Masjid Baiturrahman Banda Aceh

From Ensiklopedia

Masjid Raya Baiturrahman merupakan landmark di Kotaraja Banda Aceh. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1607-1636 M) pada 1612 M/1022 H. Namun, ada pula yang menyebutkan masjid ini dibangun jauh sebelumnya, yaitu pada 1292,  pada masa Sultan Alauddin Mahmudsyah (Atmodjo 1999: 25; Madjid 2014:117).

Bangunan asli Masjid Baiturrahman sempat terbakar pada masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678). Setelah itu, di lokasi yang sama, sebagai ganti bangunan masjid yang terbakar dibangun masjid baru. Seorang penjelajah Inggris, Peter Mundy sempat menggambarkan bangunan masjid sebelum terbakar ketika ia singgah di Aceh pada 1637. Bangunan itu berbentuk bujur sangkar dikelilingi tembok bertungkap dengan atap bersusun empat yang memiliki bubungan langsung (Lombard 2006:76).

Pada masa Perang Aceh, masjid ini dikuasai oleh pasukan Belanda ketika mereka menyerbu Aceh 5 April 1873 di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler. Kohler menyimpulkan bahwa masjid tersebut merupakan pusat pertahanan dan markas besar pasukan Aceh sehingga harus dilumpuhkan. Dalam serangan pasukan Belanda pada 10 April 1873 masjid tersebut dibakar, sementara rakyat Aceh berusaha mempertahankan secara maksimal. Dalam pertempuran ini Jenderal Kohler tewas. Pada serangan 6 Januari 1874, rakyat Aceh akhirnya harus merelakan masjid direbut dan dibakar habis oleh pasukan Belanda (Zein 1999: 16-18).  Pada bulan Maret 1877 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Van Lansberge berjanji untuk membangun kembali masjid tersebut untuk meluluhkan amarah masyarakat Aceh. Peletakan batu pertama dilakukan pada 9 Oktober 1879 oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Bangunan masjid dengan satu kubah itu selesai pada 27 Desember 1881 (Jongejans 1939:130).

Arsitek masjid yang akan dibangun tersebut adalah Gerrit van Bruins, seorang perwira berpangkat Kapten dari zeni marsose angkatan darat Belanda. Bruins juga berkonsultasi dengan Snouck Hurgronje dan penghulu asal Bandung, K.H. Hasan Mustapa, dalam menentukan gaya bangunan masjid seluas 624 meter persegi.

Ciri-ciri arsitektur bangunan Masjid Baiturrahman merupakan gabungan dari berbagai gaya.  Gaya Mughal dapat dilihat dari penggunaan menara dan kubah besar, mirip bangunan Taj Mahal di India. Gaya lainnya adalah ornamen-ornamen dinding bermotif sulur dan pucuk daun berlanggam neo klasik Eropa. Gaya Cordoba Magribi terlihat pada kolom-kolom berbidang lengkung. Bentuk dan ukiran jendela bergaya Eropa dengan bentuk atap genteng keramik dari tanah liat pada keempat sisi yang bergaya tropis (Asnan 2021: 395).

Sejak selesai pada 1881, bangunan masjid Baiturrahman mengalami beberapa kali perluasan. Pada 1936, bangunan masjid diperluas dan dibangun dua kubah pada sisi kiri dan kanan sehingga menjadi tiga kubah. Bentuk dan ukuran kedua kubah sama dengan kubah sebelumnya. Hanya tinggi kedua kubah lebih rendah dari kubah pertama. Pada masa Republik Indonesia jumlah kubah masjid Baiturrahman bertambah menjadi tujuh kubah. Dua kubah tambahan dibangun pada 1967 yang dilengkapi dengan dua menara. Lalu dua kubah berikutnya dibangun pada 1994 (Asnan 2021:394-95).

Penulis: Achmad Sunjayadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Asnan, Gusti. 2021. Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal. Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh. Jakarta: Bank Indonesia Institut.

Atmodjo, Junus Satrio. 1999. Masjid Kuno di Indonesia. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jongejans, J. 1939. Land en volk van Atjeh vroeger en nu. Baarn: Hollandia Drukkerij.

Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG-EFEO.

Madjid, M.Dien. 2014. Catatan Pinggir Sejarah Aceh. Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zein, Abdul Baqir. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani.