Gerilya

From Ensiklopedia

Gerilya adalah cara berperang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang (biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan secara tiba-tiba); perang secara kecil-kecilan dan tidak terbuka (KBBI, 2016). Gerilya merupakan terjemahan dari bahasa Spanyol guerrilla, yang secara harafiah memiliki arti perang kecil. A.H. Nasution yang pernah menjadi pimpinan atau panglima Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) menceritakan berbagai hal tentang perang gerilya  dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Gerilya. Menurutnya, bagi tentara perang gerilya sangat efektif. Mereka dapat mengelabui, menipu  atau bahkan melakukan serangan kilat. Taktik ini juga sangat membantu dan manjur saat menyerang musuh dengan jumlah besar yang kehilangan arah dan tidak menguasai medan. Kadang taktik ini juga mengarah pada taktik mengepung pada secara tidak terlihat.

Selain itu, gerilya adalah sebuah periode setelah Agresi Militer Belanda Kedua (19 Desember 1948) ketika Belanda merebut semua kota-kota besar Republik Indonesia serta dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Tengah (Cribb dan Audrey Kahin 2012:146). Agresi Militer Belanda Kedua didahului oleh pengingkaran Belanda atas perjanjian Renville. Setelah tidak lagi mengakui perjanjian tersebut, Belanda melancarkan aksi militernya. Belanda dengan pasukan lintas udara menyerang Kota Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. Lapangan terbang Maguwo berhasil diduduki dan akhirnya seluruh wilayah Yogyakarta dikuasai. Presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi berhasil ditawan Belanda. Presiden Sukarno diasingkan ke Parapat Sumatera Utara, dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Bangka. Tidak lama berselang, Sukarno pun dipindahkan ke Bangka dan seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta diperintahkan keluar kota untuk bergerilya.

Perang gerilya tidak dapat dipisahkan dari sosok Jenderal Sudirman yang memimpin angkatan bersenjata Indonesia dan memimpin perjuangan dari pedalaman Jawa. Sudirman memimpin gerilya dalam keadaan sakit. Di bawah pimpinannya, anggota TNI bergerilya berpindah ke Selatan Yogyakarta melewati Karesidenan Yogyakarta. Akan tetapi, sesampainya di Pacitan yang saat itu masuk wilayah Karesidenan Madiun, Belanda menghadang. Perjalanan dengan rute Tirtomoyo akhirnya dialihkan ke daerah Sobo Nawangan.

Jenderal Sudirman  (1915?-1950) adalah mantan guru sekolah dan Komandan Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) yang diangkat menjadi panglima tentara di Yogyakarta pada 12 November 1945. Jenderal Sudirman menekankan nilai-nilai kesatriaan dan semangat nasional di atas hirarki dan organisasi formal dalam mengalahkan Belanda. Pada awalnya, dia bersimpati pada nasionalisme radikal Tan Malaka, tetapi dia tidak mendukungnya melawan pemerintahan Sjahrir. Menurut Cribb dan Kahin (2012), walaupun kharismanya membuat Sudirman menjadi pusat loyalitas tentara, secara bertahap dia dijauhkan dari komando langsung oleh sekolompok perwira berpendidikan Barat, termasuk A.H. Nasution. Namun pada Desember 1948, setelah kabinet Republik ditangkap dalam  Agresi Militer Kedua, Sudirman yang sakit keras karena penyakit TBC memimpin pasukan Republik dalam perjuangan gerilya melawan Belanda di pedesaan Jawa. Bersama dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dia menolak Perjanjian Roem-van Roijen. Namun demikian,  pada Juli 1949, walaupun enggan dia menuruti kemauan pemerintah Republik yang telah dipulihkan di Yogyakarta. Jenderal Sudirman meninggal pada Januari tahun 1950 (Cribb dan Audrey Kahin 2012:489).

Penulis: Sarkawi
Instansi: Universitas Airlangga Surabaya
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Cribb, Robert dan Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.

KBBI. 2016. Badan Pengembangn dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.

Mrázek, Rudolf. “Tan Malaka: A Political Personality’s Structure of Experience”. Indonesia 14 (October 1972): 1-48.

Nasution, Abdul Haris. 1964. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia Di Masa Yang Lalu dan Yang Akan Datang. Jakarta: Pembimbing.