Kepulauan Aru

From Ensiklopedia

Kepulauan Aru pada hari ini adalah salah satu kabupaten di, Provinsi Maluku, dengan ibu kotanya terletak di Dobo, Pulau Wamar. Posisinya berada sekitar 120 km ke barat dari Kepulauan Kei, 150 km dari Papua di Utara, serta 550 km dari Arnhem Land, Australia. Di dalam kepulauannya, terdapat berbagai pulau-pulau baik besar maupun kecil seperti Kola, Wokam, Kobror, Maikor, Koba, dan Trangan, yang berjumlah kurang lebih 180 pulau. Di antara pulau-pulau tersebut, terdapat beberapa kanal, sering disebut juga sungai, yang melintasi jantung Kepulauan Aru dan menjadi jalur utama bagi perjalanan antar pulau oleh kapal-kapal kecil (Matthew Spriggs, et al, 2006:4). Dengan fitur geografisnya, Kepulauan Aru terbagi dalam dua zona geografis, yaitu sisi barat atau Depan Tanah; dalam bahasa Belanda Voorwal, dan sisi timur atau Belakang Tanah; Achterwal. Selain mengacu kepada dua zona geografis yang sedikit berbeda, baik Depan Tanah maupun Belakang Tanah dari memiliki perannya masing-masing dalam di dalam sejarah Kepulauan Aru. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, sisi timur Aru selalu menjadi sumber utama dari komoditas yang dihasilkan oleh Aru (Patricia Spyer, 2000a: 5).

Wilayah sisi timur telah menjadi produksi utama bagi berbagai komoditas seperti tripang, agar-agar, sarang burung, cangkang kura-kura, dan tentunya mutiara, cangkang mutiara, yang dicari oleh pedagang dari Seram, Kei, dan Gorom. Komoditas tersebut ditukar untuk sago, tekstil, perahu kayu, minyak kelapa, hingga berbagai maca peralatan dari kayu dan besi. Aktivitas perdagangan ini dilakukan secara umum melalui barter menggunakan gading gajah, gong atau juga koin perak. Sedikit demi sedkit komoditas ini berhasil memposisikan Kepulauan Aru di dalam jaringan perdagangan Maluku dan Nusantara (R.F. Ellen, 2003: 106).

Dengan kegiatan perdagangan inilah, Belanda dengan VOC mulai memasuki Kepulauan Aru pada tahun 1623 hingga pengaruhnya semakin menurun di tahun 1780-1790an, ketika uang dan tenaga VOC tekuras untuk memerangi Jou Mangofa, saudara dari Pangeran Nuku yang beraliansi dengan Kepulauan Aru (Gordon, et al., 2019: 18). Kehadiran Belanda baru datang kembali di awal abad ke-19, setelah adanya kenaikan aktivitas perdagangan di Kepulauan Aru. Alfred Russel Wallace yang mengunjungi Aru di tahun 1857 menggambarkan situasi sebuah desa besar bernama Dobo yang dihuni oleh 1.000 pengelana, demi mendapatkan teripang dan hasil laut lainnya. Kepentingan pemerintah kolonial menjadi semakin kuat setelah beberapa kapal pengambil mutiara dari Australia mulai memasuki perairannya. Hal ini mendorong Aru untuk diintegrasikan secara paksa pada tahun 1893, setelah terjadi pemberontakan oleh penduduk Aru terhadap pemerintah kolonial di tahun yang sama (Spyer, 2000b: 58-59).

Dengan aktifnya kehadiran negara kolonial, izin untuk mengakses sumber daya laut Aru juga diperketat dan hanya dikeluarkan untuk perusahaan dengan kapital terbesar. Situasi baru ini menghadirkan perusahaan besar Celebes Trading Company atau CTC milik Australia untuk datang dan mengeksploitasi tiram mutiara Aru hingga tahun 1930an. Pada masa ini, Kepulauan Aru mengalami “demam mutiara”, layaknya “demam emas” yang terjadi di Amerika dan Australia di abad ke-19. CTC membawa banyak buruh mutiara mereka yang berasal dari Kupang, Filipina, dan Jepang mengisi tiap sudut di kota Dobo. Buruh-buruh ini berada bahkan mencapai angka 1.000, dengan 500an buruh tersebuut merupakan orang Jepang (Hiroshi, Hitoshi, 2002: 49). Selama periode tahun 1905 – 1918, Kepulauan Aru menjadi tempat bertemunya masyarakat internasional dibawah kendali perusahaan mutiara dan bertransformasi dari sebuah wilayah kecil yang asing, menjadi tempat yang terkoneksi dengan dunia industri lebih besar.

Meski demikian, kesejahteraan ekonomi di Kepulauan Aru tidak berlangsung begitu lama. Dengan adanya malaise ekonomi pada tahun 1930an dan ketakutan akan munculnya Jepang sebagai kekuatan militer di Asia, maka beberapa proses militerisasi terjadi di Kepulauan Aru. Sebuah detasemen militer di Dobo dibentuk untuk menghalangi pendudukan Jepang tetapi pada Agustus 1942, Kepulauan Aru takluk terhadap 200 bala tentara Jepang bersama dengan 2 kapal perangnya (De Actie of Kei-Aroe en Tanimbar eilanden, 1954: 146-147).  Setelah militer Jepang berhasil menyerah pada tahun 1945, sumber daya laut Kepulauan Aru kembali dieksploitasi oleh perusahaan Australia, Combined Trading Company, yang kemudian harus memperkecil operasinya ketika Pemberontakan RMS terjadi di tahun 1950 (Martinez, Vickers, 2017: 134). Pada akhrinya, industri mutiara di Aru berakhir di tahun 1954 ketika perusahaan tersebut dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia (De Nieuwsgier, 1954).  Dengan demikian, kehadiran perusahaan asing yang selama ini membawa nama Kepulauan Aru sebagai pulau utama dalam produksi mutiara sudah menjadi masa lalu. Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari industri yang bergeliat dan hidup, Kepulauan Aru kembali berdiam di Maluku, menjadi wilayah ‘terpencil’ bagi Indonesia.

Penulis: Rangga Ardia Rasyid


Referensi

A Ross Gordon, Sonny A. Djonler, Hans Hagerdal, 2019, “The killing of Posthouder Scheerder and Jifar Folfolun (The War of the Breasts): Malukan and Dutch narratives of an incident in the VOC’s waning days”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 50 No. 3.

“De Actie op de Kei-Aroe en Tanimbar-eilanden in ’42”, 1954, Militaire Spectator, Vol. 49, No. 118.

De Nieuwsgier, 6 April 1954.

Julia Martinez, Adrian Vickers, 2017, The Pearl Frontier Indonesian Labor and Indigenous Encounters in Australia’s Northern Trading Network, (University of Hawaii Press: Honlulu).

Matthew Spriggs, Sue O’Connor, Peter Veth, 2006, “The Aru Islands in Perspective: A General Introduction”, dalam S. O’Connor, M. Spriggs, P. Veth (ed.), The Archeology of the Aru Islands, (Canberra: Australian National University Press).

Patricia Spyer, 2000a, The Memory of Trade Modernity’s Entanglements on an Eastern Indonesian Island, (Durham, London: Duke University Press, 2000.  

Patricia Spyer, 2000b, “Zaman Belanda: Song and Shattering of Speech in Aru, Eastern Indonesia”, Indonesia, No. 70.

R.F. Ellen, 2003, On the Edge of the Banda Zone, Past and Present in the Social Organization of a Moluccan Trading Network, (Honolulu: University of Hawai’i Press).

Shimizu Hiroshi, Hirakawa Hitoshi, 2002, Japan and Singapore in the World Economy Japan’s Economic Advance into Singapoe 1870-1965. (London dan New York: Routledge).