Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)

From Ensiklopedia

Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dibentuk pada awal tahun 1966. Pembentukannya diawali dengan pertemuan yang diadakan oleh sejumlah sarjana ITB, UNPAD, UNPAR dan perguruan tinggi lain di Bandung. Pertemuan diadakan beberapa saat setelah terjadinya aksi kekerasan terhadap peserta demonstrasi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Semua yang hadir dalam pertemuan itu merasa tidak puas atas kesewenang-wenangan dan kekejaman tentara terhadap para mahasiswa dan peserta demonstrasi yang memiliki itikad luhur untuk memperjuangkan nasib rakyat. Dari pertemuan itu, jelas terjadinya berbagai bentuk kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merusak kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Para sarjana yang hadir dalam pertemuan tersebut bersepakat untuk membentuk sebuah organisasi yang dinamakan KASI. Dalam landasan aksinya dirumuskan, KASI bertujuan untuk mempersatukan para sarjana dan cendekiawan guna menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai dasar untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam bidang politik dan sosial-ekonomi saat itu (Naim 2011; Robiyani 2017).

Pembentukan KASI di Bandung kemudian diikuti pembentukan KASI di kota-kota lain, seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Medan, Palembang, Padang, Jambi, Makassar, Denpasar, Manado dan lain-lain. Menjelang akhir tahun 1966, di Bandung diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) KASI yang dihadiri para wakil KASI dari berbagai kota di Indonesia. Tujuan Munas adalah untuk menyelaraskan adanya satu tujuan dan langkah perjuangan. Munas juga memilih pimpinan KASI, terpilih sebagai ketua adalah Mashuri S.H, dan pengurus lainnya adalah Adnan Buyung Nasution SH, Widowati SH, Hadeli Hasibuan SH (Sardiman 2015).

Munas KASI melahirkan sejumlah keputusan, diantaranya: 1). Mendukung Orde Baru dalam meruntuhkan Orde Lama: 2). Menghimbau pemerintah agar menyadari pentingnya pendidikan dalam membangun masyarakat; 3). Menyelamatkan lembaga-lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi dari campur tangan kekuatan-kekuatan di luarnya, sebab hal itu melanggar prinsip kebebasan ilmiah dan hanya akan menyebabkan perguruan tinggi menjadi ajang pertarungan politik; 4). Mendirikan badan penelitian ilmiah yang mandiri sebagai tempat para ilmuwan melaksanakan penelitian; 5). Membangun badan pendidikan nasional yang anggotanya terdiri dari para ahli yang luas pengalamannya sedangkan Majelis Pendidikan Nasional buatan PKI harus dibubarkan (Sardiman 2015).

KASI menjadi terganggu jalannya ketika ada tawaran dari Kolonel Ali Murtopo dari Opsus (Operasi Khusus) agar para anggota kesatuan-kesatuan aksi (KAMI, KASI dan KAPPI) bersedia diangkat sebagai anggota DPR-GR atau MPRS menggantikan para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Tawaran tersebut menyebabkan KASI terpecah dua, sebab ada di antara anggotanya yang menerima tawaran  dan ada pula yang menolak. Kelompok yang menerima menganggap kedudukan di dewan perwakilan itu adalah kelanjutan dari perjuangan politik mereka, sedang yang menolak beranggapan perjuangan kesatuan aksi itu adalah perjuangan moral (Robiyani 2017).

Perbedaan pandangan dan penerimaan tawaran dewan perwakilan tersebut sekaligus menjadi awal mundurnya keberadaan KASI dalam gelanggang politik nasional. Kemunduran kiprah organisasi ini juga disebabkan oleh semakin aman dan terkendalinya situasi politik nasional. Tidak hanya KASI, berbagai kesatuan aksi lainnya yang telah terbentuk dan berperan aktif pada hari-hari terakhir Orde Lama mulai mengalami kemundur dan kemudian hilang dari panggung politik nasional.

Penulis: Wiwik Anatasia


Referensi

Robiyani, A. 2017. “Perjuangan Mahasiswa Angkatan 66: Tuntutan Pembubaran

Partai Komunis Indonesia (PKI)” dalam Tsaqofah, 15(2),hal.  111-134.

Nain, Nazir Abu, 2011. Angkatan 66 Dalam Lintas Sejarah Perjuangan Bangsa.

Jakarta; Cipro Media.

Sardiman, S. 2015. Menakar Posisi Sejarah Indonesia Pada Kurikulum 2013.