Kweekschool
Kweekschool atau sekolah guru merupakan bagian dari desain besar sistem pendidikan kolonial di Hindia Belanda. Selain untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial (Furnivall 1943; Zed 1991), penyelengaaraan pedidikan di sekolah ini juga tidak lepas dari sistem pendidikan kolonial yang berorientasi pada prinsip-prinsip garis warna (color line), diskriminasi, segregasi, dan non-akulturatif (Suryo 1996; Kartodirdjo 1991). Kweekschool merupakan salah satu pendidikan tinggi (hoger onderwijs) yang bersifat kejuruan dan merupakan lembaga pendidikan tertua yang sudah ada sejak permulaan abad ke-19.
Kweekschool atau sekolah guru pertama kali dibuka di Solo pada tahun 1852 yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya. Sekolah guru yang tersebar di berbagai kota ini, antara tahun 1887-1892, menghasilkan lebih dari 200 orang guru. Sebelum kweekschool bisa menghasilkan guru yang cukup, tidak ada syarat khusus untuk menjalani profesi tersebut. Akibatnya mutu pendidikan sangat rendah terutama di luar Jawa. Di antara guru-guru, ada yang tidak pandai berbahasa Melayu, tidak pandai membaca atau berhitung. Selain itu, terdapat kelas-kelas yang besar sekali. Pada tahun 1859 misalnya, seorang guru di Kaibobo (Seram) harus mengajar 285 murid dan di Manado 200 murid dalam satu kelas (Nasution 2001).
Pada awalnya, sulit mencari siswa yang cukup untuk masuk ke Kweekschool dan anak-anak priyayi sering menggunakan profesi guru sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan di kantor pemerintahan yang lebih terhormat dalam pandangan mereka. Untuk menjadi murid dari Kweekschool tidak ada persyaratan dan tidak ada sekolah yang mempersiapkan siswa untuk itu. Satu-satunya syarat adalah usia minimum 14 tahun dan maksimum 17 tahun, dan hal inipun tidak dapat dipastikan karena tidak adanya akta kelahiran. Bahkan, calon siswa tanpa memiliki pengetahuan bahasa Melayu, berhitung dan membaca harus diterima. Dengan kondisi seperti ini, maka Kweekschool pada awalnya tidak ubahnya seperti sekolah rendah.
Pada tahun-tahun berikutnya, kualitas Kweekschool meningkat dan memperoleh kedudukan seperti sekolah menengah. Pada tahun 1871, kurikulumnya meliputi bahasa daerah (dengan buku karangan orang Belanda), berhitung (menggunakan buku bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu atau daerah), geometri elementer, geografi (meliputi Indonesia, Nederland, dan dunia), sejarah, ilmu alam (botani, zoologi, dan fisika), menggambar, pedagogi (teori dan praktik), menulis (dengan huruf Latin, Jawa dan lain-lain tergantung pada daerahnya), dan bernyanyi. Walaupun kurikulum telah ditentukan, tetapi masih terdapat perbedaan-perbedaan karena harus menyesuaikan dengan keadaan setempat di mana Kweekschool berada. Di Probolinggo misalnya, Kweekschool mengajarkan tiga bahasa, yakni Jawa, Madura, dan Melayu, sedangkan di Ambon hanya mengajarkan bahasa Melayu (Nasution 2001).
Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang pendidikan, maka sekolah ini juga mengalami perkembangan sehingga pada akhirnya memilki tiga jenis sekolah, yakni Normaalschool, masa belajar empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun dengan pengantar bahasa daerah; Kweekschool, masa belajar 4 tahun dan menerima lulusan sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda; dan Hollandsch Inlandsche Kweekschool, sekolah guru enam tahun berbahasa pengantar Belanda dan bertujuan menghasilkan guru-guru HIS dan HCS (Husain 2015).
Penulis: Sarkawi
Instansi: Universitas Airlangga Surabaya
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Furnivall, J. S. Educational Progress in Southeast Asia. New York: Internasional Secretariat Institute of Pacifik Relations, 1943.
Husain, Sarkawi B. Sejarah Sekolah Makassar: Di Tengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers, dan Pembentukan Elite Baru (Periode 1876-1942). Makassar: Ininnawa & Tanahindie, 2015.
Kartodirdjo, Sartono. Modern Indonesia: Tradition & Transformation A Sosio-Historical Perspective. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Suryo, Djoko. “Pendidikan, Diferensiasi Kerja, dan Pluralisme Sosial: Dinamika Sosial Ekonomi 1900-1990”. Makalah disampaikan pad Kongres Sejarah Nasional Indonesia di Jakarta, tanggal 12-15 Nopember 1996.
Zed, Mustika. “Pendidikan Kolonial dan masalah distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah” dalam SEJARAH, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi No. 1. Jakarta: MSI-Gramedia, 1991.