Panitia Oentoek Pengembalian Bangsa Djepang dan Asing (POPDA)

From Ensiklopedia

Pada awal kemerdekaan RI terjadi beberapa permasalahan karena adanya transisi kekuasaan dari tentara pendudukan Jepang kepada pemerintah Indonesia. Salah satunya ialah lahirnya The Jogja Agreement yang menyatakan bahwa Jepang tidak akan dipersenjatai kembali. Wilayah Malang dan Surakarta pada waktu itu direncanakan sebagai pusat singgah utama (akomodasi perihal pemindahan). Pihak sekutu menyediakan makanan, kereta api, dan logistik lainnya, tetapi pasukan mereka tidak akan diizinkan untuk ikut campur dalam hal lain. Proses evakuasi para interniran tersebut ditugaskan kepada organisasi baru yang dikenal sebagai POPDA (Panitia Oentoek Pengembalian bangsa Djepang dan Asing) di bawah komando mantan perwira KNIL, Mayor Jenderal Sudibjo (Anderson 1972: 353).

Operasi POPDA dimulai ketika delegasi Indonesia yang dipimpin H. Agus Salim berunding dengan pimpinan Tentara Sekutu di Jakarta pada 30 November 1945. POPDA memiliki tugas mengirim atau mengangkut  kaum interniran Jepang dan Eropa yang masih berada di daerah pedalaman menuju ke Jakarta. Para interniran diangkut menggunakan angkutan kereta api dengan pengawalan Tentara Republik Indonesia (TRI). Inggris yang saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam pertempuran Surabaya menyerahkan tugas pengembalian tentara Jepang dan kaum interniran sipil Belanda kepada Indonesia. Mayjen Soedibjo selanjutnya digantikan oleh Mayjen Abdoel Kadir (Ilham 2021: 305).

Selain di wilayah Malang dan Surakarta, POPDA juga memiliki perwakilan di Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Abdul Kadir sebagai eks Panglima Divisi II Purwokerto. Para tahanan Jepang yang berada di Banyumas berjumlah sekitar 400 orang (pria dan wanita). Para tahanan tersebut dikumpulkan dari berbagai wilayah, seperti Tegal, Pekalongan dan Yogyakarta. Mereka ditempatkan di bekas kediaman Daidan Banyumas. Adapun di wilayah Surakarta dan sekitar Boyolali terdapat sekitar 4.000 warga Jepang. Kamp tahanan di Surakarta dan Boyolali dibagi menjadi 3 kamp yaitu: 1) Kamp Sukarame yang menampung sekitar 100 tentara Jepang (angkatan udara) dari Kido Butai, jarak dari kamp Tampir sejauh 4 km; 2) Kamp Gares yang menampung 500 warga sipil Jepang, dikepalai khusus oleh Sju Tjokan dari wilayah Solo (Surakarta) dan berjarak sekitar 7 km dari Tampir; 3) Kamp Tampir yang ditempati oleh sekitar 3.500 orang infanteri dengan Komandan T. Masejang (Angkatan Darat Komando Daerah Militer VII Diponegoro, 1968: 53). Sementara itu, di Jawa Barat evakuasi dipimpin oleh Didi Kartasasmita yang pernah menjadi pimpinan Komandemen I Jawa Barat. Di wilayah tersebut pengungsi pertama berasal dari Purwakarta dan Cirebon yang tiba dengan selamat di Jakarta pada awal Mei (Cribb 1991: 139).

Keseluruhan tentara Jepang berjumlah 35.000 diangkut dari pelabuhan Cirebon, Tegal dan Probolinggo ke pusat pengumpulan tentara Jepang di Pulau Galang/Rempang (Riau). Dari 36.000  Allied Prisoners War and Interneers (APWI) sejumlah 16.000 orang diangkut dengan pesawat udara melalui Lanud Panasan (sejak 1977 berubah nama menjadi Lanud Adi Sumarmo) Solo menuju Lanud Kalibanteng Semarang dan Kemayoran Jakarta, sedangkan 20.000 orang lainnya diangkut dengan kereta api dari Malang-Solo, Yogyakarta, Cirebon menuju ke Jakarta. Operasi POPDA yang berlangsung dari bulan Desember 1945 s/d Mei 1947 merupakan operasi besar di darat, laut, dan udara, mengikutsertakan 1000 perwira pengawas dan pasukan polisi, tentara RI, serta ratusan personil dari Jawatan Kereta Api RI dan Palang Merah Indonesia. Di samping itu, kurang lebih 20 kapal pengangkut dan satu squadron pesawat angkut Dakota diperbantukan oleh pihak sekutu kepada Komando POPDA yang semuanya dioperasikan di bawah pimpinan perwira-perwira pengawas RI yang ditempatkan di kapal-kapal dan pesawat-pesawat udara sekutu tersebut (Dharmasena 1990: 35).

Penyerahan tugas pengembalian tawanan Jepang dari APWI kepada pihak RI menandakan bahwa pihak sekutu pada hakekatnya mengakui Negara RI secara de facto, sehingga kedudukan internasional RI dengan demikian dapat dikonsolidasikan yang kemudian disusul pengakuan dari sejumlah negara seperti Mesir, Siria, dan India. Keberhasilan operasi POPDA tahun 1945-1947 telah memperkuat kedudukan internasional RI, sehingga pada akhir tahun1947 pihak RI berhasil membawa peristiwa Agresi Militer Belanda I ke Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lake Succes (AS), dengan demikian RI berhasil menggagalkan usaha Belanda untuk mengucilkan RI dari dunia Internasional (Dharmasena 1990: 35).

Penulis: Siska Nurazizah Lestari
Instansi: IKIP PGRI Wates, DIY
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Anderson, Benedict. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press.

Angkatan Darat. Komando Daerah Militer/VII Diponegoro. Dinas Sejarah Militer. (1968). Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro. Semarang: Jajasan Penerbit Diponegoro.

Cribb, R. B. (1991). Gangsters and Revolutionaries: the Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949. Honolulu: University of Hawaii Press.

Dharmasena, 1990, Pusat Penerangan Hankam Bagian 16, edisi 30-41.

Ilham, D. O. K. (2021). Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.