi juga dikenal piawai dalam bernegosiasi. Diketahui bahwa Presiden Sukarno mempunyai hobi melukis, sedangkan Dewi Sukarno merupakan seseorang yang sangat apresiatif terhadap karya seni rupa. Hal ini kemudian membawa keduanya pada pencapaian penting Sukarno dalam bidang yang disukainya, yakni seni lukis. Seperti yang disampaikan oleh Dermawan (2004) “…pada tahun 1964, Ratna Sari Dewi berhasil melakukan lobi-lobi di Jepang, sehingga sebagian koleksi Bung Karno yang dibukukan berhasil dicetak di Negeri Matahari itu…..” (Dermawan, 2004: 50). Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa daya tarik dan kemampuan negosiasi Dewi Sukarno, berhasil mewujudkan salah satu keinginan Sukarno untuk dapat mempublikasikan hasil-hasil karya seninya.
Dari sekian istri Presiden Sukarno, Dewi menjadi satu-satunya istri presiden yang memiliki penampilan modis, atau lebih modern dengan mengikuti gaya barat. Penampilannya inilah yang kemudian membuat Dewi Sukarno sering mendampingi Presiden Sukarno dalam berbagai pertemuan dengan pemimpin atau perwakilan dari negara lain, seperti misalnya kunjungan Duta Besar Italia dan Belanda (Lee, 1976: 121). Selain itu, karena daya tarik dan kepercayaan Sukarno kepada Dewi, membuat Dewi seringkali ‘diperebutkan’ oleh beberapa perusahaan, agar dapat memenangkan hati sang presiden.
Pada tahun 1964, Dewi terpilih untuk menjadi Ketua Kehormatan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jepang. Kemudian, untuk menguatkan pengaruh Jepang di Indonesia, Dewi juga mendirikan Komunitas Nadeshiko, yang beranggotakan wanita-wanita Jepang yang menikah dengan orang Indonesia (Nishihara, 1994: 156). Akan tetapi, ketika Dewi berusaha memperkuat posisinya sebagai first lady, disaat yang bersamaan kedudukan Sukarno menjadi terancam setelah meletusnya peristiwa G 30/S. Pada periode genting tersebut, Dewi bertemu dengan Soeharto untuk ‘bernegosiasi’ mengenai keadaan suaminya. Pada pertemuan tersebut, Dewi menyadari bahwa Sukarno telah kalah dalam ‘pertandingan’ (Historia.id-Sukarno-Suharto=ratnasaridewi, diakses pada Januari 2022).
Pada 1973, tiga tahun setelah Sukarno meninggal, Dewi Sukarno menerbitkan sembilan surat, yang ditujukan kepada Presiden Soeharto. Surat-surat tersebut sebenarnya sudah pernah dimuat pada “Vrij Nederland” pada tanggal 16 Desember 1970, ketika kondisi Presiden Sukarno sedang kritis. Surat-surat tersebut akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar dapat diterbitkan. Akan tetapi, sayangnya pemerintah Orde Baru tidak pernah mengizinkan penerbitan surat-surat tersebut. Akhirnya, proyek penerbitan surat-surat Dewi Sukarno baru terlaksana pada 1998 dengan judul Mencekik dengan Kain Sutera, Willem Oltmans en Dewi Sukarno (1998).
Sepeninggalan Presiden Sukarno, Ratna Sari Dewi pindah ke berbagai negara di Eropa, sebelum akhirnya kembali ke Jepang pada 2008 dan menetap di sana hingga saat ini. Di Jepang, Ratna Sari Dewi aktif sebagai seorang bussines woman, yakni dalam bidang perhiasan dan kosmetik. Meskipun demikian, Dewi tidak lantas meninggalkan jiwa entertainment-nya. Saat ini ia kerap kali muncul di layar TV Jepang, salah satunya menjadi juri dalam berbagai kontes kecantikan.
Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Anonim, “Soekarno, Periode 1945-1966”, dalam https://kepustakaan presiden.perpusnas.go.id/en/family/?box=detail&id=27&from_box=list245&hlm=1&search_tag=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=1&presiden=sukarno, diakses pada Januari 2022.
Dermawan, Agus, (2004), Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu, sampai Kosmologi Seni Bung Karno, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Detha Arya Tifada dan Yudhistira Mahabarata, (2021), “The Love Story of Ratna Sari Dewi and Soekarno Who Are Hated but Missed by The Public”, dalam voi.id, https://voi.id/en/memori/85859/the-love-story-of-ratna-sari-dewi-and-soekarno-who-are-hated-but-missed-by-the-public, diakses pada Januari 2022.
Erka, (1978), Bung Karno…!: Perginya Seorang Kekasih, Suami, dan Kebanggaanku, Semarang: Aneka.
Hendri F. Isnaeni, (2018), “Pertemuan Soeharto dan Dewi di Lapangan Golf”, dalam Historia.id, https://historia.id/politik/articles/pertemuan-soeharto dan-dewi-di-lapangan-golf-vooJW/page/2 , diakses pada Januari 2022.
Lee, Oey Hong, (1976), “Sukarno and the Pseudo-Coup of 1965: Ten Years Later”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Mar., 1976, Vol. 7, No. 1 (Mar., 1976), pp. 119-135.
Mashashi Nishihara, (1994), Sukarno Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang, Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Mat Enh, Azlizan dan Rohani Abdul Ghani, (2012), Wanita dan Masyarakat, Johor: UTHM Press.
Nuryanti, Reni, dkk., (2007), Istri-istri Sukarno, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Oltmans, Willem dan Dewi Sukarno, (1998), Mencekik dengan Kain Sutera, Jakarta: Yayasan Indonesia Baru.
Zara, M. Yuanda, (2008), Sakura di Tengah Prahara: Biografi Ratna Sari Dewi Sukarno, Yogyakarta: Penerbit Ombak.