Program Benteng

From Ensiklopedia

Program Benteng adlah sebutan untuk program perekonomian Indonesia yang bertujuan mengubah struktur ekonomi Indonesia lama yang bercorak kolonial kapitalistik menjadi nasional sosialistik. Perumusan Program Benteng dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi Indonesia pasca revolusi kemerdekaan di mana ekonomi orang-orang pribumi masih bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, sementara untuk sektor moderen seperti industri, perdagangan, dan pertambangan masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha asing. Atas dasar itu, pemerintah Indonesia kemudian meluncurkan sejumlah kebijakan ekonomi dalam Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang kemudian dikenal sebagai Program Benteng (Thee 2005: 70). Tujuan Program Benteng adalah untuk mendorong pengusaha pribumi memiliki kemampuan bersaing dengan pengusaha asing terutama Belanda dan Cina (Wardodjo 2018: 96-106).

Program Benteng pertama kali digagas oleh pemerintah Indonesia pada masa Kabinet Natsir dan dilanjutkan kabinet berikutnya hingga kemudian  oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Gagasan utama Program Benteng adalah untuk mendorong para importir nasional penduduk asli pribumi bersaing dengan importir nasional keturunan asing (Cina). Untuk itu Program Benteng memberi kebijakan khusus kepada pengusaha pribumi, yaitu (1) memberikan fasilitas lisensi impor komoditas tertentu kepada pengusaha pribumi; (2) memberikan kredit modal kepada pengusaha pribumi dengan bunga rendah. Bantuan kredit diberikan melalui Bank Negara Indonesia kepada para pengusaha yang tidak dapat memperoleh kredit dari sumber-sumber keuangan swasta (Glassburner 1962: 113-133). Dari hal ini, Program Benteng tampak memberikan hak istimewa atau khusus kepada pengusaha pribumi sekaligus memberikan perlindungan kepada “perusahaan nasional” yang dimiliki oleh penduduk asli Indonesia (Siddique & Suryadinata 1981-1982: 662-687).

Namun demikian, dalam konteks ini pengusaha pribumi yang ingin mendapatkan lisensi impor harus mendaftar ke Kantor Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Sebagaimana nama  ini, para pengusaha pribumi yang mendapatkan bantuan dan perlindungan dari Program Benteng ini kemudian dikenal dengan sebutan Importir-importir Benteng. Barang-barang yang diimpor mereka juga mendapatkan sebutan sebagai Barang-barang Benteng. Para importir pribumi harus melakukan usaha untuk menjamin kelancaran pengiriman barang yang datang dari luar negeri. Tujuannya adalah agar rakyat dapat membeli kebutuhan-kebutuhan dengan harga yang murah dan efisien (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1992: 21-24).

Dalam pelaksanaannya, Program Benteng banyak menarik pengusaha pribumi meskipun pemerintah memberlakukan beberapa syarat bagi para pengusaha yang ingin mendapatkan lisensi. Pada akhir 1950, jumlah importir Benteng hanya 250. Jumlah tersebut meningkat pada 1952 menjadi 700. Namun demikian, meskipun terdapat peningkatan jumlah, keberadaan importir pribumi masih sangat minim jika ditinjau dari keseluruhan jumlah importir, yaitu 3119 yang mayoritas terdiri atas orang-orang Cina. Menjelang pengunduran diri Menteri Iskaq (Menteri Perekonomian Kabinet Ali Sastroamidjojo I) pada November 1954, tercatat 4300 importir Benteng yang diakui karena banyak pengusaha Cina keturunan berhasil mendapat pengakuan sebagai pengusaha nasional. Kebijakan ekonomi Indonesia sejak 1950 bercirikan banyaknya peraturan tentang perdagangan internasional (ekspor-impor). Dengan berbagai nama dan bentuk, secara silih berganti dibuat peraturan yang tujuannya mendorong ekspor dan menekan impor (Mahardika & Ramadhan 2021: 123-130).

Meskipun bertujuan baik, dalam praktiknya Program Benteng tidak berhasil menumbuhkan daya saing pengusaha nasional pribumi. Tidak jarang pengusaha pribumi yang telah berhasil mendapatkan lisensi kemudian menjualnya kepada pengusaha nasional keturunan Cina. Jadi, mereka hanya menjual lisensi, tidak melaksanakan kegiatan impor. Dalam Konferensi Ekonomi Seluruh Sumatra pada November 1954, Hatta juga memberikan kritikan atas kebijakan ekonomi dalam Program Benteng. Menurut Hatta, Program Benteng hanya menguntungkan kepentingan golongan saja daripada kepentingan rakyat (Tim Buku Tempo 2010: 26). Adapula yang menyebutkan telah terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan program yang dijalankan oleh Kantor Pusat Urusan Impor (KPUI) di bawah Jawatan Perdagangan dan Kementerian Perekonomian tersebut. Berbagai penyelewengan yang terjadi antara lain disebabkan oleh lemahnya kontrol dari pemerintah (Glassburner 1962: 113-133). Selain itu, juga adanya praktik pungutan untuk percepatan proses pembuatan lisensi impor. Sebagai akibatnya, banyak pengusaha pribumi yang tidak mendapatkan lisensi karena tidak mampu membayar (Mahardika & Ramadhan 2021: 123-130).

Penulis: Yety Rochwulaningsih
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Bruce, Glassburner (1962). “Economic Policy-Making in Indonesia 1950-1957.” Economic Development and Cultural Change 10 (1): 113-133.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Tantangan dan Rongrongan terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus PRRI. Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Mahardika, M. D. G. & F. M. Ramadhan (2021). “Dugaan Penyelewengan Program Ekonomi Benteng untuk Kepentingan Pemilihan Umum 1955.” Historia 4(2): 123-130.

Siddique, Sharon & Leo Suryadinata (1981-1982). “Bumiputra and Pribumi: Economic Nationalism (Indiginism) in Malaysia and Indonesia.” Pasific Affairs 54(4): 662-687.

Tim Buku Tempo (2010). Perbandingan antara Pemilu 1955 dengan Pemilu 1999. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Thee, K. W. (2005). Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wardodjo, Waskito Widi (2018). “Ekonomi Indonesia 1950-an dan Penguasaan Negara terhadap Perusahaan Kereta Api Pasca-KMB 1949.