Reforma Agraria
Reforma Agraria adalah sebuah kebijakan untuk menata kembali susunan kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber daya agraria bagi kepentingan rakyat. Bagi negara-negara agraris, masalah tanah pada hakikatnya adalah masalah fundamental. Praktik penguasaan dan pemanfaatan tanah seringkali menimbulkan sengketa. Kalau kita melihat kembali pada sejarah, maka tampak bahwa sengketa-sengketa itu terjadi karena tanah-tanah yang subur semakin dikuasai oleh segolongan kecil pemilik-pemilik tanah yang biasanya memiliki kekuatan politik, atau golongan yang merampas tanah-tanah petani bagi pengembangan industrinya. Melalui sejarah yang panjang, sengketa-sengketa itu akhirnya menyadarkan manusia bahwa penguasaan tanah perlu diatur kembali.
Sesudah Perang Dunia II, untuk selama dua dekade, penataan kembali struktur penguasaan tanah, pernah menjadi suatu program yang populer di berbagai negara berkembang. Gairah itu surut untuk kurang lebih selama 10-15 tahun, kemudian meningkat lagi pada akhir dekade 1970-an. Pasang surut Land reform sebagai suatu pilihan kebijakan itu seiring sejalan dengan perdebatan teoretik mengenai masalah tersebut di an- tara para ilmuwan sosial ekonomi dan pengaruh badan-badan pembangunan internasional (Wiradi, 2009:4).
Bulan Juli 1979 adalah tonggak perjalanan penting dalam perjuangan yang panjang dan sulit, melawan kemiskinan dan kelaparan. Karena pada saat itu, World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARRD), yang diselenggarakan oleh FAO-PBB di Roma, berhasil merumuskan sebuah Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang kemudian disebut sebagai Piagam Petani (The Peasants’ Charter). Tersirat dalam Piagam Petani bahwa Reforma Agraria pada hakikatnya adalah suatu gerakan dan bukan kerja rutin, karena itu diperlukan dorongan secara terus menerus.
Sebanyak 145 negara yang terwakili dalam konferensi tersebut, termasuk Republik Indonesia yang mengirimkan delegasi besar pada saat itu, kemudian memberi mandat pada Food and Agriculture Organization (FAO) untuk membantu negara-negara anggota dalam melaksanakan isi dokumen (Wiradi, 2009:19-20).
Pemerintahan Sukarno telah mencoba untuk menyelesaikan masalah struktur agraria yang timpang dengan menjalankan program land reform pada tahun 1960 (Bachriadi dan Wiradi, 2011:44). Setelah 15 tahun Indonesia merdeka, maka pada tanggal 24 September, lahirlah Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang kemudian terkenal dengan istilah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA bukan proses yang pendek. Dia di latarbelakangi oleh suatu proses yang panjang, karena setelah Indonesia merdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah telah mulai memperhatikan masalah agraria. Mulai Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan akhirnya Rancangan Sadjarwo (1960). Kedua dengan berlakunya UUPA 1960, maka seharusnya semua dasar hukum agraria yang bersumber dari Agrarische Wet 1870 digantikan oleh yang bersumber dari UUPA 1960.
Ketimpangan antara jumlah rumah tangga petani dan jumlah tanah pertanian tersebut berkontribusi langsung kepada munculnya konfik agraria atau perebutan akses terhadap tanah, khususnya antara petani kecil dan petani tak bertanah (landless peasants) melawan investor yang ingin menguasai tanah dalam skala luas. Hal itu telah dan terus terjadi dalam kurun waktu yang panjang, setidaknya sejak sensus pertanian pertama di lakukan tahun 1963 ketika ketimpangan penguasaan tanah dapat terlihat secara nyata gambarannya secara nasional. Seharusnya kondisi tersebut menjadi peringatan untuk segera dijalankannya program reforma agraria (agrarian reform) yang komprehensif.
Pada masa Orde Baru, karena yang paling mendesak adalah masalah pertanian rakyat, maka baru inilah yang sempat tergarap yaitu dengan keluamya UU No. 56 Prp.1960 tentang penetapan Luas Tanah Pertanian. (Inilah yang secara populer dikenal sebagai UU Landreform). Sektor- sektor lain belum sempat tergarap, keburu terjadi pergantian pemerintahan, yaitu lahirnya Orde Baru.
Penulis: Annisaa Khansa Labibah
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Referensi
Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Salatiga: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Bachriadi, Dianto, dan Gunawan Wiradi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung: Agrarian Resource Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)