Malino

From Ensiklopedia

Malino adalah nama kelurahan yang berada di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Letaknya di wilayah timur Kabupaten Gowa (71 kilometer dari Makassar). Malino berhawa sejuk karena terletak di kawasan pegunungan. Sebelum dikenal dengan nama Malino, masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Kampung ‘Lapparak’. Dalam bahasa Makassar kata lapparak berarti datar yang mengacu pada daerah tersebut yang merupakan daerah datar di antara gunung-gunung. Selain itu Lapparak dikenal oleh masyarakat sebagai tempat hewan-hewan merumput (Rijal, Bosra, Ridha, 2018: 40-41).

Ketika Gubernur L.J.J. Caron memerintah di Celebes en onderhoorigheden (Celebes dan daerah bawahan) pada 1927-1933, kota Malino yang sejuk dijadikan sebagai tempat peristirahatan para pegawai pemerintah. Sejak saat itu Malino mulai dikenal dan menjadi daerah tujuan wisata di Sulawesi Selatan (De Indische Courant, 22/12/1938).  Pada 9 Februari 1942, ketika Jepang masuk ke Makassar, Malino menjadi tempat pengungsian anak-anak dan para perempuan Belanda (Koerts 2001).

Pada 16 Juli hingga 25 Juli 1946 berlangsung konferensi di Malino.  Konferensi ini diselenggarakan oleh Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur-Jenderal setelah pihak Sekutu menyerahkan kepada pihak Belanda urusan keamanan daerah di luar Jawa dan Sumatra.  Sebelum konferensi berlangsung, pihak Belanda telah menyiapkan para wakil bumiputra dari berbagai daerah yang dianggap memenuhi syarat mereka dan dapat bekerjasama untuk hadir dalam konferensi. Ada 39 peserta yang hadir dari 15 daerah dari Borneo (Kalimantan) dan Grote Oost (Timur Raya). Mereka adalah wakil-wakil para raja, umat Kristen, dan beberapa kelompok etnik yang mendukung negara federal. Belakangan pihak Belanda terkejut ketika orang-orang ini juga menghendaki langkah-langkah ke arah otonomi murni (Schermerhorn 1970: XIII; Ricklefs 2005: 450).

Para peserta diberikan akomodasi di berbagai penginapan di Malino. Ruang konferensi diselenggarakan di sebuah kapel gereja Katolik. Dalam konferensi tersebut dibahas bagaimana daerah-daerah tersebut diberikan tempat dalam susunan negara yang baru.  Alasan pemilihan Malino sebagai tempat konferensi karena posisi Sulawesi Selatan yang strategis secara politis, ekonomis, dan geografis. Selain itu van Mook ingin memperlihatkan kepada dunia luar bahwa pemerintah Belanda telah berhasil menguasai Sulawesi Selatan secara politik dan wilayah.

Para peserta konferensi yang hadir antara lain Dr. Chassan Busoiri dan Sultan Iskandar dari Ternate, Salim Ajijudin dari Halmahera, Sultan Pontianak, Cyrillus perwakilan etnik Dayak Zuid-Borneo (Kalimantan Selatan), A.R. Aflus dari Oost-Borneo (Kalimantan Timur), Thio Khiang Sun perwakilan masyarakat Tionghoa di West-Borneo (Kalimantan Barat), Cokorde Gde Raka Sukawati dari Bali, Najamuddin Daeng Malewa dari Sulawesi Selatan (Goudever 1946).

Rencana pembentukan negara-negara bagian berbentuk federasi menjadi salah satu bahasan.  Mereka juga membahas rencana pembentukan negara yang terdiri atas daerah-daerah di Indonesia di bagian timur.  Dalam konferensi tersebut peserta konferensi terpecah menjadi kubu pro-Republik dan pro-Federal.  Isi pidato H.J. van Mook pada 16 Juli 1946 menekankan pentingnya jika negara-negara dalam federasi Indonesia ditempatkan dalam posisi memerintah wilayahnya sendiri.

Penulis: Achmad Sunjayadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Goudever, W.A. 1946. Malino Maakt Historie. Batavia: Regeering Voorlichting Dienst.

Koerts, H. 2001. Amtenar BB di Sulawesi Selatan dalam S.L. van der Wal (ed.). Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda 1920-1942. Jakarta: Djambatan.

n.n.  1938. Gids van Makasser en Omstreken.  De Indische Courant. 22 Desember. Hal 2.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Rijal, M., Bosra, Mustari, Ridha, M. Rasyid. 2018. Malino: Kota Perdamaian dan Kawasan Wisata di Gowa 1946-2002. Jurnal Pattingalloang 5 (1), 39-49.

Smit, C. 1970. Het Dagboek van Schermerhorn. Groningen: Wolters-Noordhoff.