Konferensi Asia Afrika (The Asian-African Conference/The Bandung Conference)

From Ensiklopedia

Konferensi Asia Afrika (KAA), juga dikenal dengan Konferensi Bandung, merupakan realisasi dari gagasan tentang solidaritas negara-negara Asia-Afrika menentang kolonialisme, neokolonialisme dan imperialisme.  Diselenggarakan oleh lima negara Asia-Afrika—Indonesia, Burma/Myanmar, Ceylon/Sri Lanka, India, dan Pakistan—KAA menjadi satu momentum bagi kebangkitan kembali bangsa-bangsa Asia dan Afrika (a New Asia and a New Africa have been born) (Varadyna, 2021, p. 53). KAA secara resmi menyatukan gerakan politik solidaritas negara-negera dengan masyarakat yang beragam secara budaya, yang disatukan oleh semangat perjuangan yang sama melawan kolonialisme, neo-kolonialisme, dan imperialisme. Pertemuan ini merupakan media untuk menyampaikan harapan dan aspirasi politik untuk sebuah tatanan baru yang dibentuk oleh nilai-nilai yang diambil dari perjuangan bersama negara-negara Asia-Afrika. (Webera & Winantib, 2016, p. 391)

KAA diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955 dan diikuti oleh 29 negara peserta yang terdiri dari negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka dan sedang berjuang meraih kemerdekaan. Indonesia mendapat kehormatan untuk memimpin konferensi dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sebagai ketuanya dan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani sebagai Sekretaris Jenderal. Sedangkan delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Sunarjo (Deppen, 1965, p. 9). Sebagai pertemuan dengan simbol politik sangat kuat, KAA mampu menarik perhatian banyak bangsa di luar Asia dan Afrika (Utama, 2016, p. 12).

KAA diselenggarakan sebagai respon atas situasi dunia yang tidak stabil. Di samping ketegangan seiring pecahnya Perang Dingin antara blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dan negara komunis blok Timur (Uni Soviet), masih banyak negara yang terkungkung dalam penjajahan Eropa menjadi faktor yang mendorong lahirnya pemikiran tentang KAA. Dalam hal ini, Konferensi Kolombo menjadi satu momen penting bagi lahirnya KAA. Pada 25 April - 2 Mei 1954, Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia saat itu, memenuhi undangan Perdana Menteri Ceylon (Sri Lanka), Sir John Kotelawala untuk membahas tentang berbagai persoalan yang sedang dihadapi dunia.

Dalam pertemuan yang dikenal dengan Konferensi Kolombo itu, Ali Sastroamidjojo juga bertemu dengan beberapa pemimpin negara-negara dari Asia-Afrika, yakni Perdana Menteri perwakilan negara Asia-Afrika yang diundang, yaitu Sir John Kotelawala (Ceylon/Sri Lanka), Jawaharlal Nehru (India), Mohamad Ali (Pakistan), U Nu (Burma/Myanmar), dan Ali Sastroamidjojo (Indonesia). Pada pertemuan di Ceylon inilah tercetus gagasan untuk menghimpun suatu forum di antara negara-negara Asia dan Afrika (Matanasi, 2019). Dalam salah satu point  dari Komunike Bersama Konferensi Kolombo, Indonesia ditugaskan untuk mempertimbangkan kemungkinan diadakannya konferensi dalam skala yang lebih luas. (Deppen, 1965, p. 7) Konferensi Kolombo, yang dilanjutkan dengan konferensi di Bogor pada 28-29 Desember 1954, merupakan cikal bakal diselenggarakannya KAA di Bandung pada 1955. (J., 1954, pp. 293-294)

Setidaknya terdapat empat tujuan diselenggarakannya KAA, sebagaimana dijabarkan secara jelas oleh Perdana Menteri Burma/Myanmar, Sri Lanka, India, Indonesia, dan Pakistan dalam komunike bersama yang dikeluarkan pada akhir pertemuan para pemimpin negara tersebut di Bogor (28-29 Desember 1954). Komunike bersama tersebut ditegaskan kembali oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo dalam pidato pembukaannya sebagai ketua KAA, sebagai berikut:

(a) Mendorong dan menjalin kerjasama antar negara-negara Asia dan Afrika untuk mengeksplorasi dan memajukan kepentingan bersama untuk membangun dan meningkatkan hubungan persahabatan;
(b) Mempertimbangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya dan hubungan antar negara-negara yang mewakili;
(c) Mempertimbangkan masalah-masalah yang menjadi perhatian khusus bangsa Asia-Afrika, seperti masalah-masalah yang mempengaruhi kedaulatan nasional, rasialisme, dan kolinialisme;
(d) Melihat posisi Asia-Afrika dan masyarakatnya di dunia saat ini dan kontribusi yang dapat diberikan untuk memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. (Guan, 2008, p. 28)

KAA berusaha meyakinkan negara-negara Asia-Afrika bahwa keempat tujuan tersebut dapat dicapai, tidak hanya melalui netralisme tetapi juga melalui koeksistensi damai di antara mereka  dan dengan negara-negara besar. Berkenaan dengan yang terakhir, KAA memberikan kesempatan untuk memperkenalkan Cina, kekuatan Asia berhaluan komunis yang baru muncul dan bagi banyak orang dianggap berbahaya dan mengancam, ke dalam kelompok negara-negara yang baru merdeka. Cina dianggap sebagai faktor kunci yang menentukan kestabilan Asia Tenggara. (Guan, 2008, pp. 28-29) Terdapat pro dan kontra mengenai rencana diundangnya Cina sebagai peserta konferensi. Pakistan menentang rencana tersebut karena partisipasi Cina yang berpaham komunis dapat menyebabkan negara-negara Arab tidak ikut berpartisipasi dalam KAA. Sebaliknya, India, Burma/Myanmar, dan Indonesia menganggap bahwa partisipasi Cina adalah suatu isu utama. Keputusan akhirnya pada rencana awal dengan tetap mengundang Cina sebagai peserta dalam konferensi (Anwar, 2004, p. 136). Salah satu yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana mengurangi ketegangan yang meningkat antara Beijing dan Washington yang diakui bukanlah tugas yang mudah (Guan, 2008, pp. 28-29).

Rencana atas penyelenggaraan KAA membawa kekhawatiran bagi AS atas meluasnya pengaruh komunis di Asia Tenggara. Melalui CIA (Central Intelligence Agency), badan intelijen AS, pernah dilakukan operasi untuk menggagalkan penyelenggaraan KAA. AS menganggap bahwa KAA merupakan tantangan langsung bagi pembentukan SEATO (South East Asia Treaty Organization), sebuah aliansi militer politik negara-negara Asia Tenggara yang disponsori oleh AS dengan tujuan membendung pengaruh komunis di wilayah Asia Tenggara. Namun, KAA tetap berjalan sesuai persiapan (Wardaya, 2006, pp. 99-100).

KAA dibuka dengan sebuah pidato yang disampaikan oleh Presiden RI Sukarno, yang menegaskan bahwa sebagai bangsa merdeka yang berdaulat dan mandiri tidak perlu lagi bergantung kepada bangsa lain untuk melakukan pembicaraan atau perundingan-perundingan untuk membahas masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama. Presiden Sukarno melihat kemandirian bangsa Asia sejak diselenggarakannya Konferensi Kolombo (Varadyna, 2021, p. 53).

Presiden Sukarno juga menegaskan bahwa kolonialisme belum mati selama negara-negara Asia-Afrika belum sepenuhnya merdeka. Kolonialisme yang dimaksud bukan hanya kolonialisme dalam bentuk klasik, tetapi juga kolonialisme modern dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan materiil yang nyata dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Selanjutnya mengenai perdamaian, Presiden menegaskan bahwa tidak ada yang lebih darurat daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian, kemerdekaan tidak ada manfaatnya. Pidato Presiden Sukarno mendapat sambutan hangat dari para peserta KAA dan berpengaruh besar terhadap dunia luar (Deppen, 1965, p. 8).

KAA menghasilkan sepuluh poin yang berisi tentang pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia yang kemudian dikenal dengan Dasasila Bandung. Sepuluh poin tersebut, yaitu:

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tudjuan-tudjuan serta asas-asas jang termuat dalam piagam P.B.B.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritet teritorial semua bangsa-bangsa.
  3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa, bangsa besar maupun ketjil.
  4. Tidak melakukan intervensi atau tjampur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak-hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri setjara sendirian atau setjara kolektif, jang sesuai dengan Piagam P.B.B.
  6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan chusus dari salah satu negara besar. b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau antjaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritet teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
  8. Menjelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan djalan damai, seperti perundingan, persetudjuan, arbitrase, atau penjelesaian hakim ataupun lain-lain tjara damai lagi menurut pilihan fihak-fihak jang bersangkutan, jang sesuai dengan piagam P.B.B.
  9. Memadjukan kepentingan bersama dan kerdja sama.
  10. Menghormati hukum dan kewadjiban–kewadjiban internasional. (Deppen, 1965, p. 9)


Dasasila Bandung didahului dengan pernyataan konferensi, yang antara lain kemerdekaan dan perdamaian saling berkaitan. Hak untuk menentukan nasib sendiri harus dapat dirasakan oleh semua bangsa dan kebebasan serta kemerdekaan harus diberikan dengan segera kepada bangsa-bangsa yang belum merdeka. Semua bangsa harus mendapatkan haknya untuk bebas memilih sistem politik, ekonomi, dan cara hidup yang sama yang diinginkannya sesuai dengan tujuan dan prinsip yang termuat dalam piagam PBB. Berkaitan dengan persoalan bangsa-bangsa yang belum merdeka, beberapa hal disetujui dalam konferensi, yaitu:

a. Menjatakan bahwa kolonialisme dalam bentuknja jang bagaimanapun adalah suatu kedjahatan jang segera harus diachiri.
b. Menegaskan bahwa didjajahnja serta diperasnja bangsa-bangsa oleh kekuasaan asing merupakan pelanggaran hak-hak dasar manusia, bertentangan dengan piagam P.B.B. dan merupakan penghalangan bagi tertjapainja perdamaian dan kerdjasama sedunia.
c. Menjatakan bantuannja kepada perdjuangan untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan bagi semua bangsa-bangsa tersebut.
d. Menjerukan kepada negara-negara jang bersangkutan supaja memberikan kebebasan kemerdekaan kepada bangsa-bangsa tadi. (Deppen, 1965, p. 9)

KAA dan resolusi-resolusi yang dihasilkan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan solidaritas negara-negara di Asia dan Afrika hingga kemudian dikenal istilah Semangat Bandung atau The Bandung Spirit. Bandung dianggap sebagai tempat kebangkitan budaya menentang imperialisme sebagai ekspresi alternatif modernitas paska kolonial. Dalam hal ini, Bandung menghasilkan serangkaian konferensi sebagai bentuk solidaritas Asia-Afrika anti-imperialisme dalam hal budaya, diantaranya yaitu Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (Bandung, 1956), Konferensi Jurnalis Asia-Afrika (Tokyo, 1956), Konferensi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika (Kairo, 1958), Konferensi Wanita Asia-Afrika (Colombo, 1958), dan Konferensi Penulis Asia-Afrika (Tashkent, 1958).

Sementara dalam sosial, ekonomi, dan politik, Semangat Bandung membawa solidaritas Asia-Afrika untuk memperjuangkan berbagai isu, diantaranya isu apartheid di Afrika hingga pendudukan Israel atas Palestina. Berbagai upaya pembebasan negara-negara terjajah meraih kemerdekaan dan kedaulatan nasional, khususnya di Asia-Afrika, bertujuan untuk mewujudkan kemajuan sosial dan ekonomi bangsa-bangsa Asia-Afrika (Luis Eslava, 2017, pp. 18-19). KAA juga merupakan pelopor dari gagasan-gagasan terbentuknya suatu organisasi internasional beranggotakan negara-negara yang menganggap dirinya tidak beraliansi dengan kekuatan besar apapun, yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement) pada bulan September 1961 (ABRI; Dephan, 1984, p. 24). Konferensi Asia-Afrika dan Semangat Bandung memberi arti penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia dan dunia dalam perjuangan anti-kolonialisme, imperialisme, dan perdamaian dunia.

Penulis: Azrohal Hasan
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

[Ed.] (1965) “Konperensi Asia Afrika dan Sedjarahnja”, dalam Mimbar Penerangan Volume 15, Edisi 1-3. Djakarta: Departemen Penerangan.

ABRI; Dephan (1984) Mimbar Kekaryaan ABRI Edisi 164-176. Jakarta: Departemen Pertahanan-Keamanan, Staf Pembina Karyawan.

Adriano José Timossi (2015) “From The Final Communique of the Asian-Africann Conference of Bandung, dalam Revisiting the 1955 Bandung Asian-African Conference and Its Legacy, https://www.southcentre.int/question/revisiting-the-1955-bandung-asian-african-conference-and-its-legacy/

Amitav Acharya; See Seng Tan. 2008. Bandung Revisited: The Legacy of the 1955 Asian-African Conference for International Order. Hawaii: University of Hawaii Press.

Anwar, Rosihan (2004) Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Gilbert Rist (2008) The History of Development: From Western Origins to Global Faith – Third Edition. London & New York: Zed Books.

Heloise Webera; Poppy Winantib (2016) “‘Semangat Bandung’ dan Internasionalisme Solidaritas”, dalam Australian Journal of International Affairs Vol. 70 No. 4.

http://asianafricanmuseum.org/sejarah-konferensi-asia-afrika/

http://bemuntar.com/Masihkah-Peringatan-KAA-Relevan-Bagi-Generasi-Milennial/

https://tirto.id/sejarah-konferensi-asia-afrika-yang-lahirkan-solidaritas-global-Fvp

I.J. (1954) “The Colombo Conference: Neutrality the Keynote”, dalam The World Today, Jul., 1954, Vol. 10 No. 7. London: Royal Institute of International Affairs.

Luis Eslava & dkk. (2017) Bandung, Global History, and International Law. Cambridge: Cambridge University Press.

Utama, Wildan Sena (2016) “From Brussels to Bogor: Contacts, Networks and the History of the Bandung Conference 1955”, dalam Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities (JISSH); Vol. 6, Issue 1.

Varadyna, Yunida (2021) “Misi Kebudayaan Indonesia-Uni Soviet 1956-1965”, tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Wardaya, F.X. Baskara Tulus (2006) Bung Karno Menggugat!: Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 Hingga G30S. Yogyakarta: Galangpress Group.