Priyayi
Priyayi adalah kelompok elit dari struktur sosial masyarakat Jawa. Istilah yang secara harfiah berasal dari kata yayi atau “adik raja” ini juga merujuk siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur, dan menuntun masyarakat. Selain itu, priyayi juga bisa merujuk pada bangsawan feodal dan pewaris budaya keraton Yogyakarta dan Surakarta. Karena itu, tidak semua pejabat pemerintah bisa disebut priyayi. Sementara sarjana lain lebih setuju bahwa “priyayi” tidak dilihat dari asal-usul keturunan mereka, posisi mereka sebagai birokrat dalam sistem pemerintahan kolonial menyiratkan hal ini.
Dalam struktur pemerintah Hindia Belanda, “priyayi” merujuk pada pejabat administratif pemerintahan tertentu. Posisi ini juga diberi hak oleh pemerintah kolonial untuk menggunakan gelar kehormatan, seperti Raden atau Raden Mas. Mereka adalah kelompok sosial yang menguasai dan memonopoli posisi pemerintahan, maka masuk akal jika “birokrasi priyayi” menjadi ciri utama dari gaya pemerintahan tidak langsung yang dianut oleh pemerintah kolonial (Sutherland, 1978).
Pelembagaan pendidikan Barat menjadi elemen penting dalam pembentukan priyayi di Jawa (Scherer 1978; van Niel, 1960), terutama di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur (Kartodirdjo, Sudewo, dan Hatmosuprobo 1993). Adapun di Jawa Barat, kultur priyayi disebut ménak yang juga derivasi dari priyayi di Jawa Tengah (Lubis 1998). Sebab, dengan ekspansi kepentingan Belanda di wilayah jajahannya—seiring dengan pesatnya kapitalisme global—mereka juga memperluas kebutuhan mereka akan pejabat pemerintah yang berpendidikan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan menjadi penting agar pejabat adat memiliki kemampuan dasar menulis surat, membuat laporan, berkomunikasi dalam bahasa asing, dan memahami adat istiadat Barat lebih dalam.
Selain itu, baik priyayi sebagai pewaris budaya Jawa maupun sebagai pengurus pemerintahan kolonial, gaya hidup menjadi faktor utama untuk menunjukkan “kesetiaan” mereka di ruang publik. Gaya hidup mereka menjadi bentuk totalitas dari berbagai prosedur, adat istiadat, struktur perilaku, kompleksitas simbol, dan sikap hidup kelompok sosial yang sepenuhnya mempengaruhi kehidupan sehari-hari (Schrieke 1974). Ini karena merupakan fungsi dari stratifikasi sosial dan indikasi perbedaan atau garis pemisah antar kelompok. Jadi penting untuk digarisbawahi bahwa faktor status, kekuasaan, dan kekayaan menentukan model gaya hidup yang ingin mereka ciptakan dan pertahankan.
Gaya hidup jika dilihat secara simbolik merupakan subkultur dari tradisi kejawen (sinkretisme Jawa) sebagai tradisi Jawa agung yang didukung oleh kelompok masyarakat tertentu. Sebuah ruang sosiokultural diciptakan di mana kelompok-kelompok dengan gaya hidup dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan status dan perannya. Dengan gaya hidup ini mereka juga mempertahankan prestise dan kekuatan sosial yang dibutuhkan untuk mempertahankan posisi politik dan ekonomi mereka. Di sini, ada pengaruh yang saling menguatkan. Tentunya gengsi sosial ini memungkinkan gaya hidup elit menjadi model dan mendorong elemen sosial lainnya untuk menirunya, bukan karena gaya hidup itu sendiri menjadi simbol status. Di sini kita menemukan nilai tertentu terkait dengan status yang dalam bahasa Jawa disebut juga praja dan belakangan ini disebut sebagai “gengsi” (Kartodirdjo 1991).
Di satu sisi, politik kolonial dimaksudkan untuk memodernisasi sistem pemerintahan yang biasanya bertumpu pada sistem hukum-rasional, sedangkan di sisi lain dukungan yang kuat kepada birokrat mengarah pada perkembangan kekuasaan yang lebih tradisional, yang lebih feodal. Dalam hal ini, pengaruh bupati di wilayahnya ternyata semakin meluas, dan pengawasan Belanda tidak cukup kuat untuk mencegah perkembangan menuju re-feodalisasi (Kartodirdjo 1991). Reformasi yang dilakukan sejak Daendels (1808–1811) dan penerusnya kemudian berhasil mereduksi banyak rombongan bupati, yang tetap bertahan sepanjang abad ke-19, terutama karena sifat feodalnya yang tidak dapat dihapuskan. Dengan demikian, posisi dan peran bupati saat itu penuh ambivalensi. Di satu sisi perlu menaati peraturan pemerintah kolonial yang ingin menegakkan birokrasi dengan otoritas legal-rasional, sedangkan di sisi lain posisinya sebagai penguasa daerah masih bertumpu pada otoritas tradisional. Maka tidak heran, sering terjadi konflik antara gubernur jenderal Belanda dengan penguasa pribumi. Satu konflik terkenal terjadi antara E. Douwes Dekker (Multatuli) dan K.R.T. Karta Negara, Bupati Lebak (Multatuli 2015).
Nilai-nilai tradisional menempatkannya sebagai otoritas tradisional dengan segala kekuasaan dan haknya, tetapi meskipun dituntut dari fungsi birokrasi kolonial yang rasional-legal, konflik muncul dalam situasi personal, yang menjadi sumber “korupsi”. Dalam lingkungan tradisional, diharapkan seorang tokoh terkemuka menjunjung tinggi martabatnya, tidak hanya menunjukkan karakter dan sikap yang pantas, tetapi di bidang materi, ia juga selalu siap membantu. Hal ini berdampak luas, karena rumah tangga yang besar juga menanggung banyak kebutuhan kerabat dan lain-lain. Selain itu, gaya hidup di dalam rumah diharapkan bersifat “grand style” sehingga terlihat jelas jati dirinya, menonjolkan status tinggi dengan kesopanan yang selaras dengan kehidupan sehari-hari. Di sini, harus ditetapkan bahwa gaya hidup melekat dalam mempertahankan status.
Bagi para bupati dan seluruh bawahannya, struktur tersebut menempatkan mereka dalam situasi paradoks. Di satu sisi, mereka tunduk untuk menunjukkan kesetiaan penuh kepada atasan mereka, dan di sisi lain, ada kebutuhan untuk mempertahankan dan menunjukkan kewibawaan dan “kebesaran” kepada bawahan dan rakyat. Di sini, “keutamaan” membuat mereka merasa perlu melakukan kompensasi, bertindak sebagai katalisator dalam menyalurkan kekuatan pengaruh kolonial ke bawah. Sikap terhadap bawahan juga menjadi otoriter, tidak hanya terhadap bawahan tetapi juga terhadap keluarga dan kerabatnya. Sikap seperti itu berdampak luas pada kehidupan sehari-hari di lingkungan dan menumbuhkan otoritarianisme dalam gaya hidup priyayi. Dikombinasikan dengan pola hierarki ketat yang disebutkan di atas, muncullah etos feodalistik yang kuat (Kartodirdjo 1991).
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Kartodirdjo, Sartono. 1991. Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-Historical Perspective. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono, A Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo. 1993. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yoyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lubis, Nina Herlina. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan, 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Multatuli. 2015. Max Havelaar. Jakarta: Qanita - Mizan.
van Niel, R. 1960. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. The Hague dan Bandung: W. van Hoeve Ltd.
Scherer, Savitri Prastiti. 1978. “Harmony and Dissonance: Early Nationalist Thought in Java.” Ph.D Dissertation. Photo Services of Cornell University.
Schrieke, B. J. O. 1974. Penguasa-penguasa Pribumi. Jakarta: Bhratara. http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/5301338.html (September 9, 2019).