Indie Weerbar
Indie Weerbaar merupakan istilah untuk sistem pertahanan bersenjata (milisi/pasukan) di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, digagas pertama kali oleh berbagai tokoh dan kelompok organisasi pergerakan nasional Indonesia. Melihat gelombang Perang Dunia I (1914-1918) yang dikhawatirkan akan sampai hingga ke Hindia Belanda, berdampak pada hubungan Belanda-Indonesia dan menimbulkan permasalahan pertahanan di Hindia Belanda. Maka sejak itu mulai dipersoalkan perlu tidaknya milisi tenaga muda untuk mempertahankan tanah air (Fachrurozi 2020: 128–143; Ricklefs 1991: 261).
Wacana pembentukan Indie Weerbaar sendiri sebenarnya telah menjadi salah satu bahan perdebatan di kalangan organisasi pergerakan nasional sejak 1907. Wacana tersebut semakin hangat diperbincangkan sejak sebuah artikel berjudul Indie Weerbaar yang ditulis seorang Staf Umum Tentara Kolonial bernama Mayor J. van der Weijden diterbitkan. Artikel tersebut kurang lebih berisi pendapat bahwa pembentukan pasukan Bumiputera akan mendorong persatuan antara pemerintah kolonial dengan Bumiputera, serta memperkuat solidaritas antar ras (Fachrurozi 2020: 128–143).
Meski demikian, wacana di atas pernah ditolak pemerintah Belanda pada 1913-1914. Namun dalam situasi Perang Dunia I, membentuk milisi adalah pilihan terbaik karena lebih efisien dari segi biaya jika dibandingkan memperbesar pasukan profesional. Oleh karenanya, gagasan tentang pembentukan Indie Weerbaar kembali dibicarakan mengingat anggaran kesejahteraan rakyat dan pertahanan Hindia Belanda mengalami penurunan akibat perang (Kartodirdjo 1990: 121). Maka artikel pertama Indie Weerbaar yang muncul langsung mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, terutama dua organisasi pergerakan besar pada masa itu, yaitu Budi Utomo dan Sarekat Islam (Nagazumi 1989: 162–164).
Organisasi Budi Utomo maupun Sarekat Islam pada awalnya menyambut baik ide Indie Weerbaar dengan milisinya secara positif. Adapun penolakan pembentukan Indie Weerbaar secara masif dilakukan oleh Semaoen, pemimpin Sarekat Islam cabang Semarang. Ia menolak orang-orang Bumiputera dijadikan tameng Belanda jika terjadi peperangan (Fachrurozi 2020: 128–143). Begitu pula, dengan Sarekat Islam yang melontarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia dapat diharapkan mempertahankan rezim penjajahan hanya apabila mereka memiliki wakil dalam pemerintahan. Sementara itu, Budi Utomo yang memiliki cabang di kalangan orang Jawa yang berdinas untuk tentara kolonial mulai melakukan kampanye tentang pentingnya pembentukan milisi (Kartodirdjo 1990: 121).
Persoalan Indie Weerbaar kemudian berkembang bukan hanya menyangkut milisi saja, melainkan dengan cepat direspon sebagai persoalan perwakilan rakyat sebagaimana yang dibahas dalam Kongres Budi Utomo di Bandung pada 5-6 Agustus 1915. Penuntutan kewajiban pembentukan milisi tidak terpisah dari hak-hak sebagai penduduk suatu negara. Wacana pembentukan Indie Weerbaar kemudian disusul dengan kesibukan sekitar pembentukan Dewan Rakyat melalui kampanye dan aktivitas politik yang sangat intensif (Kartodirdjo 1990: 121).
Sampai akhir 1917, wacana atau usulan Indie Weerbar semakin populer, hingga menarik perhatian para perwakilan organisasi pergerakan untuk terlibat langsung, antara lain Kusumodiningrat dari Vorstenlanden, Danusugondo dari Perhimpunan Bupati, Dwijosewoyo dari Budi Utomo, Abdul Muis dari Central Sarekat Islam, dan Labberton dari NITV. Setelah itu bertambah lagi satu anggota yaitu V.W Rhemrev, seorang peranakan Indo-Eropa dan pensiunan tentara kolonial. Merekalah nanti yang berangkat ke Belanda untuk melakukan audisensi langsung dengan Ratu Wilhelmina (Wicaksana 2019: 28).
Adapun petisi yang diajukan kepada Ratu Wilhelmina ialah terkait urgensi pembentukan kekuatan baru yang dapat melindungi Hindia-Belanda, baik di darat, laut, maupun udara (Pringgodigdo 1984: 2). Namun demikian, pembentukan Indie Weerbaar ternyata tidak disetujui oleh parlemen Belanda yang sekaligus juga membatalkan rancangan undang-undang pembentukan milisi. Adapun rancangan undang-undang mengenai pembentukan volksraad disetujui pada Desember 1916 (Ricklefs 1991: 262).
Penulis: Dhanang Respati Puguh
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Fachrurozi, Miftahul Habib. 2020. “Indie Weerbaar Polemic and the Radicalization of Sarekat Islam (1917-1918).” Indonesian Historical Studies, vol.4(2), hlm. 128–143.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Nagazumi, Akira, 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Terjemahan oleh Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. Jakarta: Grafitipers.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wicaksana, Hakiki Haria. 2019. “Dinamika Nederlandsch-Indische Theosofische Vereeniging di Batavia 1912-1933. Jurnal Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, vol. 4(4), hlm. 1–13.