Politik Asimilasi
Politik Asimilasi adalah kebijakan politik yang diambil pada akhir abad ke-19 di mana Pemerintah Hindia Belanda mencoba untuk membentuk elit aristokrat bumiputera yang loyal kepada kolonial Belanda. Loyalitas tersebut dibentuk melalui penguatan adat istiadat setempat dan pendidikan berbahasa Belanda dan daerah (Groeneboer, 1999: 202-204). Menurut para penggagas kebijakan asimilasi ini, hukum adat (adatrecht) memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari di Hindia Belanda dibandingkan dengan hukum Islam. Oleh karenanya, Pemerintah Hindia Belanda harus memberikan pendidikan Eropa bagi kaum bangsawan dan juga memasukan para penghulu agama Islam ke dalam golongan ini. Melalui pendidikan Eropa ini akan terbentuk golongan elit Bumiputera yang akan menjadi penyokong loyal kekuasaan Hindia Belanda. Penggagas kebijakan ini adalah Karel Frederick Holle dan Snouck Hurgronje (Burhanuddin, 2013: 172-177). Kelak Politik Asimilasi ini dikembangkan dalam bentuk Politik Etis beserta penerapannya di Hindia Belanda.
Pada tahun 1871, Holle diangkat sebagai Penasihat Kehormatan untuk Urusan-Urusan Masyarakat Bumiputera dalam Pemerintahan Kolonial. Hal ini karena minatnya dalam mengkaji Islam dan budaya Sunda. Ketertarikan Holle dalam mempelajari Islam dan kebudayaan Sunda kemungkinan didapatkannya dari interaksinya dengan elit bangsawan Priyangan. Terutama dengan Raden Haji Muhammad Moesa, Kepala Penghulu Garut. Pada 1873, Holle dan Moesa berangkat ke Singapura untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh Pan-Islamisme dengan semangat jihad anti-Belanda di Aceh dan melihat pengaruh haji terhadap muslim di Hindia Belanda. Kesimpulan Holle adalah para haji yang pulang dari Mekah adalah penyebar fanatisme keagamaan di Hindia Belanda. Oleh karena itu, Holle merekomendasikan untuk menguatkan adat istiadat lokal untuk mengurangi pengaruh Islam dan para haji. Ia juga merekomendasikan para penghulu untuk menggunakan tulisan Latin sebagai pengganti tulisan Arab (Burhanuddin, 2013: 162).
Langkah-langkah Holle ini diikuti rekan sejawatnya, Snouck Hurgronje, yang tiba di Hindia Belanda tahun 1889. Hurgronje menemui dan merawat Holle yang sedang sakit di Bogor. Sebagaimana hubungan Holle dengan Moesa, Hurgronje juga punya hubungan baik dengan Hasan Moestapa, seorang ulama muda yang akhirnya dijadikan Kepala Penghulu Kutaraja di Aceh. Moestapa membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam memberikan pengetahuan lokal tentang Islam dan rakyat Aceh. Hubungan Moesa dan Moestapa inilah yang menjadi inspirasi bagi Holle dan Hurgronje dalam membentuk golongan elit bumiputera yang terkolonisasi dan dapat menjadi pendukung kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Keberhasilan Hurgronje dalam Perang Aceh dan banyak diterima nasihatnya di Jawa membuatnya mencetuskan kebijakan yang berusaha menarik sebanyak-banyaknya elit bangsawan bumiputera atau para pemuka-pemuka adat untuk memihak Belanda melalui pendidikan. Hurgronje yakin bahwa sifat dasar adat dapat berubah sehingga para bangsawan atau pemuka adat ini akan dapat menyesuaikan diri dengan gaya hidup baru yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Penulis: Haryo Mojopahit
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Burhanuddin, Jajat.(2013). Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika
Groeneboer, Kees. (1999). Politik Bahasa Kolonial di Asia: Bahasa Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris, dan Perancis. Jurnal Wacana 1(2), Oktober 1999. Diakses dari: https://media.neliti.com/media/publications/181215-ID-politik-bahasa-kolonial-di-asia-bahasa-b.pdf