Palangkaraya sebagai Bakal Ibukota Indonesia
Palangkaraya merupakan ibu kota propinsi Kalimantan Tengah yang sebelumnya bernama Pahandut (Lay 2007 :37). Secara geografis, Palangkaraya terletak pada 113º30' - 114º07' Bujur Timur dan 1º35' - 2º24' Lintang Selatan. Saat ini, secara administratif, wilayah Kota Palangkaraya berbatasan dengan Gunung Mas di sebelah utara dan timur, Kabupaten Pulau Pisang di sebelah selatan dan Kabupaten Katingan di sebelah barat. Palangkaraya merupakan kota baru mandiri pertama di awal Kemerdekaan RI yang pernah direncanakan sebagai ibu kota negara oleh Presiden RI pertama Sukarno. Pemilihan Palangkaraya sebagai bakal ibu kota negara ini karena menurut Sukarno, Pemerintah RI belum pernah membuat kota sendiri, semua kota yang ada pada awal kemerdekaan adalah warisan kolonial (Wijanarka 2006 : 1).
Pada tanggal 17 Juli 1957, Sukarno meletakkan batu pertama pembangunan Pahandut, bersama dengan 7 menteri dan 60 anggota rombongan menggunakan kapal dari Kuala Kapuas (Riwut 1958 : 173). Pahundut waktu itu hanya sebuah kampung kecil di tepi Sungai Kahayaan, merupakan dataran rendah dan rawa yang dikelilingi hutan lebat. Sebelum wacana mengenai pemidahan ibu kota Republik Indonesia muncul pada pertengahan tahun 1960an, Pahandut telah lebih dulu mengalami dinamika perebutan menjadi ibu kota propinsi Kalimatan Tengah, bersama dengan tiga wilayah lain yaitu Sampit (Kotawaringin), Barito dan Kapuas (Rahman 1992 : 11). Berdasarkan pengumuman Gubernnur Milono pada upacara peresmian GMTPS (Gerakan Mandau Tabalang Pantja Sila) tanggal 18 Mei 1957, Panandut diresmikan menjadi ibu kota propinsi Kalimantan Tengah, dan kemudian lebih dikenal dengan nama Palangkaraya, berarti tempat yang suci, yang mulia dan besar (Riwut 1958 : 132). Sukarno datang secara langsung untuk peletakkan batu pertama pembangunan kota Palangkaraya pada 17 Agustus 1958, yang mana Palangkaraya menjadi propinsi ke-17 di Indonesia.
Pembangunan di Palangkaraya sendiri baru dimulai secara masif pada tahun 1958 dengan dibangun pusat kota seluas 10 x 10 km2 dan pembangunan yang dipimpin oleh Van der Pijl sekalu kepala Pekerjaan Umum (PU). Dana awal sebesar Rp 25.000.000 direncanakan untuk pembangunan gedung perkantoran, perumahan pegawai, sekolah, poliklinik, rumah sakit, pasar, hotel, dan sentral listrik (Tjilik Riwut 1958 : 174). Pada tahun 1961, penduduk Palangkaraya berjumlah 6.860 jiwa. Status Kotamadya baru ditetapkan tanggal 17 Juni 1965, namun sampai tahun 1971 penduduknya berjumlah 27.132 jiwa. Propinsi Kalimatan tengah sendiri terdiri dari 13 Kabupaten, 1 Kota, 136 kecamatan, 139 kelurahan dam 1.432 desa. Pada tahun 2020 penduduk di Kalimantan Tengah berjumlah 2.686.000 jiwa. dengan total luas wilayah 153.564,50 Km2.
Di hari peringatan ulang tahun Jakarta ke 437 pada tanggal 22 Juni 1964, Sukarno melemparkan wacana mengenai pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta (BD 1991: 7). Namun, wacana mengenai pemindahan ibu kota ini disusul dengan penetapan Undang-Undang No. 10 tahun 1964 tentang Daerah Chusus Ibukota (DCI) Djakarta Raja tetap sebagai ibu kota negara Republik Indonesia dengan nama Djakarta, yang sebelumnya didahului oleh Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959. Sehingga sejak 17 Agustus 1945 hingga dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, fungsi Jakarta hanya memangku tugas sebagai Ibu Kota RI. Sehingga, Jakarta setelah penetapan Undang-Undang No. 10 tahun 1964, ditegaskan lagi menjadi ibu kota RI untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang pernah timbul mengenai lokasi ibu kota (Saptowalyono 2006: 37).
Sukarno sangat mengagumi Piazza del Popolo di Roma, Italia; mal Washington DC ; dan master plan kota Berlin. Rupanya master plan struktur Kota Palangkaraya ada kemiripan dengan tiga model tadi (Wijanarka 2006: 15). Palangkaraya tepat berada di titik tengah garis imajiner yang ditarik dari Kota Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam (paling barat) ke kota Merauke, Pulau Papua (paling timur), juga tepat di tengah-tengah yang ditarik ke utara dan selatan melalui Palangkaraya. Secara arsitektural, palangkaraya, memiliki desain-desain dengan konsep nasionalisme. Bundaran besar pusat Palangkaraya merupakan simpang delapan yang melambangkan jumlah rumpun kepulauan RI (Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua).
Gagasan Sukarno untuk memindahkan ibu kota RI dari Jakarta ke Palangkaraya berangsur-angsur surut dikarenakan oleh tiga hal. Pertama, fasilitas dan aksesibiltas terutama dalam acara-acara nasional dan kenegaraan yang digencarkan Sukarno seperti Asian Games (1962), Ganefo (Games of The New Emerging Forces) (1963) dan Konferensi Wartawan Asia Afrika (1963). Kedua, sulitnya bahan baku untuk membangun Palangkaraya sebagai ibu kota RI. Ketiga, lambatnya progress pembangunan Palangkaraya hasil dari kunjungan kedu Sukarno pada tahun 1959 (Wijanarko 2006: 79-82).
Penulis: Eka Ningtyas
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
BD. ‘Tetap Di Jakarta, Bukan Di Palangkaraya’. Kompas, 31 August 1991.
C Anto Saptowalyono. ‘Hutan Dibuka, Lahir Palangkaraya’. Kompas, 28 July 2006.
Cornelis Lay, ed. Membangun NKRI Dari Bumi Tambun Bungai Kalimantan Tengah. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, 2007.
ELN. ‘Ibu Kota Negara: Palangkaraya Layak’. Kompas, 19 September 2018.
Ibrahimsyah Rahman. ‘Palangkaraya, Kota Yang Dibidani Sukarno’. Kompas, 23 October 1992.
Tjilik Riwut. Kalimantan Memanggil. Djakarta: Endang, 1958.
Wijanarka. Sukarno % Desain Rencana Ibu Kota RI Di Palangkaraya. Yogyakarta: Ombak, 2006.