Patung Pembebasan Irian

From Ensiklopedia

Patung ini didirikan untuk memperingati dan mengenang para pejuang dan juga masyarakat Irian Barat yang memilih menjadi bagian dari Republik Indonesia. (Merrilles 2015: 127). Irian Barat sebelum menjadi bagian RI bernama Nederlands-Nieuw-Guinea. Meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, dan mendapat pengakuan dari Belanda pada tahun 1949, Belanda tidak melepaskan Irian Barat. Berbagai usaha dilakukan oleh Sukarno untuk membawa Irian Barat menjadi bagian dari RI, salah satunya dengan mengamanatkan Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961. Patung itu menggambarkan seorang lelaki yang tegap bertelanjang dada sedang berteriak sambil merentagkan kedua tangannya tinggi-tinggi. Di lengan patung itu terdapat sisa-sisa rantai belenggu yang baru saja putus. Mulutnya terbuka lebar seolah meneriakkan kata merdeka (Dermawan 2019 : 220).  Patung ini tingginya mencapai 35 meter yang terbuat dari perunggu.

Sukarno menunjuk Edhi Soenarso untuk membuat Monumen Pembebasan Irian Barat, tidak lama setelah Edhi Soenarso menyelesaikan Patung Tugu Selamat Datang di Bundaran HI. Patung ini dibuat tepat ditengah-tengah Lapangan Banteng, di seberang gedung Departemen Keuangan peninggalan pada masa kolonialisme Belanda. Gedung Departemen Keuangan ini dulunya berfungsi sebagai istana yang dibangun Daendels pada awal abad ke 19. Pada waktu monument Pembebasan Irian Barat didirikan, muncul ide kreatif dari masyarakat sekitar dengan mengandaikan seolah-olah patung tersebut berteriak “kosong” atau “uang sudah habis”, mengingat letaknya yang tepat didepan Gedung Keuangan dan dalam konteks perekonomian Indonesia menjelang tahun 1965 yang cukup buruk (Lubis 2018: 219).

Penulis: Eka Ningtyas
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Agus Dermawan. Dari Lorong-Lorong Istana Presiden Menyimak Rupa Budaya Rumah Bangsa: Sejarah, Filosofi, Peristiwa, Opini. Jakarta: KPG, 2019.

Firman Lubis. Jakarta 1950-1970. Jakarta: Masup Jakarta, 2018.

Merrillees, Scott. Jakarta Portraits of A Capital 1950-1980. Jakarta: Equinox Publishing, 2015.