Netherlands Indies Civil Administration (NICA)
NICA adalah singkatan dari Netherlands Indies Civil Administration, sebuah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di pengasingan. NICA dideklarasikan di Brisbane, Australia, setelah wilayah Hindia Belanda ditaklukkan tentara Jepang. Pemerintah Hindia Belanda membawa seluruh tentara, kapal, senjata, pesawat, hingga pegawai-pegawai pemerintahannya meninggalkan wilayah Hindia Belanda menuju Australia. Belanda bekerja sama dengan tentara sekutu menyelamatkan orang-orang Belanda dan Eropa yang ada di wilayah Hindia Belanda, sembari menyiapkan rencana penguasaan kembali wilayah tersebut setelah Jepang kalah perang. Pemerintah Australia memberikan bantuan berupa kantor, kamp-kamp, barak, amunisi, perumahan, hingga pasokan makanan kepada tentara dan rakyat Hindia Belanda di pengasingan ini (Lockwood tt.: 37-38).
Pemerintahan NICA dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. van Mook yang sekaligus menjabat sebagai wali negara di Hindia Belanda. Setelah Jepang menyerah, Pemerintah Belanda melalui NICA mulai bersiap untuk kembali memerintah di wilayah Hindia Belanda. Namun, hal ini terganjal minimnya angkatan perang Belanda untuk dapat menguasai wilayah Indonesia saat itu. Pemerintahan NICA terpaksa menggantungkan diri pada kekuatan tentara sekutu. Berdasarkan Konferensi Postdam Juni 1945, wilayah Thailand, Indo Cina, Malaya dan Hindia Belanda termasuk di dalam wilayah komando Inggris yang diberi nama South East Asia Command (S.E.A.C) di bawah pimpinan Laksamana Inggris, Lord Louis Mountbatten yang bermarkas di Singapura. Inggris dalam kekuasaannya terhadap wilayah S.E.A.C bertugas membebaskan tahanan perang, melucuti tentara Jepang yang telah menyerah dan menciptakan keamanan serta ketertiban hukum (Agung 1985: 3-4).
Pada 29 September, kontingen pertama Inggris yang dipimpin Letjen Sir Philips Christison tiba di Jakarta. Tentara Inggris mendapati kondisi politik wilayah bekas Hindia Belanda ini jauh berbeda. Pasca-kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Pemerintahan Indonesia telah berdiri dan mendapatkan dukungan dari segenap rakyat. Mendengar laporan ini, Lord Mountbatten memaksa Van Mook untuk berunding dengan pemerintahan Indonesia yang sudah terbentuk, agar tidak terjadi kericuhan (Agung 1985: 5-6).
Perundingan pertama antara Pemerintahan NICA dengan Pemerintah Indonesia ditandatangani secara resmi pada 25 Maret 1947. Perundingan ini dikenal dengan nama Perundingan Linggajati. Tak lama setelah perundingan, NICA melakukan Agresi Militer Belanda 1 pada kurun 20 Juli hingga 4 Agustus 1947. Dalam agresi ini, pemerintahan Belanda bertujuan memperbesar wilayahnya dan menguasai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Agresi ini kemudian dihentikan setelah pemerintah Belanda mendapat kecaman dari PBB. Perundingan akhirnya berlanjut dengan melibatkan PBB, melalui komisi Tiga Negara. Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia dan di tengah terdapat Amerika Serikat sebagai negara netral. Perundingan selanjutnya dilaksanakan di kapal USS Renville yang dilaksanakan pada 17 Januari 1948. Hasil perundingan Renville kemudian dilanggar kembali dengan munculnya Agresi Militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 (Agung, 1991: 39-70; 200).
Penulis: Afriadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Agung, Ide Anak Agung Gde. 1991. Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lockwood, Rupert. Tanpa Tahun. The Indonesian Exiles in Australia, 1942-47. Diakses dari https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/53499/INDO_10_0_1107123622_37_56.pdf?sequence=1&isAllowed=y