Kantoor Adviseur voor Inlandsche Zaken
Pada akhir abad ke-19, dan berlanjut pada dua dasawarsa pertama abad ke-20, gelombang kolonialisme semakin menguat di wilayah Hindia Belanda. Pemerintah Kerajaan Belanda terus berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai kebijakan yang bersifat represif dan intervensionis terhadap kehidupan umat Islam di Hindia Belanda. Serangkaian perlawanan dari masyarakat muslim, umumnya dipimpin oleh para ulama, seperti Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), Pemberontakan Banten (1888). Selain memperkuat sentimen anti-kolonial, perlawanan tersebut juga menjadi kekuatan sosial-politik yang memberi umat Muslim ideologi-berbasis Islam untuk memberontak melawan kekuasaan kolonial. Dalam situasi penjajahan di wilayah asal mereka, sentimen anti-kolonial ini kemudian berubah menjadi ideologi gerakan protes keagamaan (jihad), yang dipicu oleh kebencian mendalam terhadap Belanda yang kafir, sementara semangat mereka untuk mempelajari dan menjalankan agama tumbuh semakin kuat (Kartodirdjo 1966: 148-9; Burhanudin, 2012:140-4).
Aktivitas anti-kolonial di Hindia Belanda tersebut menjadi ancaman bagi pemerintah Kerajaan Belanda khususnya pada akhir abad ke-19 (Laffan 2003: 39-43). Khususnya setelah melihat peran ulama, baik dalam ranah politik maupun dalam aktivisme anti-kolonial Islam pada akhir abad ke-19, pemerintah Kerajaan Belanda melancarkan proyek kolonial Belanda terhadap Islam dan Muslim di Hindia Belanda dalam bentuk pendirian Kantor Penasihat untuk Urusan Pribumi (Kantoor Adviseur voor Inlandsche Zaken). Bertanggung awab langsung kepada Gubernur Jenderal, lembaga ini memiliki fungsi utama sebagai penasehat Gubernur Jenderal untuk urusan pribumi, terutama berkaitan dengan permasalahan Islam dan kelompok Arab, mulai dari urusan terkait organisasi keislaman, pendidikan Islam, pengadilan agama, haji, hingga urusan masjid dan warisan (Suminto 1985: 111-114).
Lembaga ini mengeluarkan instruksi perdana pada tahun 1899, kala Cristian Snouck Hurgronje menjadi pimpinan. Instruksi tersebut berkaitan dengan kebijakan melakukan penelitian tentang lembaga-lembaga Islam di Hindia Belanda (Bijblad op het Staatsblad, no. 5393). Sedangkan instruksi kedua tahun 1907 menentukan bahwa tugas seorang adviseur adalah meneliti bahasa pribumi dan etnografinya, baik sendiri maupun bekerja sama dengan orang lain, serta jika diminta, memberikan nasehat tentang lembaga-lembaga pribumi dan laporan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian terkait (Bijblad op het Staatsblad, no. 6639). Pada tahun 1909, muncul instruksi kepada adviseur untuk memberikan laporan tentang pengawasan terhadap pendidikan anak-anak pribumi keturunan bangsawan, jika diminta oleh salah seorang kepala daerah (gubernur atau residen), atau orang tua yang bersangkutan (Bijblad op het Staatsblad, no. 7123).
Pada tahun 1931, berlaku instruksi baru yang membatalkan instruksi-instruksi sebelumnya, bahwa adviseur langsung bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal, dan hanya diperkenankan meninggalkan posnya di Jakarta, untuk mengadakan perjalanan dinas, dengan memberitahu pemerintah. Adapun bidang tugas adviseur menjadi diperluas, antara lain: 1) harus mengadakan penelitian tentang pergerakan agama, politik, dan kebudayaan dalam masyarakat pribumi; 2) berkewajiban mencari informasi tentang pergerakan kalangan Arab dan aliran kerohanian dalam Islam; 3) memperhatikan masalah haji; dan 4) mempelajari ilmu bahasa dan ernografi. Masalah tersebut harus disampaikan adviseur jika diminta dan dapat pula mengajukan usul dan rekomendasi kepada pemerintah, direktur suatu departemen, gubernur atau residen (Bijblad op het Staatsblad, no. 12630). Instruksi kelima dan keenam yang merupakan tambahan serta bertahun 1934 dan 1939, memberikan wewenang kepada seorang adviseur untuk mengangkat atau menyekors bahkan mengeluarkan pegawainya, sesuai dengan peraturan yang berlaku (Suminto, 1985: 105; G.F. Pijper, 1977: 361).
Melihat posisi dan peran yang dijalankan, Kantoor Adviseur voor Inlandse Zaken semakin mengokohkan kedudukan pemerintah Hindia Belanda, tidak sekadar sebagai organisasi pokok yang mengatur masalah politik Islam yang merangkum berbagai saran atas masalah-masalah pribumi, tapi juga menjadi pusat administrasi yang berperan dalam perencanaan dan penentuan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, utamanya yang berhubungan dengan urusan agama Islam. Posisi dan perannya bahkan lebih strategis dibandingkan dengan kantor-kantor lain yang bersinggungan dengan soal agama, seperti Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah) yang mengurus soal peribadatan umum penduduk yang beragama Nasrani, Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri) yang mengurus soal pengangkatan pejabat agama penduduk pribumi, perkawinan, kemasjidan, haji, dan lain-lain, maupun Departement van Justitie (Departemen Kehakiman) yang berwenang mengurus persoalan seputar Hofd voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi), Raad agama (peradilan agama), penasehat pengadilan negeri, kejaksaan, maupun penjara.
Selain Cristian Snouck Hurgronje yang menjabat sejak 1889 hingga 1906, beberapa nama yang sempat memimpin lembaga ini, antara lain Dr. C.A.J. Hazeu (Adviseur 1907-1913 dan 1917-1920), Dr. D.A. Rinkes (Adviseur 1913-1916), R.A. Kern (Adviseur 1921-1926, kecuali 1923), E. Gobee (Adviseur 1923 dan 1927-1937), serta Dr. G.F. Pijper (Adviseur 1937-1942, Adjunct, Adviseur, 1932-1937).
Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Burhanudin, Jajat (2012), Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Jakarta: Mizan Publika)
Kartodirdjo, Sartono (1966), The Peasant Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Courses, and Sequel, The Hague: Martinus Nijhoff.
Laffan, Michael F. (2003), Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Wind (London and New York: Routledge and Curzon)
Pijper, G.F. (1977), Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 (Leiden, E. J. Brill)
Suminto, H. Aqib (1985) Politik Islam Hindia Belanda: het Kantoor voot Inlandsche Zaken, 1899-1942 (Jakarta: LP3ES)