Komite Nasional Indonesia (KNI)
Komite Nasional Indonesia (KNI) adalah suatu komite yang dibentuk dalam sidang PPKI tanggal 18-22 Agustus 1945. Komite ini bertugas membantu Presiden dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam pelaksanaannya, KNI terbagi menjadi dua, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertugas sebagai parlemen sementara untuk membantu tugas-tugas presiden. Sementara itu di daerah-daerah dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang bertugas membantu kepala daerah atau gubernur dalam mengendalikan pemerintahan atau dalam proses pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang (Anderson 1988: 110).
Pada 19 Agustus 1945, meskipun ada bantahan dari Jenderal Yamamoto tentang sikap Jepang yang harus menjaga status quo Indonesia berdasarkan deklarasi Potsdam, PPKI tetap melaksanakan sidang dengan mengatasnamakan dirinya untuk pertama kali, Komite Nasional Indonesia (KNI), sesuai dengan syarat-syarat Undang-Undang Dasar 1945 (Abdullah & Lapian 2012: 128). Persetujuan umum dicapai mengenai pembagian Hindia Belanda menjadi 8 provinsi, masing-masing dikepalai oleh gubernur. Setiap gubernur harus dibantu oleh Komite Nasional (KN) setempat (Anderson 1988: 110).
Pada 22 Agustus 1945, PPKI memutuskaan untuk membentuk secara resmi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk menggantikan peranan PPKI sebagai parlemen sementara (Anderson 1988: 112). Pembentukan KNIP ini disampaikan oleh Sukarno yang untuk pertama kali berpidato sebagai presiden pada tanggal 23 Agustus 1945. Selain itu Sukarno juga mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) (Notosusanto 1975: 30). Dalam pidato itu, Sukarno menyerukan dibentuknya Komite Nasional di Jakarta dan daerah-daerah lainnya dalam upaya mewujudkan kemauan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan supaya bersatu padu, membantu menenteramkan rakyat dan menjaga keselamatan umum, serta membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita bangsa Indoesia dan di daerah membantu pemerintah daerah untuk kesejahteraan umum (Abdullah & Lapian, 2012: 131).
Instruksi Sukarno tersebut ditanggapi oleh para tokoh dan pejuang di daerah dengan membentuk KNI-KNI Daerah. Kendala utama dalam pembentukan KNI-KNI Daerah adalah keberadaan pasukan Jepang yang menjaga status quo hingga kedatangan pasukan Sekutu. Serdadu-serdadu Jepang masih memegang senjata lengkap dan kekuasaan di daerah (Kahin 1995: 178). Oleh karena itu, di beberapa daerah terjadi pengambilalihan kekuasaan yang disponsori oleh KNID dan pemuda dan berlangsung dengan cara pertempuran antara pemuda dengan pasukan Jepang. Di Yogyakarta, penyerbuan ke markas pasukan Jepang di Butai Mase Kotabaru pimpinan Mayor Otsuka tanggal 7 Oktober 1945 menyebabkan meninggal dunia 21 orang pejuang dan penawanan 360 tentara Jepang di penjara Wirogunan (Tashadi dan Harnoko 1990: 44). KNID Surakarta yang dipimpin Mr. Sumodiningrat, yang merupakan ipar Susuhunan Paku Buwono XII, juga menggerakkan para pemuda untuk menyerang markas Kenpetei di jalan Slamet Riyadi di Surakarta. Penyerbuan ini menyebabkan seorang pejuang bernama Arifin meninggal dunia dan seluruh pasukan Kenpetai ditawan di penjara Tampir Boyolali (Kamajaya 1993: 10).
Di wilayah dimana birokrat tradisional dan aristokrat memegang kendali, KNI-KNI Daerah seperti di Surakarta, Sumatera Timur, dan Tiga Daerah (Brebes, tegal, dan pemalang) terjadi gelombang revolusi sosial yang menghancurkan para elite tradisional lama (Anderson 1988: 364-403).
Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Anderson, Ben. (1988). Revoelosi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa, 1944-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Notosusanto, Nugroho, ed. (1975). Sejarah nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kahin, George M.C. Turnan. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Kamajaya, Karkana. (1993). “Revolusi di Surakarta”, Temu Ilmiah di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Tashadi dan Darto Harnoko. (1990). Keterlibatan Ulama DIY Pada Masa perang Kemerdekaan Periode 1945-1949. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional.