Europeesche Lagere School (ELS)
Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar Eropa didirkan pada awal abad ke-20, di atas lembaga pendidikan serupa yang sudah lama ada sejak 1818, Lager Onderwijs en Lagere Schoolen voor Europeanen. Berbeda dari sekolah sebelumnya yang khusus untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak bangsa Eropa di Hindia Beland, ELS membuka akses pendidikan lebih luas, meliputi bangsa Timur dan bumiputra keturunan bangsawan (Makmur 1993:76).
Pada mulanya lama studi yang harus ditempuh oleh para peserta didik ELS tiga tahun. Namun, sejak tahun 1907, masa studi tersebut diperpanjang menjadi tujuh tahun (Nasution 1983: 97). Sebelum menempuh pendidikan selama tujuh tahun tersebut, para peserta didik dari keturunan Eropa akan terlebih dahulu menjalani masa persiapan di Sekolah Taman Kanak-Kanak (Frobel). Tersebab bahasa Belanda ditempatkan sebagai bahasa pengantar, maka bagi anak-anak keturunan non-Eropa disediakan sekolah persiapan agar mereka mahir dalam berbahasa Belanda sehingga dapat mengikuti pelajaran di kelas dengan lancar (Makmur 1993:76).
Ketentuan batasan usia para peserta didik di ELS ialah antara enam hingga enam belas tahun. Namun, khusus bagi anak-anak keturunan perkawinan campuran antara wanita Eropa yang bersuamikan bumiputra, mereka dapat terdaftar sebagai murid ELS sebelum menginjak usia enam tahun. Di luar itu, anak-anak bumiputra yang akan didaftarkan menjadi murid di ELS harus sesuai dengan batasan umur yang telah menjadi ketentuan dan menjalani tes seleksi terlebih dahulu (Makmur 1993:76).
Setelah dinyatakan lulus seleksi, sebagai murid mereka akan mendapatkan beragam pelajaran dari kurikulum yang telah disesuaikan dengan kurikulum di Belanda. Mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik di ELS antara lain Ilmu Alam; Dasar-Dasar Bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman; Sejarah Umum/Dunia; Matematika; Pertanian; Menggambar; Pendidikan Jasmani; serta Pekerjaan Tangan dan Menjahit untuk murid-murid perempuan. Jika dilihat dari luaran mata pelajaran yang diperoleh peserta didik selama menempuh studi di ELS, kompetensi tersebut dapat mereka gunakan sebagai bekal pengetahuan untuk melanjutkan ke jenjang akademik yang lebih tinggi, seperti di STOVIA (School ter opleiding van Indische Artsen) kelak (Dhitya 2020: 192).
Penulis: Galih Adi Utama
Referensi:
Dhita, Aulia Novemy. (2020). “Studi Historis Sekolah Kedokteran di Indonesia Abad XIX”, dalam Jurnal Agastya, Vol. 10, No. 2, Juli, hlm. 180-195.
Makmur, Djohan dkk. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nasution. (1983). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Bumi Aksara.