Persetujuan Roem Royen
Persetujuan Roem-Royen merupakan hasil perundingan antara Indonesia dengan Belanda di Hotel Des Indes Jakarta tanggal 14-24 April 1949. Disebut demikian karena perundingan tersebut dihadiri masing-masing ketua delegasi, yaitu Muhammad Roem dan Van Royen. Persetujuan Roem Royen atau “Roem-Royen Statemen” baru ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 (Anwar 2021).
Terselanggaranya perundingan Roem-Royen tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan situasi di Indonesia terutama setelah keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang mampu meyakinkan dunia bahwa Indonesia masih ada (Margana dkk. 2021: 48-49). Mengetahui eksistensi Republik masih ada, yang selama ini selalu diberitakan sebaliknya oleh diplomat Belanda, pada tanggal 10 Maret 1949 Dewan Kemanan PBB yang dimotori Amerika Serikat mengambil langkah untuk menekan Belanda dengan ancaman tidak dilanjutkannya program Marshall Plan (Seskoad, 1991: 270-271). Secara resmi, pada tanggal 23 Maret 1949 Dewan Kemanan PBB mengeluarkan rulling atau keputusan yang menyatakan agar segera dilaksanakan dan patuhi Resolusi Dewan Kemanan PBB yang telah dikeluarkan tanggal 28 Januari 1949 tentang pembebasan semua tahanan politik dan pengembalian pemerintah Indonesia ke Yogyakarta. DK PBB juga meminta agar konferensi yang dilaksanakan di Den Haag segera diselenggarakan (Agung 1985: 78; Budiman 2017: 96). Agar rulling itu dapat terlaksana, DK PBB memberikan mandat kepada UNCI (United Nation Commissionis for Indonesia) melaksanakan rulling tersebut (Abdullah & Lapian 2012: 492).
Pada tanggal 25 Maret 1949, UNCI mengirimkan undangan kepada pihak Indonesia dan Belanda untuk ikut serta dalam Konferensi di Jakarta yang diadakan di bawah pengawasan PBB. Belanda bersedia mengikuti konferensi tersebut dan menunjuk Dr. Jan Herman Van Royen sebagai pemimpin delegasi. Pada tanggal 28 Maret 1949, UNCI yang menemui pemimpin-pemimpin Indonesia di Bangka mendapat jawaban dari Hatta bahwa secara pribadi ia menerima undangan tersebut, tetapi secara resmi pemimpin RI menolak melakukan perundingan dengan Belanda selama anggota pemerintahannya masih berada dalam pengasingan dan selama kekuasaan RI di Yogyakarta belum dipulihkan (Hatta 1982: 545). Dengan jaminan dari UNCI bahwa keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut tidak mengikat sebelum ada kejelasan kedudukan RI, maka Hatta menyatakan bahwa RI akan ikut dalam perundingan tersebut dan menunjuk Mr. Mohammad Roem sebagai wakil dari pemimpin-peimpin RI di Bangka. Pada tanggal 2 April 1949, Roem mengirim surat kepada UNCI yang menyatakan kesediannya mengikuti pertemuan di Jakarta (Abdullah & Lapian 2012: 492).
Secara resmi pertemuan di Jakarta berlangsung pada tanggal 14-24 April 1949 di hotel Des Indes Jakarta. Rombongan delegasi Belanda tiba di Jakarta pada tanggal 12 April 1949 yang dipimpin Dr. Van Royen dengan anggota-anggotanya Mr. N.S. Bloom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. Van der Velde, dan empat orang penasehat. Pada tanggal 15 April 1949 rombongan delegasi RI tiba di Jakarta dari Bangka dengan ketua delegasi Mr. Mohammad Roem, wakil ketua Mr. Ali Sastroamidjojo dengan anggota-anggota dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Soepomo, Mr. Latuharhary, Mr. Gaffar Pringgodigdo beserta lima orang penasehat.
Hasil perundingan yang kemudian dikenal dengan “Perjanjian Roem-Royen” ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Isi perjanjian tersebut sebenarnya merupakan pernyataan damai dari kedua belah pihak. Adapun isinya adalah:
1. Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan:
- a. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
- b. Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
- c. Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat (Budiman 2017: 97).
2. Delegasi Belanda menyatakan kesediaan
- a. Menyetujui kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta.
- b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
- c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikanRepublik.
- d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari NIS (Negara Indonesia Serikat).
- e. Berusaha dengan sesungguh-sugguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.( (Budiman 2017: 97-98).
Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Agung, Ida Anak Agung Gde. (1985). Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
Anwar, Ilham Choirul. (2021). “Sejarah Perundingan Roem Royen: Latar Belakang Isi, Tokoh Delegasi”. https://tirto.id/sejarah-perundingan-roem-royen-latar-belakang-isi-tokoh-delegasi-gauy, Diunduh 25 Juni 2022.
Budiman, Agus. (2017). “Sejarah Diplomasi Roem-Roijen dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia 1949”, Jurnal Wahana Pendidikan, Vol. 4 no. 1,
Hatta, Mohammad. (1982). Memoir. Jakarta: Tintamas.
Margana, S., dkk. (2021). Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Sekolah Staf dan Komando TNI AD. (1991). Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan pengaruhnya. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.