Malaise

From Ensiklopedia


Malaise atau zaman Malaise adalah penamaan lain terhadap depresi ekonomi yang mulai melanda Indonesia sejak tahun 1929 hingga hampir sepanjang dekade 1930-an. Istilah Zaman Malaise diperkenalkan pertama kali di Shinpo (27 Maret 1930). Dalam artikel di surat kabar itu ditulis,bahwa Malaise yang mengamuk di mana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan karena berkaitan dengan melemahnya daya beli masyarakat dan krisis ekonomi, maka masa malaise itu disebut juga oleh orang Indonesia sebagai zaman meleset.

Depresi ekonomi yang disebut juga sebagai the great depression dimulai dengan ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Krisis ekonomi ini dimulai, ketika spekulasi pialang dalam perdagangan saham di bursa Wall Street Amerika Serikat yang menyebabkan jatuhnya harga. Kejatuhan perekenomian Amerika Serikat itu mempengaruhi perkenomian dunia saham (Furnival 1967: 429; Wilde dan Moll, 1936: 20; Boomgaard dan Ian Brown 2000: 2).

Krisis ekonomi dunia begitu keras menghantam Hindia Belanda, karena ekonomi Hindia-Belanda bergantung kepada ekspor, khususnya ke pasar Eropa. Sektor ekonomi andalan Hindia Belanda adalah perkebunan. Kegiatan bisnis sektor ini sangat bergantung pada pasar Eropa khususnya dan dunia umumnya. Ketika pasar Eropa (dunia) merosot, maka industri di Hindia Belanda juga turut merosot. Harga gula jatuh sampai 22 % daripada harga tahun 1925; getah sampai 10 %; kopra sampai 18%, teh 50% dan kopi 27 %. Rata-rata harga barang penghasilan tanah-tanah jajahan jatuh di pasar Eropa sampai lebih kurang 31% (O’Malley, 1977: 35; Ricklefs, 2008: 402). Kemerosotan harga ini setara dengan merosotnya nilai dan volume ekspor-impor Hindia Belanda.

Sebagaimana dicatat Furnival, bila indeks nilai dan jumlah ekspor Hindia Belanda tahun 1928 adalah 100: 100, maka tahun 1929 indeknya menjadi 91: 105, 1930 menjadi 76: 103, 1931 menjadi 61: 84, 1932 menjadi 37: 89. Sedangkan indeks nilai dan jumlah impor Hindia Belanda pada kurun waktu yang sama adalah 1985 nilainya 100: 100, maka tahun 1929 menjadi 109: 119, 1930 menjadi 86: 100, 1931 menjadi 57: 78, 1932 menjadi 41: 61 (Furnival 1967: 430).

Pemerintah Hindia Belanda dan para pengusaha mencoba mengatasi dampak buruk krisis ekonomi ini melalui berbagai macam cara, di antaranya: 1). Pada awalnya, untuk beberapa komoditas, seperti tebu diusahakan menambah produksi dengan harapan dapat mengimbangi kemerosotan harga. Upaya ini terlihat dari meningkatnya volume ekspor Hindia Belanda seperti yang disajikan di atas. Langkah ini ternyata gagal karena berbagai negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, dll.  membatasi impor untuk melindungi produksi dalam negeri atau tanah jajahan mereka; 2). Pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai pembatasan ekspor berbagai komoditas dagang, seperti tebu, karet, kopi, dan tembakau. Pembatasan dilakukan dengan ikut serta dalam berbagai regulasi (kebijakan) yang dirancang oleh berbagai negara di dunia; 4).Meningkatkan kerja sama dengan negeri induk; 5). Meningkatkan industri rumah tangga; 6). Menjaga (melindungi) kepentingan Belanda dalam perdagangan antara Hindia Belanda dan negara-negara asing dan juga perdagangan di dalam negeri (Wilde dan Moll 1936: 69).

Kebijakan yang dijalankan pemerintah ternyata semakin merugikan pengusaha dan petani. Beberapa perusahaan perkebunan, baik di Sumatra Timur dan Jawa mengalami kebangkrutan pada 1931-1936. Dampak langsungnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan perkebunan. Sedangkan buruh dan karyawan yang dipertahankan perusahaan, dipotong gajinya mencapai 50 persen, diperkenalkannya program pensiun dini, tidak ada penambahan pekerja (pegawai) Eropa, tidak ada lagi fasilitas vakansi untuk pegawai (pekerja) Eropa, biaya belanja pemerintah daerah dikurangi, dan dikenainya cukai tambahan untuk kas Hindia Belanda (Sufyan, 2021: 29). Kebijakan lain dari pemerintah Hindia Belanda yang tidak berpihak kepada krisis adalah tidak diturunkannya nilai pajak langsung, seperti pajak tanah yang memicu perusahaan dan masyarakat semakin tidak berdaya.

Terpaan badai depresi ini mulai berkurang pada tahun 1937. Saat itu keadaan ekonomi dunia mulai membaik dan secara langsung juga membaca angin segar bagi ekonomi Indonesia yang sangat tergantung pada pasar dunia. Sayangnya di tengah membaiknya ekonomi dunia itu, dunia juga tengah terseret ke petaka yang tidak kalah dahsyatnya, yakni Perang Dunia II.

Penulis: Fikrul Hanif Sufyan
Instansi: STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Boomgaard, P. dan Ian Brown, 2000. “The Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression: An Introduction”, dalam  Boomgaard, P. dan Ian Brown (eds.), Weathering the Storm: the Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Furnival, J.S., 1967. Netherlands India, A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1967.

O’Malley, W.J. 1977. “Indonesia in The Great Depression: A Studi of East Sumatra and Yogyakarta in the 1930’s.”. Thesis Doctoral Cornell University.  

Shinpo, tanggal 27 Maret 1930.

Sufyan,  Fikrul Hanif, 2021. “Depresi Ekonomi dan Semarak Congres ke-19 Tahun 1930 di Fort de Kock,” Makalah. Dipresentasikan dalam Webinar Kongres Sejarawan Muhammadiyah pada 27 November 2021.

Wilde, A. Neytzel de dan J.Th Moll, 1936. The Netherlands Indies During The Depression:A Brief Economic Survey. Amsterdam: J.M. Meulenhoff.