Republik Maluku Selatan (RMS)

From Ensiklopedia

Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan salah satu gerakan separatisme di Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan empat bulan setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tepatnya pada 25 April 1950 (Hartati 2010). Gerakan separatisme ini dilakukan oleh sebagian komponen bangsa Indonesia di wilayah Maluku Selatan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang sah atau melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kekuatan utama dibalik pendirian RMS adalah para politisi bekas pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dan mantan perwira Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). NIT semula merupakan salah satu Negara Bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang proses pendirian atau pembentukannya disponsori oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook sebagai pemimpin tertinggi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Indonesia, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.  Gerakan RMS dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam NIT, di bawah kepemimpinan Ir. J. A. Manumasa, Mr. Dr. Chr. Soumokil, sekelompok raja, serta pejabat lokal termasuk Kepala Daerah Maluku Selatan J.H. Manuhutu (Chouvel 1990: 21).

Sebagai gerakan separatis di daerah, terdapat beberapa versi yang mengungkap latar belakang terjadinya gerakan RMS. Pertama, RMS merupakan ungkapan kekecewaan sekelompok pejabat NIT atas rencana penggabungan NIT dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah tercapai kesepakatan antara Indonesia dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Haris 2005: 68). Kedua, RMS lahir dari sekelompok masyarakat Ambon yang diuntungkan oleh kolonial Belanda, sehingga khawatir jika pemerintah di Jakarta mendirikan pemerintahan yang efektif di Ambon, maka posisi mereka akan terancam (Chouvel 1990: 22). Ketiga, dalam sebuah artikel disebutkan bahwa RMS merupakan gerakan yang diinisiasi oleh Soumokil atas ketidaksetujuannya, baik kepada pemerintah pusat maupun pemerintah NIT (“Prepared to Fight” 1950). Apapun latar belakang yang mendasari  gerakan RMS, yang jelas kehadiran RMS merupakan manifestasi adanya konflik internal bangsa Indonesia antara pemerintah pusat dan daerah dan antara partai serta kekuatan2 politik yang berseberangan (sipil maupun militer) dengan pemerintah pusat yang mengancam integrasi nasional dalam meneguhkan NKRI.

Sebelum mendeklarasikan kemerdekaan RMS, Soumokil adalah Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung NIT. Bersama dengan Andi Azis, Soumokil menentang penggabungan NIT ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, pada saat pecah pemberontakan di Makassar yang berhasil dipadamkan, Soumokil terbang dengan menggunakan pesawat militer ke Ambon. Tujuan kedatangan Soumokil ke Ambon adalah untuk memisahkan Ambon, Buru, dan Seram dari wilayah NKRI. Bersama salah seorang pimpinan militer KNIL Ir. Manumasa, Soumokil yang anti-Sukarno mengambilalih kekuasaan dan memproklamasikan RMS. Tujuan pembentukan RMS adalah  untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah RI maupun negara RIS dan secara otonom akan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Gerakan RMS secara faktual tidak bisa dipisahkan dari politik kolonial Belanda devide et impera, bahkan gerakan tersebut merupakan manifestasi dari campur tangan Belanda untuk menggerogoti keutuhan dan kedaulatan negara RI.

Ir. J.A. Manumasa memiliki peran penting, terutama dalam upaya merealisasikan pemerintahan RMS. Selain menjadi ujung tombak dalam menggalang kekuatan militer dari unsur KNIL sebagai kekuatan inti Angkatan Perang RMS, ia juga melakukan konsolidasi dengan pemerintah daerah. Ketika Kepala Daerah J.H. Manuhutu dan Wakil Ketua Dewan Maluku Selatan Albert Wairisal pada awalnya tidak menyetujui pendirian RMS di wilayahnya, Manumasa merespons ketidaksetujuan Manuhutu dan Wairisal dengan menyelenggarakan kongres kilat dan menghasilkan keputusan mengenai pemerintahan RMS yang dipimpin oleh seorang presiden (kepala negara) dan 12 kepala departemen (menteri). Pada kongres tersebut, Manuhutu diangkat menjadi presiden dan Wairisal menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Scheffer 1950: 16).

Selain Soumokil dan Manumasa, orang yang juga sangat berpengaruh dalam RMS adalah Nanlohy. Namun, baik Soumokil maupun Nanlohy ternyata saling curiga dan tidak percaya satu sama lain. Hal itu menjadikan Nanlohy dipecat dan pergi ke Irian Barat (Anwar 2004: 55). Meskipun pemerintahan RMS terdiri atas beberapa tokoh pemerintahan dari unsur sipil dan beberapa perwira serta prajurit KNIL asal Maluku, pemerintahan RMS tidak berjalan efektif dan cenderung tidak stabil. Ada banyak masalah dalam tubuh RMS sendiri secara internal, terutama  yang bersumber dari penyelewengan terkait dengan aktivitas ekonomi dan perdagangan yang mereka lakukan. Demikian juga unsur militernya, terutama para mantan anggota KNIL sering bertindak sendiri sesuai kepentingan masing-masing. Kondisi internal RMS yang buruk akibat penyalahgunaan wewenang dan korupsi telah menyebabkan RMS lemah, sehingga kurang mendapat dukungan secara politik dan ekonomi dari masyarakatnya (Anwar 2004: 56).

Untuk mengatasi gerakan RMS, pemerintah Indonesia menempuh langkah diplomasi politik dengan misi perdamaian mengirim delegasi untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan Soumokil. Delegasi di bawah pimpinan Dr. J. Leimena bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri atas para pendeta, politisi, dokter, dan wartawan. Secara persuasif delegasi meminta Soumokil dan mereka yang berada dalam gerakan RMS agar tetap di dalam NKRI, tetapi misi perdamaian tersebut tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah militer ditempuh di mana pemerintah menggelar Gerakan Operasi Militer (GOM) III dipimpin Panglima Tentara dan Teritorium (TT) Indonesia Timur Kol. A.E Kawilarang. Operasi militer ini didukung oleh Pasukan Slamet Riyadi dari Jawa dan Pasukan Mayor Pellupessy dari Maluku yang kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok pasukan sesuai dengan basis kekuatan RMS yang tersebar di ketiga pulau di Maluku, yaitu di Pulau Ambon, Pulau Seram dan Pulau Buru.

Untuk menguasai Ambon sebagai wilayah terluas RMS, dilakukan Serangan Umum Senopati yang melibatkan semua unsur dan pasukan dari Jawa dibagi dalam tiga kelompok pasukan, yaitu pasukan Mayor Achmad Wiranatakusumah, pasukan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan pasukan Mayor Suryo Subandrio. Kontak senjata tidak bisa dihindarkan, sehingga banyak korban meninggal dari kedua belah pihak, termasuk Letnan Kolonel Slamet Riyadi yang gugur pada saat memimpin  pertempuran di Benteng Nieuw Victoria Ambon pada 4 November 1950. Perlawanan dari pihak RMS cukup sengit, karena pasukan mereka kebanyakan mantan tantara KNIL asal Maluku yang tergabung dalam  pasukan Green Caps pasukan elit tantara KNIL. Pertempuran di Benteng Nieuw Victoria Ambon  akhirnya dimenangkan pasukan pemerintah Indonesia dan menandai kembalinya Ambon ke dalam wilayah NKRI.

Setelah wilayah RMS berhasil dikuasai oleh pasukan militer dari pemerintah Indonesia, maka dilakukan penangkapan terhadap Presiden RMS yang pertama J.H Manuhutu dan Perdana Menteri RMS Albert Wairissal beserta 9 (sembilan) menteri lainnya. Mereka semua diproses secara hukum dan mendapatkan hukuman sesuai tingkat pelanggaran masing-masing. Namun demikian, ada sebagian pimpinan RMS yang difasilitasi oleh pemerintah Belanda berhasil melarikan diri ke negeri Belanda dan mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (government in exile). Adapun Soumokil pergi ke Pulau Seram dan mendirikan pemerintahan darurat RMS, karena merasa terancam dengan operasi pembersihan oleh pemerintah RI melalui kekuatan miiter yang dipimpin oleh Kolonel Alex Kawilarang. Soumokil dan beberapa orang pengikutnya melanjutkan perlawanan dengan bergerilya di Pulau Seram dan ditangkap pada 12 Desember 1963 yang juga menandai berakhirnya pemberontakan RMS. Soumokil setelah menjalani proses persidangan di pengadilan dan dijatuhi hukuman mati pada 12 April 1966 (“Indonesia Rebels Kill Two of Their Leaders” 1950: 5).

Penulis: Yety Rochwulaningsih
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Anwar, Rosihan (2004). Sejarah kecil “Petite Histoire” Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Chauvel, Richard (1990). “Republik Maluku Selatan and Social Change in Ambonese Society during The Late Colonial Period.” Cakalele 1 (1/2): 13-26.

Haris, Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Indonesia: LIPI Press.

Hartati, Anna Yulia (2010). “Separatisme dalam Konteks Global (Studi Tentang Eksistensi Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai Gerakan Separatis Indonesia).” Spektrum 7 (2).

“Indonesia Rebels Kill Two of Their Leaders.” Los Angeles Times. 15 November 1950.

Scheffer, Chris. “New Revolt Looms Against Indonesia.” San Angelo Evening Standard, 26 April 1950.

“Prepared to Fight.” The Sydney Morning Herald. 26 April 1950.