Poenale Sanctie
Poenale Sanctie merupakan sanksi atau hukuman pidana yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda kepada para buruh yang gagal memenuhi kewajiban pada pemilik dan pengelola perkebunan (Fowler 1923, 31-33). Kemunculan perkebunan ini tidak terlepas dari pergantian sistem dari Tanam Paksa (cultuurstelsel) menjadi Sistem Liberal, yang memberi peluang pada pihak swasta untuk berinvestasi di Hindia Belanda. Di Sumatera Timur, Jacob Nienhuys memperoleh konsesi dari Sultan Deli pada 7 Juli 1863 untuk menanam tembakau. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, para pengusaha mendatangkan rombongan kuli kontrak dari Jawa, orang Cina dari Penang yang disebut laukeh dan daratan Cina. Lantas untuk mengikat tenaga kerja yang didatangkan dengan modal besar, diciptakan sebuah mekanisme pemaksaan atas hak dan kewajiban mereka yang disebut sebagai “koeli ordinantie” (Ordonansi Kuli) (Tobing, Maruli, Hutabarat, Yustina, Kompas 8 April 1991, 1; TP, Kompas, 10 Februari 1994, 10).
Poenale Sanctie merupakan bagian integral dari Koelie Ordonnantie berisi seperangkat aturan yang menegaskan bahwa para kuli tidak boleh membangkang pada perintah perusahaan. Aturan itu pertama kali diimplementasikan di perusahaan pertanian dan industri Sumatra Timur berdasar pada Staatsblad 1880 nomor 133 (Kristian 2019; Fowler 1923, 31-33). Ordonansi itu hanya berlaku bagi kuli dari luar negeri (Cina dan Tamil), serta orang Indonesia dari luar Sumatra Timur (hanya orang Jawa). Hal itu sejalan dengan terminologi koelie, yang diperkirakan dari Bahasa Inggris cooli dan diadopsi dari kata “kuli” dari bahasa Tamil berarti orang upahan pekerjaan kasar (TP, Kompas, 10 Februari 1994, 10).
Secara ideal, para buruh menandatangani kontrak itu mutlak atas kehendak sendiri dan pemahaman yang benar atas kondisinya. Kontrak mencantumkan identitas diri, meliputi nama, umur, kebangsaan, dan, jika mungkin, suku, nama majikan, jenis tenaga kerja yang akan diberikan, dan jumlah jam kerja per hari (maksimum 10 jam). Durasi kontrak tidak boleh lebih dari tiga tahun. Sebagai gantinya, para majikan juga berkewajiban untuk memberikan upah, akomodasi, dan perawatan kesehatan (Fowler 1923, 31-33). Namun, fakta empiris menunjukkan kenyataan berbeda, para kuli umumnya tidak mengetahui isi perjanjian dalam kontrak karena buta huruf sehingga hanya membubuhkan cap jari sebagai tanda persetujuan.
Ordonansi itu menempatkan perusahaan perkebunan mirip sebuah kerajaan, lengkap dengan aparat keamanan dan jeruji penjara. Sementara, para “koeli kontrak” diposisikan tidak lebih dari tawanan kerja paksa yang “diperbolehkan” untuk dieksploitasi tenaganya (Tobing, Maruli, Hutabarat, Yustina, Kompas 8 April 1991, 1). Hubungan kerja yang pincang ini akhirnya menimbulkan ekses-ekses yang meresahkan bagi para buruh (Widyarsono 2018, 49). Van den Brand, advokat Belanda, dikenal sebagai penentang keras poenale sanctie. Jejak idealismenya terbaca dalam brosur yang diberi judul De Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli), yang terbit di Amsterdam, Belanda, pada paruh akhir 1902. Kritiknya itu turut menambah tekanan untuk membawa perubahan di bawah politik etis, kemudian mendorong untuk membentuk Inspectorate Labor pada 1907 dan legislasi pada 1911 untuk menghapus sanksi pidana. Selain itu, Koolie ordinansi mendapat kritikan keras di Amerika Serikat karena dinilai sebagai bentuk dari perbudakan yang terselubung. Poenale Sanctie akhirnya dicabut karena adanya reaksi boikot di pasaran internasional terhadap produk tembakau yang diproduksi oleh perkebunan yang memberlakukan Poenale Sanctie (Kartohadiprodjo 2022). Sanksi itu sebagian besar dihapuskan pada tahun 1936 (Aulia, Kompas, 15 April 2006, 38; Cribb dan Kahin 2004, 94).
Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Aulia, Emil W., 2006. “Memberi Suara pada Kaum Tak Bersuara-Yang Terlupakan,” Kompas, 15 April, 38.
Cribb, Robert B dan Audrey Kahin, 2004. Historical dictionary of Indonesia. Maryland: Scarecrow Press, 94.
Fowler, John A., 1923. Netherlands East Indies and British Malaya a Commercial and Industrial Handbook. United States: Bureau of Foreign and Domestic Commerce, 31-33.
Kartohadiprodjo, M. Harjono, 2022. Melangkah di Tiga Zaman. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kristian, Yuli, 2019. Politik Ekonomi Belanda terhadap Lampung pada Tahun 1800-1942. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.
Manilet-Ohorella, G. A., 1985. Prof. Dr. Abu Hanifah Dt. M.E. karya dan pengabdiannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 32.
Tobing, Maruli, Bob Hutabarat, dan Ida Yustina, 1991. “Keluarga Juga Harus Ikut Kerja tentang Buruh Perkebunan,” Kompas, 8 April, 1.
TP (1994) “Warisan "Doeloe" buat Medan,” Kompas, 10 Februari, 10.
Widyarsono, Toto (2018) Cahaya di Batavia: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-1941. Yogyakarta: Diandra Kreatif, 49.