Kaum Muda

From Ensiklopedia

Kaum muda merupakan istilah yang berkembang di Sumatra Barat, dan dunia Melayu di Asiai Tenggara secara umum (Roff 1967: 56-86), pada kuartal pertama abad ke-20. Istilah ini merujuk pada kelompok ulama Minangkabau yang memiliki pandangan keagamaan baru sebagaimana diketengahkan kaum ulama reformis di Kairo, Mesir, khususnya Muhammad Abduh dan Rashid Rida (Abdullah, 1970: 2). Meski istilah yang sama juga digunakan elit Indonesia baru didikan sekolah Belanda, seperti Abdul Rifai dengan trrbitan Bintang Hindia (Adam 1995: 98-107), kaum muda sangat kuat diasosiasikan dengan gerakan pembaharuan Islam yang memang pertama kali mengemuka di Sumatra Barat (Noer 1973: 35).

Tampil dengan gagasan-gagasan baru yang sarat dengan pesan perubahan untuk kemajuan (progress), kaum muda berhadapan dengan kaum ulama berhaluan konservatif, yang dikenal dengan kaum tua. Meski sama-sama pernah belajar di Mekkah di bawah asuhan ulama terkemuka Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1915), keduanya terlibat dalam pertentangan dan konflik dalam ranah sosial-keagamaan, termasuk cara menghadapi perubahan menyusul proses modernisasi yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda.  Kedua kelompok ini setara dengan kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis yang pernah mewarnai dinamika keislaman di Jawa (Noer 19873: 78-83).

Berbasis nilai-nilai keislaman yang baru, kaum muda mengoreksi praktik-praktik ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Praktik-praktik tersebut meliputi banyak aspek, mulai dari pelapalan niyat shalat, bacaan qunut saat shalat shubuh, bahasa khutbah Jum’at, sampai tawassul yang membahas hubungan manusai dengan Tuhan. Juga termasuk dalam isu perdebatan sekitar ritual kematian (tahlil, haul, dan ziarah kubur). Bagi kaum muda, semua praktik keagamaan tidak memiliki dasar pada kehidupan keagamaan di masa Nabi, dan karenanya disebut bid’ah (Djamal 2002; Saleh 2001).

Aspek lain yang juga penting dicatat adalah perdebatan terkait dengan sikap terhadap modernitas. Sebagaimana diketahui, kaum muda sangat responsif dengan ide kemajuan, yang memang mengacu pada capaian Barat, termasuk bidang teknologi dan pemikiran filsafat serta lifestyle. Karena itu, pengadopsian unsur-unsur modern menjadi satu ciri utama gerakan kaum muda. Penggunaan pranata modern, termauk saya pakaian pernah memicu perdebatan dengan kaum tua. Muslim perkotaan, juga tokoh kaum muda, pernah meminta fatwa kepada ulama Mesir, Rashid Rida, terkait pengharaman ulama kaum tua atas kebiasaan baru di kalangan kaum terpelajar (seperti memakai topi dan dasi, menggunakan gramaphon untuk lantunan ayat al-Qur’an) yang menyerupai gaya hiudp rang Barat. Sebagaimana bisa diduga, fatwa Rashid Rida yang dimuat di jurnal al-Manar di Kairo, dan kemudian disalin di jurnal al-Munir di Padang, bernada mendukung pemikiran dan sikap kaum muda tersebut (Burhanudin 2021: 56-79; Kaptein 2009: 176-195).

Bersama dengan pemikiran keagamaan di atas, kaum muda juga tampil dengan institusi baru dan modern yang berbeda dari kaum tua. Lembaga pendidikan surau, yang berakar sangat kuat dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat Minangkabau, ditransformasi menjadi lembaga pendidikan modern. Sumatra Thawalib, seperti di Padang Panjang, Parebek, dan Jembatan Besi, adalah bukti dari transformasi tersebut. Semuanya mengubah banyak segi fundamental dalam praktik pengajaran ala surau, mulai dari pranata pembelajaran, metode yang digunakan, hingga kurikulum berikut sumber bacaan (Abdullah 1970: 35-36; Daya 1990).

Proses transformasi ini tentu saja memiliki landasan kuat dalam secara sosiologis-historis masyarakat Minangkabau saat itu. Di samping banyak berdiri sekolah Belanda, tidak sedikit tokoh kaum muda mendirikan sekolah Islam modern. Mereka antara lain Abdullah Ahmad dengan Adabijah School di Padang pada 1909, Mahmud Yunus dengan Diniyah School di Batusangkar, dan Zainuddin Labai el-Yunusi dengan sekolah serupa di Padang Panjang ((Abdullah 1970: 210-216; Daya 1990: 83-84; Steenbrink 1986: 44). 

Selain sekolah, gerakan kaum muda juga dicirikan dengan penerbitan jurnal, khususnya al-Munir di Padang pada 1911, meneruskan al-Imam di Singapura pada 1906-1908. Al-Munir hadir sebagai bentuk baru teks Islam yang sebelumnya terbatas dalam bentuk kitab, baik kitab jawi berbahasa Melayu maupun kitab berbahasa Arab. Bergaya jurnal, maka banyak hal dari aspek non-keagamaan hadir sebagai substansi isi al-Munir, termasuk perkembangan sosial-politik di Hindia Belanda dan negeri-negeri Muslim. Dalam konteks keislaman, al-Munir banyak menerjemahkan sejumlah artikel di jurnal al-Manar di Kairo (Burhanudin 2012: 287-290).

Dengan demikian, kaum muda telah memperkuat arus gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, dan selanjutnya pembentukan Muslim reformis di peerkotaan yang terus berlangsung hingga kini.

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abdullah, Taufik. 1967. Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development. M.A Thesis, Cornell University

Abdullah, Taufik. 1970. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Ithaca: Modern Indonesian Project Cornell University.

Adam, Ahmat bin (1995) The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913), Ithaca: Southeast Asian Program Cornell University.

Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.

Burhanudin, Jajat. 2021. “Halal Practices at the Dawn of Southeast Asian Modernity: Some Cases of Halal Fatwa in al-Manar in the Beginning of the 20th Century”, in Halal: Genealogy, Current Trends and New Interpretations, edited by Ayang Utriza Yakin and Louis Leon. Leiden: Brill.

Daya, Burhanudin (1990) Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Djamal, Murni (2002) Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20, Jakarta: INIS.

Kaptein, N.J.G.  2009. “Southeast Asian Debates and Middle Eastern Inspiration: European Dress in Minangkabau at the Beginning of the Twentieth Century”. In Southeast Asian and the Middle East: Islam, Movement, and the Longue Duree, edited by Eric Tagliacozzo, 176-195. Stanford: Stanford University Press.

Maharadja, Datuk Sutan. 1917. "Kaoern Moeda tahoen 1906," Oetoesan Melajoe, December 22, 1917.

Noer, Deliar (1973) The modernist Muslim movement in Indonesia 1900-1942, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Roff, Willaim R. 1967. The origins of Malay Nationalism, New Haven and London: Yale University Press.

Saleh, Fauzan (2001) Modern Trends in Islamic Theological Discourses in 20th Century Indonesia, Leiden: E.J. Brill.

Steenbrink, Karel A. (1984), Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang.