Een Ereschuld
Een Ereschuld (sebuah hutang kehormatan/budi) adalah judul dari sebuah artikel yang ditulis oleh Conrad Theodore Van Deventer, seorang advokat politik etis di Belanda, pada majalah De Gids, tahun 1899. Artikel ini digadang-gadang sebagai publikasi pertama terkait perubahan karakter politik Belanda atas tanah jajahannya yang awam disebut sebagai Politik Etis. Artikel yang mengadvokasi pendekatan etis pada koloni (Hindia Belanda) yang sudah begitu lama dieksploitasi diketahui menginspirasi dimasukannya pesan-pesan etis pada pidato tahunan Ratu Wilhelmina (troonrede) pada tahun 1901.
Van Deventer adalah seorang Belanda yang berasal dari Dordrecht, sebuah kota di pusat negara Belanda. Ia dilahirkan pada 29 September 1857 dari keluarga yang melek pendidikan yang terlihat dari sang ayah yang bekerja sebagai seorang guru sekolah menengah (HBS). Di sekolah itu pula Van Deventer menamatkan pendidikannya sebelum melanjutkan ke universitas tertua di Belanda, Universitas Leiden. Di Leiden, Van Deventer mengambil pendidikan jurist (fakultas hukum) yang ia tamatkan pada 1879. Disertasi doktoralnya berjudul: “Zijn naar de grondwet onze koloniën delen van het rijk" (menurut konstitusi, koloni kita adalah bagian dari Kerajaan Belanda) (Deventer; 1879, 10).
Setelah menamatkan pendidikan, Van Deventer mendaftarkan dirinya pada seleksi calon pegawai tinggi koloni. Kelulusannya dari seleksi pegawai ini kemudian mengantarkannya pada jabatan hakim di Hindia Belanda. Ia bertugas di Semarang dan menyidangkan beberapa kasus yang memberinya keuntungan secara pribadi. Namun, selain itu juga mendorong terciptanya renungan kritis atas keadaan koloni tempatnya bertugas. Pada tahun 1897, Van Deventer kembali ke Belanda dan memulai perjuangannya terkait pendekatan politik etis (Aning; 2005, 257).
Betapapun artikel berjudul Een Ereschuld dianggap sebagai artikel bertemakan politik etis, tulisan Van Deventer ini pada prinsipnya merupakan suatu refleksi atas keadaan koloni Hindia Belanda kala itu. Sebelum berbicara tentang politik, Van Deventer menulis tentang kondisi manajemen keuangan di Hindia dan bagaimana situasi tersebut membawa keuntungan bagi negara induk Belanda. Pajak, menurut Van Deventer, adalah suatu aktivitas keuangan yang menyumbangkan banyak keuntungan bagi Belanda. Oleh karena itu, penguasa kolonial akan senantiasa menyetujui hal-hal terkait peningkatan aktivitas penarikan pajak (Deventer; 1899, 1-4).
Segala upaya mencari lebih banyak keuntungan dari Hindia Belanda tidak diiringi dengan keinginan untuk menciptakan kemakmuran yang lebih luas. Kemakmuran, menurut tulisan ini, sudah sepantasnya didapatkan oleh “orang-orang, seperti orang Jawa, yang membayar pajak dua puluh tujuh kali lebih tinggi daripada seharusnya.” Intisari dari tulisan ini yang telah seringkali diungkap adalah saran Van Deventer untuk meningkatkan tiga upaya menciptakan kemakmuran koloni melalui pendidikan, irigasi, dan kolonisasi (atau transmigrasi atas wilayah-wilayah yang minim atau sama sekali belum memiliki penghuni). Betapapun terdengar simpatik, sikap yang ditunjukkan oleh para kampiun politik etis, utamanya Van Deventer, bertujuan untuk “melanggengkan” relasi antara koloni dengan negara induk Belanda, tanpa menyebabkan kesengsaraan yang begitu luas (Deventer; 1899, 1-4).
Tulisan Van Deventer menjadi buah bibir publik di Belanda. Bersamaan dengan itu, politisi di parlemen turut membawa ini ke meja perdebatan. Sebagai salah satu konsekuensinya, Komisi Kemiskinan yang mengurus bidang kesejahteraan didirikan dan diketuai oleh Van Deventer sejak tahun 1904. Komisi ini bertugas pertama kali untuk melakukan penelitian atas segala hal yang diungkapkan oleh Van Deventer dalam artikelnya. Komisi ini menemukan bahwa negara induk Belanda memiliki hutang sebesar 40 juta gulden yang akan dibayarkan dalam usaha-usaha kemakmuran atas koloni Hindia. (Ricklefs; 2010, 328)
Namun, segala dorongan yang diberikan oleh Van Deventer tidak akan tercapai jika tidak direspons oleh penguasa politik tertinggi di Hindia Belanda, Gubernur Jenderal. Pada tahun 1905, Gubernur Jenderal Idenburg adalah seorang patron dari penerapan politik etis ini. Kekuasaan Idenburg dianggap mengakhiri kebijakan kolonialisme yang bertumpu semata-mata pada eksploitasi. Namun, setelah Idenburg turun dari kekuasaan pada 1916, Hindia Belanda menghadapi situasi yang berbeda dan menuntut penerapan kebijakan politik etis yang berbeda pula. (Aning;2005, 258)
Betapapun terdengar positif, kebijakan politik etis tidak ada sangkut-pautnya dengan dukungan pemerintah kolonial atas kebebasan, kesejahteraan, dan kemerdekaan Indonesia. Idenburg, salah satu kampiun kebijakan ini, justru adalah sosok yang bertanggungjawab atas penugasan J.B. Van Heutsz, seorang perwira militer Belanda yang berhasil menaklukkan Aceh. Tanpa perdamaian yang dicapai dengan kekuatan senjata, politik etis sebagaimana dibayangkan oleh para pemikir di baliknya akan sulit dicapai (Aning;2005, 258).
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c.1200, 2008.
Aning, Floriberta. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia Di Abad 20. Jakarta: Narasi, 2005.
Van Deventer, Conrad Theodore. “Een Ereschuld,” De Gids 1889, 205-255.
Van Deventer, Conrad Theodore. “Zijn Naar De Grondwet Onze Koloniën Delen Van Het Rijk” Disertasi Universitas Leiden, 1879.