Konfrontasi Malaysia
Konfrontasi terhadap Malaysia terjadi sejalan semangat anti-kolonialisme pada masa Demokrasi Terpimpin, tepatnya dalam merespons kelahiran negara Federasi Malaysia (Poesponegoro, Notosusanto, Soejono dan Leirissa 2010: 460; Ricklefs 2001: 329-330; Yazid 2013: 2). Kemerdekaan Malaya pada tanggal 31 Agustus 1957 yang diraih tanpa pengorbanan berarti menimbulkan kekhawatiran bahwa negara ini akan menjadi medium neokolonialisme Inggris yang akan membahayakan Indonesia. Kekhawatiran ini kian membesar tatkala Inggris mengatur pertahanan dan hubungan luar negeri Malaya. Selain itu, negara baru ini juga dijadikan pangkalan Amerika Serikat dan Inggris antara lain untuk membantu pemberontakan PRRI dan Permesta. Ketegangan politik antara Indonesia dan Malaysia memuncak ketika pada bulan Mei 1961 pemimpin Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengusulkan pembentukan Federasi Malaya yang mencakup Malaya, Singapura, dan Kalimantan utara.
Usulan pembentukan negara federasi ini dianggap sebagai salah satu solusi atas tiga masalah Melayu di Asia Tenggara di awal dekade 1960. Ketiga masalah tersebut yaitu keinginan Singapura untuk berdiri sendiri (merdeka), Malaysia cemas dengan pertumbuhan pesat minoritas Cina dan khawatir akan dampak rasial bilamana bergabung dengan Singapura, dan Inggris berencana untuk menetapkan masa depan British North Borneo yang mencakup Sabah, Brunei, dan Serawak. Masyarakat Sabah dan Serawak yang semula ragu menanggapi gagasan penyatuan tersebut, setelah memahami dan memperhitungkan untung ruginya, berubah menyetujuinya (Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia 2005b: 31-37). Pada mulanya, Singapura masih belum jelas sikapnya atas ide Federasi Malaysia ini. Sementara Brunei tidak sepenuhnya mendukung usulan Federasi Malaya tersebut. Negara ini kemudian menolak dengan pertimbangan politik maupun ekonomi. Bahkan, seorang tokoh Brunei, Syaikh A.M. Azahari, melakukan pemberontakan untuk menunjukkan sikap oposannya terhadap ide penyatuan seluruh Kalimantan utara dalam Federasi Malaysia.
Keberatan juga muncul dari Filipina yang mengklaim sebagian wilayah Kalimantan utara (Sabah) sebagai wilayahnya yang merujuk pada fakta historis bahwa wilayah tersebut adalah milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Indonesia sangat menentang gagasan ini karena akan memperkuat dominasi Inggris di Kalimantan utara. Upaya diplomasi atas keberatan pembentukan Federasi Malaysia dilakukan hingga tahun 1963 di Tokyo dan Manila yang diantaranya menghasilkan keputusan untuk menghadirkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam meninjau dukungan masyarakat di daerah Borneo Inggris. Peninjauan ini tidak dapat dilakukan dengan baik karena pihak Inggris mempersulit masuknya peninjau PBB ke daerah-daerah tersebut (Poesponegoro, Notosusanto, Soejono dan Leirissa 2010 : 462-466). Selain itu, deklarasi Federasi Malaysia dilakukan pada 31 Agustus 1963, enambelas hari lebih awal dari kesepakatan untuk penyampaian laporan hasil peninjauan dari PBB. Indonesia menganggap deklarasi tersebut sebagai pelecehan terhadap PBB dan pelanggaran atas komunike yang telah disepakati sebelumnya. Pada tanggal 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Empat hari kemudian Indonesia memutuskan seluruh hubungan dengan Malaya dan Singapura.
Pada tanggal 25 September 1963, Indonesia mengumumkan kampanye Ganyang Malaysia. Upaya peredaan ketegangan telah dilakukan, tetapi peperangan tidak dapat dihindari. Perdana Menteri Malaya, Tengku Abdul Rachman, mengumumkan mobilisasi umum dalam merespons hubungan politik yang panas dengan Indonesia. Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Sukarno menyerukan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk memobilisasi relawan Indonesia, yang segera disusul dengan pembentukan Komando Siaga (Koga), yang merupakan komando gabungan dengan tugas utama melakukan operasi militer dalam mempertahankan wilayah Indonesia dan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Pada bulan September 1964, Indonesia mulai mendaratkan pasukannya di Semenanjung Malaya (Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia 2005a: 96). Sebagai akibatnya, Presiden Filipina Diosdado Macapagal yang semula sejalan dengan Indonesia, pada bulan Oktober 1964 justru menarik diri dari aspek militer dalam konfliknya terhadap Malaysia.
Pada awal tahun 1965, komando Dwikora disempurnakan dan berubah nama menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dibagi menjadi dua yang masing-masing bertanggung jawab di Sumatera dan Kalimantan. Pada 9 Agustus 1965, Lee Kuan Yew mengumumkan terpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia (Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia 2005b: 43-44). Kampanye Ganyang Malaysia ini semakin memanas ketika Indonesia mendapatkan dukungan dari Cina yang tidak nyaman dengan kehadiran Barat di Asia Tenggara, termasuk dukungan Amerika Serikat terhadap Vietnam Selatan (Ricklefs 2001: 330-331; Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia 2005a: 446-454). Sementara itu Malaysia didukung oleh Inggris dan Australia.
Upaya mengakhiri konfrontasi dilakukan oleh beberapa pihak baik dari Indonesia maupun Federasi Malaysia (Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia 2005a: 96-98; 2005b: 45-68). Para perwira senior Indonesia, yang tidak menemukan azas manfaat dari konfrontasi ini, melakukan diplomasi secara rahasia dengan pihak Malaysia. Sukarno pun mengirim Duta Besar Indonesia untuk Birma (Myanmar), Soegih Arto, ke Inggris dan Singapura untuk membicarakan penyelesaian konfrontasi secara saling menguntungkan dan terhormat. Para politisi senior dari pihak Malaysia seperti Tan Sri Gazali bin Syafiie, Tun Abdul Razak, dan Mohammed Sulong Gozali juga melakukan diplomasi dengan beberapa pejabat senior di Indonesia seperti Ali Moertopo, L.B. Moerdani, Yeri Sumendap, Daan, Nelly Pesik, dan Des Alwi untuk menemukan cara mengakhiri konfrontasi. Pada prinsipnya kedua belah pihak sebetulnya menginginkan konfrontasi ini berakhir.
Di luar dugaan, konfrontasi Indonesia dengan Malaysia ini justru terhenti ketika terjadi percobaan kudeta di Indonesia pada tahun 1965. Konfrontasi ini secara resmi berakhir ketika pemerintahan Indonesia berada di bawah kendali Soeharto melalui penandatanganan perjanjian perdamaian di Bangkok pada 28 Mei 1966.
Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Yazid, Mohd. Noor Mat. 2013. "Malaysia-Indonesia relations before and after 1965: impact on bilateral and regional stability", Kinibalu:Universiti Malaysia Sabah.
Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia. 2005a. Sejarah diplomasi Republik Indonesia dari masa ke masa, Buku III periode 1960-1965, Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Panitia Penulisan Buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia. 2005b. Sejarah diplomasi Republik Indonesia dari masa ke masa, Buku IVA periode 1966-1995, Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened and Nugroho Notosusanto (editor umum); R.P. Soejono dan R. Z. Leirissa (editor umum pemutakhiran). 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI, zaman Jepang dan zaman Republik (± 1942-1998), edisi pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 2001. A history of modern Indonesia since c. 1200, Hampshire: Palgrave.