Gestapu

From Ensiklopedia

Gestapu adalah kependekan dari Gerakan September Tiga puluh (Gerakan 30 September), suatu istilah yang digunakan tentara untuk menyebut peristiwa penculikan enam jenderal di Jakarta. Akronim Gestapu diciptakan oleh Brigadir Jenderal Soegandi, direktur harian Angkatan Bersenjata, sebuah surat kabar harian yang diterbitkan oleh tentara (Sarwoto 2017: 103). Istilah ini juga digunakan untuk menyebut pasukan atau kelompok yang menghabisi para tertuduh simpatisan PKI setelah peristiwa penculikan terjadi, yakni Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP Gestapu). Pasukan ini dibentuk oleh Brigadir Jenderal Sucipto bersama jenderal-jenderal junior di Angkatan Darat sehari setelah peristiwa terjadi (Rossa 2008: 92).

Penggunaan istilah Gestapu dinilai mendekatkan gerakan tersebut dengan kekejaman yang dilakukan Gestapo, polisi rahasia Nazi di Jerman (Rossa: 35, Gestapu: 103). Sebagai usaha menghentikan media massa yang menggunakan sebutan konotatif Gestapu untuk peristiwa tersebut, pada sidang kabinet 9 Oktober 1965 Sukarno mengajukan sebutan Gestok sebagai akronim dari Gerakan Satu Oktober. Namun Media yang telah dikuasai militer tak acuh kepadanya dan tetap bersikukuh dengan sebutan Gestapu (Rossa 2008: 40)

Terlepas dari politik bahasa tersebut, Gestapu merupakan istilah untuk menyebut peristiwa percobaan kudeta yang selanjutnya lebih banyak dikenal dengan G30S. Pada tanggal 30 September 1965 malam, satu batalyon pengawal istana yang dipimpin oleh Letkol Kolonel Untung, satu batalyon dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakyat PKI meninggalkan pangkalan udara Halim. Mereka pergi untuk melakukan penculikan terhadap Nasution, Ahmad Yani, Parman dan empat orang Jenderal senior Angkatan Darat lainnya dari rumah mereka di Jakarta. Pemimpin-pemimpin usaha kudeta tersebut diantaranya adalah Brigadir Jenderal Supardjo dari Divisi Siliwangi dan kepala inteligen Divisi Diponegoro. Menurut Ricklefs, Untung tampaknya hanya menjadi sebuah pion. Mereka mendapat dukungan dari Omar Dhani, yang telah memberikan pangkalan udara Halim sebagai markas besar mereka dan dia sendiri juga hadir disana. Mereka juga menjalin hubungan dengan Biro Khusus PKI Sjam dan beberapa orang anggota Politbiro PKI setidaknya mengetahui secara samar-samar rencana tersebut. Pimpinan senior PKI hanya Aidi yang hadir di Halim. Nyoto dan Lukman sedang tidak berada di Jakarta, seperti halnya Subandrio, Chaerul Saleh dan Ali Sastroamidjojo (Ricklefs 1995: 427).

Dalam peristiwa tersebut tiga jenderal, yaitu Ahmad Yani dan MT Haryono dan DI Pandjaitan dibunuh di rumah mereka. AH Nasution berhasil meloloskan diri dan  melewatkan sisa malam dan sebagain esok harinya di tempat persembunyian. Namun ajudannya yang bernama Pierre Andreas Tendean tertangkap serta putri AH Nasution, Ade Irma Suryani, yang baru berusia lima tahun tertembak dan kemudian meninggal dunia pada 6 Oktober 1965. Ajudan Nasution dan tiga jenderal yaitu S. Parman, R. Soeprapto dan Soetojo yang juga ditangkap dalam keadaan hidup dibunuh secara kejam di Halim. Tujuh jenazah tersebut dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua yang sudah tidak terpakai (Ricklefs 1995: 427, Sektretariat Negara Republik Indonesia 1986: 43).

Menjelang fajar tanggal 1 Oktober 1965 Soeharto menuju Kostrad setelah mendapatkan informasi tentang hilangnya para jenderal dan terjadinya penembakan-penembakan di rumah mereka. Karena Nasution dan Ahmad Yani hilang, Soeharto mengambil alih komando atas Angkatan bersenjata dengan persetujuan jenderal-jenderal Angkatan Darat, Angkatan Kepolisian, dan Angkatan Laut yang dapat dihubungi. Pertempuran kecil di Halim terjadi ketika Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) bergerak memasuki kawasan tersebut pada menjelang fajar tanggal 2 Oktober 1965. Komandan Angkatan Udara yang berada di sana memerintahkan dihentikannya tembak-menembak, dan kudeta berakhir (Ricklefs 1995: 428-429).

Pada masa Orde Baru, G30S/PKI digunakan untuk menyebut peristiwa tersebut. Namun, pada masa Reformasi penggunaan kata PKI di belakang G30S mulai diperdebatkan, sehingga sering digunakan istilah G30S saja (https://www.tribunnews.com).

Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Ricklefs, M.C. (1995). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sarwoto, Paulus (2017). “Interrogating Indonesian New Order’s Narrative of Gestapu, Kritika Kultura 29. http://journals.ateneo.edu/ojs/kk.

Rossa, John (2008). Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Sektretariat Negara Republik Indonesia (1986). 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1965-1973. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Ketujuh.

“Alasan Mengapa Kita Seharusnya Menggunakan Istilah G30S, Bukan G30S/PKI”, https://www.tribunnews.com/nasional/2019/09/30/alasan-mengapa-kita-seharusnya-pakai-istilah-g30s-bukan-g30spki