Istana Gedung Agung

From Ensiklopedia

Istana Gedung Agung berada di pusat keramaian ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta, Malioboro, tepatnya berlokasi di Jalan Akhmad Yani. Kompleks istana berada di atas lahan seluas 43.585 m2 dengan ketinggian 120 m diatas permukaan laut.

Istana Gedung Agung adalah salah satu istana kepresidenan yang mempunyai sejarah panjang sejak masa Hindia Belanda dan memiliki arti penting bagi sejarah Indonesia. Riwayat awal pembangunan Istana ditujukan sebagai tempat tinggal pejabat Belanda di Kerajaan Ngayogyakarta yang dibangun sekitar tahun 1755 (Adhitama 1979:165). Penamaan awalnya disebut sebagai “loji kebun” karena keberadaannya yang dikelilingi oleh banyak tanaman.

Pada tahun 1824 atas inisasi dari Residen Yogyakarta Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert (1823-1825), gedung ini diperluas dan direnovasi dengan arsiteknya yang bernama A. Payen. Pada tahun 1869 gedung ini mengalami rehabilitasi pada masa Residen A.J.P. Hubert Desire Bosch karena rusak akibat gempa tektonik yang terjadi di Yogyakarta tahun 1867. Enam puluh tahun kemudian kantor residen ini mengalami peningkatan status menjadi kantor Gubernuran pada 19 Desember 1927 (Tashadi 1985:3-4). Terdapat banyak peristiwa penting yang terjadi di gedung ini sejak perubahan statusnya menjadi Gubernuran. Pada masa Hindia Belanda salah satunya adalah tempat perundingan “kontrak politik” antara GRM. Dorojatun yang kelak menjadi HB IX dengan Gubernur Jenderal Belanda Lucien Adam tahun 1940.

Pada masa Jepang, mulai tanggal 5 Maret 1942, gedung ini dinamai Gedung Tyookan Kantai dan digunakan sebagai kediaman Koochi Zimmukyoku Tyookan yang dijabat oleh Keiki Jammouchi. Pernah terjadi insiden penurunan bendera Hinomaru Jepang dengan bendera Indonesia Merah Putih pada 21 September 1945. Setelah peristiwa ini keluar amanat dari HB IX dan Paku Alam VIII tanggal 30 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa kantor Gubernuran telah dikembalikan kepada pihak Indonesia (Tashadi 1985: 43).

Gedung Agung menjadi saksi bisu sejarah pemerintah awal Indonesia ketika berpindah ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Presiden beserta keluarga dan para pejabat negara lainnya tinggal di Gedung Agung dan disekitarnya. Pada masa Agresi Militer II oleh Belanda tanggal 19 Desember 1948, Gedung Agung tidak luput dari serangan. Semua penghuni Gedung Agung ditawan. Sukarno-Hatta dan pejabat penting lainnya diasingkan. Namun, pada pertengahan tahun 1949, Gedung Agung kembali menjadi Istana Kepresidenan setelah pada bulan Juni Belanda menyatakan mundur dari Yogyakarta.

Setelah peristiwa Agresi Militer II diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang memutuskan Indonesia terbagi menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin oleh Sukarno dan Negara Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Assaat. Pada masa kepemimpinan Acting Presiden tahun 1949-1950, Gedung Agung menjadi Istana Kepresidenan Mr. Assaat. Setelah RIS melebur menjadi NKRI gedung ini dipergunakan oleh pemerintah daerah Yogyakarta.

Semenjak itu, kegiatan kenegaraan yang diadakan di Yogyakarta memakai Istana Agung sebagai tempat menginap dan penyelenggaraan kegiatan besar lain, di antaranya perundingan empat mata pada 4 Maret 1979 antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Malaysia Datuk Hussein Onn dalam menyikapi keadaan pertikaian di Indocina. Ajang kebudayaan internasional juga pernah diadakan, seperti Festival Film Asia ke-26 tahun 1980 (Tashadi 1985: 69).

Penulis: Martina Safitry
Instansi: UIN Raden Mas Said Surakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Kemendikbud. Tt. Gedung Agung. Diakses pada 25 Juni 2022 pada http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/kompleks-gedung-agung/

Sekertariat Negara. Tt. Istana Yogyakarta. Diakses pada 25 Juni 2022 pada https://www.setneg.go.id/baca/index/istana_yogyakarta

Tashadi, et.al. 1985. Gedung Agung Yogyakarta (Istana Kepresidenan di Yogyakarta). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Toeti Adhitama dan M.Alwi Dahlan. 1979. Istana Presiden Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.