Peristiwa Gerbong Maut 1947

From Ensiklopedia

Peristiwa Gerbong Maut adalah peristiwa pemindahan 100 pejuang Indonesia yang ditawan Belanda dari Bondowoso ke Surabaya menggunakan tiga gerbong kereta api yang tertutup rapat. Pemindahan ini dilakukan oleh tentara Belanda dengan mengabaikan keselamatan jiwa tawanan perang sehingga 46 pejuang gugur kehabisan udara dan terpanggang dalam gerbong yang sesak. Dalam pertempuran antara pasukan RI dan Belanda semasa Agresi Militer Belanda I, tidak sedikit pejuang republik yang tertangkap. Sebagian tertangkap saat bertempur, sebagian lagi tertangkap karena dikhianati bangsa sendiri yang menjadi antek Belanda. Salah satu penjara yang digunakan untuk menahan pejuang-pejuang yang tertangkap itu adalah penjara Bondowoso.

Pada tanggal 22 November 100, pejuang republik yang ditahan di penjara Bondowoso dipersiapkan untuk dipindahkan ke Surabaya. Keesokan harinya, pada pukul 05.15 para pejuang ini disuruh berbaris di depan penjara Bondowoso dalam empat banjar. Mereka kemudian diperintahkan berjalan ke stasiun kereta api Bondowoso. Sesampainya di sana, 100 pejuang itu dimasukkan ke dalam tiga gerbong barang dengan pembagian sebagai berikut: Gerbong pertama yang terletak paling depan dengan nomor GR.5769 diisi 32 orang pejuang, gerbong kedua dengan nomor GR.4416 diisi 30 orang, dan gerbong ketiga dengan nomor GR.10152 diisi 38 orang. Gerbong-gerbong itu kemudian ditutup rapat dan digembok dari luar oleh pasukan Belanda. Kereta berangkat dari stasiun Bondowoso menuju Surabaya pada pukul 07.30 (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 222).

Di sepanjang perjalanan, teriakan minta air terdengar dari dalam ketiga gerbong itu. Gerbong-gerbong itu terbuat dari bahan seng, sehingga menyerap panas siang hari. Ditambah lagi gerbong yang sempit dan diisi berjejal dengan manusia itu tidak memiliki ventilasi yang baik, sehingga oksigen di dalam gerbong menjadi terbatas. Namun demikian, teriakan minta tolong itu tidak digubris oleh pasukan Belanda yang memang tidak peduli dengan keselamatan para pejuang (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 223).

Setelah kurang lebih dua belas jam perjalanan, pada pukul 19.15, kereta tiba di stasiun Wonokromo Surabaya. Gembok gerbong tawanan dibuka dan terlihatlah keadaan yang memilukan. Di gerbong pertama, seluruh tawanan ditemukan dalam keadaan hidup namun lemas dan tidak berdaya. Di gerbong kedua keadaan lebih parah dengan delapan orang pejuang gugur. Keadaan paling mengenaskan terjadi di gerbong ketiga, seluruh tawanan ditemukan dalam keaadaan meninggal dalam kondisi kulit seperti terbakar (Lapian 1996: 68-69). Total pejuang yang gugur ada 46 orang. Dalam keadaan yang lemas tawanan yang masih hidup kemudian diperintahkan untuk mengeluarkan rekannya yang meninggal. Setelah itu tawanan yang masih hidup dimasukkan ke kamp Bubutan (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 223-224).

Peristiwa ini penting dalam sejarah Indonesia untuk mengingat besarnya jasa para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, peristiwa ini juga menunjukkan betapa dalam perang manusia dapat bertindak dengan kejam. Musuh dapat bertindak di luar perikemanusiaan dan bangsa sendiri pun dapat berkhianat terhadap perjuangan saudara sebangsanya.

Penulis: Muhammad Asyrafi
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Kartomihardjo, Prayoga, Prapto Saptono, dan Soekarsono (1986) Monumen Perjuangan Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Lapian, A. B. dkk (1996) Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (1978) Sejarah Daerah Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia Daerah.

SEMDAM VIII/BRAWIDJAJA (1968), "Sam Karya Bhirawa Anoraga": Sejarah Militer KODAM VIII/BRAWIDJAJA.