Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA ) adalah organisasi pergerakan terbesar di Aceh masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Organisasi ini merupakan wadah tempat berhimpunnya para ulama (teungku) yang berpikiran progresif yang menginginkan perubahan dalam masyarakat, terutama pembaharuan dalam pembelajaran agama Islam. PUSA berperan penting dalam proses reformasi pendidikan keagamaan di Aceh dari sistem tradisional ke sistem modern dalam bentuk madrasah.
PUSA merupakan organisasi khas Aceh yang nampak dalam berbagai gerak perjuangannya. Faktor inilah yang menyebabkan organisasi ini yang paling banyak pengikutnya dibandingkan dengan organisasi pergerakan lainnya. Ia berkembang dengan sangat cepat. Dalam waktu singkat sudah tersebar ke seluruh wilayah Aceh dan menjadi milik masyarakat. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari kuatnya pengaruh ulama dalam masyarakat Aceh. Oleh karena sebagian besar ulama terlibat dalam PUSA, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota, maka sangat beralasan pula bila banyak masyarakat yang juga ikut mendaftar menjadi anggota, sebab ulama menjadi ikutan bagi masyarakat Aceh (Ali 1985:93). Dengan lahirnya PUSA, pergerakan di Aceh telah menemukan bentuknya sendiri, karena telah berhasil mempersatukan sebagian besar pemimpin pergerakan dalam satu wadah untuk kesatuan gerak (Sufi 1998: 83).
PUSA lahir dari hasil keputusan musyawarah ulama seluruh Aceh yang diadakan bertepatan dengan upacara Maulid Nabi Muhammad Saw 1358 H. di Kampus Madrasah Al-Muslim Peusangan, Matang Geuleumpang Dua, Onderafdeeling Bireun, Aceh Utara, pada 5-8 Mei 1939. Inisiator kegiatan ini adalah Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dan Teungku Ismail Yakob dengan mendapat perlindungan sepenuhnya dari uleebalang (bangsawan penguasa wilayah) Matang Geulumpang Dua, Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah. Susunan Pengurus PUSA pertama terdiri atas: Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua; Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap sebagai wakil ketua; Teungku M. Nur El-Ibrahimy sebagai Sekretaris I; Teungku Ismail Yakobsebagaisekretaris II, T.M. Amin sebagaibendahara, dan komisaris-komisaris. Selain pengurus pusat, PUSA juga memberi mandat untuk membentuk pengurus daerah kepada tokoh, antara lain yaitu: Teungku Abdul Wahab Keunalo Seulimeum untuk daerah Aceh Besar; Teungku Nyak Cut dan Teungku Syekh Berahim untuk Aceh Barat; Teungku Zamzami untuk Aceh Selatan; Teungku Ismuha danTeungku Ismail Yakob untuk Aceh Utara; dan TeungkuM. Amir Husin Al Mujahid untuk Aceh Timur.
Saat awal lahirnya, PUSA sepenuhnya bergerak dalam bidang agama dan tidak sedikit pun terlibat dalam bidang politik. Hal ini sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, yaitu: 1). Untuk menyiarkan, menegakkan dan mempertahankan syiar agama Islam; 2). Menyatukan paham pada penerangan hukum; 3). Memperbaiki dan menyatukan leerplan-leerplan pelajaran agama di sekolah-sekolah agama; dan 4). Mengusahakan untuk mendirikan perguruan Islam dan mendidik pemuda-pemuda serta puteri-puteri Islam dalam keagamaan (Sufi 1998: 83-4).
Dalam perkembangannya, keterlibatan PUSA dalam bidang politik yang pada mulanya hanya secara samar-samar mulai berubah menjadi nyata. Perubahan itu sangat terlihat sejak kongres pertamanya tahun 1940 yang diadakan di Kuta Blang Asan Sigli. Benih-benih perlawanan terhadap Belanda mulai ditanamkan terutama kepada pemuda melalui organisasi kepanduannya, Kasyafatul Islam (KI) yang dibentuk pada kongres tersebut. Kepanduan ini pada gilirannya kelak telah menjadikan dirinya gerakan anti pemerintah kolonial Belanda yang cukup membahayakan.
Dalam rangka mensejajarkan diri dengan organisasi-organisasi Islam di daerah lain di Indonesia, pada tahun 1940 PUSA menggabungkan diri kedalam organisasi tingkat nasional, yaitu Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Dengan demikian para ulama Aceh yang tergabung di dalamnya dapat aktif dalam pergerakan Islam dan perjuangan nasional Indonesia (Ali 1985:93). Pada tahun-tahun permulaan revolusi, PUSA menjadi tulang punggung republik di Aceh. Tidak hanya itu, PUSA juga menjadi ujung tombak penumpasan kelompok-kelompok masyarakat yang menentang republik, sebagian besar uleebalang, dan menginginkan kembalinya Belanda. PUSA memiliki peran penting misalnya dalam Peristiwa Cumbok dan sejumlah peristiwa lainnya segera seteah kejadian itu (Alfian 1982: 75–76).
Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Alfian,T. Ibrahim dkk., 1982. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh 1945–1949. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh.
Ali, Abdullah dkk., 1985. Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Sufi, Rusdi, 1998. Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942). Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.