Resolusi Jihad
Resolusi Jihad merupakan deklarasi perlawanan bersenjata yang diusung KH. Hasyim Asy’ari beserta tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945. Muncul di masa pergolakan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan RI, Resolusi Jihad menjadi bentuk keterlibatan NU dalam penguatan gerakan sosial-keagamaan. Deklarasi ini merujuk kepada fatwa para ulama berkaitan dengan Revolusi Indonesia yang menyerukan perjuangan perang fi sabilillah atau jihad fi sabilillah. Fatwa terkait ‘perang suci’ menjadi bentuk evaluasi terhadap status hukum perang berdasarkan hukum Islam, dan memiliki kekuatan memotivasi (atau mewajibkan) umat Muslim untuk mengangkat senjata. Dengan menafsirkan ulang sifat peperangan bagi umat muslim yang ikut berperang, para ulama membangun komunikasi politik sekaligus mendorong terjadinya perubahan kesadaran masyarakat muslim (Anderson 1990:152-193; Fogg 2020:103).
Dikeluarkan tiga minggu sebelum tragedi Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Resolusi Jihad berisi lima hal utama, yaitu: (1) Kemerdekaan Indonesia yang relah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; (2) Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan dipertahankan dengan harta maupun jiwa; (3) Musuh-musuh Republik Indonesia, khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan menumpang pasukan Sekutu (Amerika, Inggris), sangat mungkin menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia setelah Jepang ditaklukkan; (4) Umat Islam, khususnya warga NU, wajib mengangkat senjata (bertempur) melawan Belanda dan sekutu mereka yang berusaha untuk kembali menguasai Indonesia; dan (5) Kewajiban jihad merupakan kewajiban bagi setiap Muslim (fardu Ain) yang berada dalam radius 94 kilometer (jarak di mana umat Islam diperkenankan shalat jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar radius itu mempunyai tanggung jawab mendukung saudara-saudara Muslim mereka yang tengah berjuang dalam radius tersebut (Kedaulatan Rakjat, 26 Oktober 1945; Effendi Yusuf, et. al. 1983: 38; Tim Penyusun Buku PWNU Jatim 1995:59; Bustami 2015:149).
Selain sebagai bentuk pengakuan legitimasi bagi pemerintah, Resolusi Jihad sealigus juga menjadi bentuk kritik tidak langsung terhadap sikap pasif pemerintah di masa-masa transisi pendudukan Jepang kepada Sekutu (Bruinessen 1994:60). Dalam rentang era tersebut Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya efektif menyelenggarakan kebijakan kenegaraan, termasuk menkonsolidasikan kekuatan militer. Merespons kondisi tersebut, tokoh-tokoh ulama NU seperti KH. Wahid Hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, KH. M. Dahlan, KH. Thohir Bakri, KH. Sahal Mansur bersepakat merumuskan tuntutan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan dalam bentuk resolusi (Fogg 2015:107; Bustami 2015: 171).
Resolusi Jihad yang disebarkan ke seluruh pulau Jawa melalui jaringan pesantren, langgar, dan kiai, berhasil mendorong semangat kelompok muslim untuk turut terlibat dalam perjuangan. Berbagai elemen masyarakat menyambut seruan ‘perang suci’ berbasis fatwa tersebut dengan bergabung di dalam berbagai laskar Islam. Sementara para pemuda santri bergabung dalam Laskar Hizbullah, para Kiai bergerak melalui Laskar Sabilillah (Salim 2004: 156; Fogg 2015:108).
Perkembangan ini menandai dua hal penting. Pertama, timbulnya kesadaran masyarakat muslim untuk terlibat dalam perang sebagai dampak kemarahan mereka kepada pasukan Belanda dan Sekutu (Amerika, Inggris) yang kembali ingin menduduki Indonesia. Kedua, menguatnya konsolidasi di antara ulama dalam proses mempertahankan kemerdekaan sekaligus menegakkan agama. Melalui pola seruan perang sabil di semua lapisan masyarakat, para ulama berupaya menjawab kegundahan sebagian kalangan yang meragukan posisi jihad sebagai bentuk yang tepat dari perjuangan untuk negara yang tidak menjanjikan tempat yang lebih kuat bagi Islam daripada pendahulunya, Jepang dan Belanda (Reid, 1974: 56).
Resolusi Jihad pada gilirannya membawa implikasi tidak hanya secara politik—meneguhkan kedaulatan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) yang merdeka dari segala bentuk penjajahan—tapi juga secara militer; berkontribusi besar melahirkan tentara nasional yang lahir dari laskar-laskar Sabilillah dan Hizbullah (El-Guyanie, 2010:100). Resolusi Jihad menjadi sumbangsih penting para ulama NU dalam menjaga kedaulatan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Bizawie, Zainul Milal (2014) Laskar Ulama-santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949). Tangerang: Pustaka Compass.
Bustami, Abdul Latif (2015) Resolusi Jihad: Perjuangan Ulama: Dari Menegakkan Agama Hingga Negara. Jombang: Pustaka Tebuireng.
El-Guyanie, Gugun (2010) Resolusi Jihad Paling Syar’i. Yogyakarta: LKiS
Fogg, Kevin W (2020) Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia. Noura Books.
Kang, Young Soon (2008) Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kedaulatan Rakjat, 26 Oktober 1945
Reid, Anthony (1974) The Indonesian National Revolution 1945-1950. Hawthorn: Victoria Longman.
Ridwan, Nur Khalik (2016) NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Salim, Hairus (2004) Kelompok Paramiliter. Yogyakarta: LkiS
Tim Penyusun Buku PWNU Jatim (1995) Peranan Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan. Surabaya: Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim.
Van Bruinessen, Martin (1994) NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yokyakarta: LKIS
Yusuf, Slamet Effendi, et. al. (1983) Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, Jakarta: CV. Raja Wali