Ruhana Kuddus

From Ensiklopedia

Ruhana Kuddus adalah tokoh emansipasi perempuan, jurnalis dan aktivis pergerakan Indonesia. Ia lahir pada tanggal 20 Desember 1884 di Nagari Kotogadang, Sumatra Barat. Nama lahirnya adalah Siti Ruhana dan setelah bersuami bernama Ruhana Kuddus. Ayahnya adalah Mohammad Rasyad Maharaja Sutan (1866–1929), yang bekerja sebagai jaksa di pemerintah Hindia Belanda. Ia memiliki peran yang besar dalam pendidikan Ruhana di rumah. Sebagai jaksa, ayah Ruhana sering berpindah tempat tugas. Ketika Ruhana diboyong ayahnya ke Alahanpanjang (1890), ia sudah mengenal huruf latin, Arab, dan Arab-Melayu. Di Alahanpanjang, Ruhana bertetangga dengan Adiesa, istri Jaksa Lebai Rajo Nan Sutan dan mendapat pelajaran membaca, menulis, agama, dan keterampilan menjahit dari mereka (Zed dan Chaniago, 2018: 36; Fitriyanti, 2001: 18).

Pada tahun 1892, Ruhana ikut ayahnya pindah ke Simpangtonang di Talu (Pasaman Barat). Mohammad Rasyad Maharaja Sutan menyalurkan minat baca putrinya dengan  berlangganan surat kabar Berita Ketjil, surat kabar untuk anak-anak terbitan Padang. Ruhana juga membaca surat kabar langganan ayahnya. Ia gemar bermain “sekolah-sekolahan” dan menjadi guru bagi murid-murid sekolahannya. Di lain waktu, Ruhana membacakan  berita dan tulisan yang dimuat surat kabar untuk orang banyak (Djaya, 1980: 29). Jadilah Ruhana “Guru Cilik” yang muridnya semakin bertambah. Kegiatan Ruhana didukung oleh kedua orang tuanya, termasuk menyediakan peralatan, yang berlangsung empat tahun. Pada tahun 1896, Mohammad Rasjad Maharadja Soetan dipromosikan menjadi Jaksa di Rao. Ruhana bersama ibu dan adik-adiknya tinggal di Koto Gadang (Zed dan Chaniago 2018: 46–47).

Di tanah kelahiran Kotogadang, Ruhana mendapati kenyataan bahwa anak-anak perempuan belum mempunyai kemampuan membaca. Ruhana pun membuka taman pendidikan dan pengajaran di rumah gadangnya. Ia disokong neneknya, Tuo Tarimin (ahli menyulam) dan Tuo Sini (ahli anyaman tikar, tas, dan lain-lain). Taman “Sekolah Rumah Gadang” berkembang dalam pengajaran keterampilan, seperti kerajinan tangan, sulaman terawang, hingga anyaman (Zed dan Chaniago 2018: 46–47).

Upaya Ruhana memajukan kaum perempuan tidak selamanya berjalan lancar. Ruhana mendapat penentangan dari orang kampungnya yang berpikiran kolot. Ruhana dianggap “meracuni” pikiran dan budi pekerti anak perempuan Kotogadang. Untuk meredam isu-isu memojokkan dirinya, maka Ruhana pergi merantau bersama suami Abdul Kuddus Pamuncak Sutan (menikah 1908) ke Maninjau dan Padangpanjang. Perantauan kali ini berlangsung sekitar 4 tahun. Pada tahun 1911, Ruhana pulang kampung dengan rencana lebih matang, yaitu membangun sekolah dengan pengorganisasian yang lebih kuat.

Proses pendirian sekolah dimulai Ruhana (didampingi suaminya) dengan mensosialisasikan tentang pentingnya sebuah sekolah untuk perempuan melalui pengelolaan perkumpulan. Ruhana dibantu oleh teman dekatnya Rekna Poeti (istri Jaksa di Kayu Tanam), Hadisah, Adisah, Rabai, dan Fatimah, serta para ibu pendukungnya. Setelah persiapan matang, maka dilangsungkanlah rapat di rumah gadang milik Rekna Poeti pada tanggal 11 Februari 1911. Rapat dihadiri 60 orang perempuan, ditambah dengan tokoh adat, ulama, dan cerdik pandai. Peserta rapat sepakat mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama Kerajinan Amai Setia, disingkat KAS. Perkumpulan bertujuan memajukan kaum perempuan Kotogadang dalam berbagai bidang untuk kemajuan bangsa (Djaja, 1980: 35).

Ruhana sebagai inisiator terpilih sebagai Presiden (Ketua) dan Rekna Poeti sebagai Sekretaris, sedangkan Komisaris ditetapkan Hadisah, Adisah, Rabai, dan Fatimah. Pengawas perkumpulan adalah Lampasir St. Maharadjo (Presiden), dan Komisarisnya adalah Dt. Narajau, Abdul Kuddus, Abdul Latif Sutan Marah Alam, dan Amir Soten Machoedoem (Zed dan Chaniago 2018: 62–63). Dalam kepengurusan Ruhana, KAS berkembang menjadi lembaga pendidikan dan keterampilan, sekaligus tempat pemberdayaan ekonomi perempuan Koto Gadang.      

Ruhana ternyata tidak saja memajukan kaum perempuan melalui pendidikan, namun juga dunia persuratkabaran. Ia dipercaya menjadi pemimpin redaksi surat kabar khusus perempuan oleh Dt. St. Maharadja (pemilik dan pemimpin Surat kabar Oetoesan Melajoe), yaitu Soenting Melajoe dan terbit 10 Juli 1912. Ruhana menjadi pemimpin redaksi, dan berkedudukan di Koto Gadang, sedangkan urusan redaksi sehari-hari ditangani Zubaidah Ratna Djuwita, anak perempuan Datuk St. Maharadja. Soenting Melajoe merupakan surat kabar pertama dikelola oleh redaksi dan penulis perempuan, dan Ruhana Kuddus sebagai wartawan perempuan pertama di Indonesia (Zubir, 211: 83).

Sementara itu, Perkumpulan Kerajinan Amai Setia mendapat pengakuan sebagai organisasi berbadan hukum (rechtperson) pada 14 Juli 1913 dengan nama Vereeniging K.A.S. te Koto Gedang. Pada tahun 1914, Ruhana diizinkan pemerintah Hindia Belanda mengadakan lotere untuk pembangunan gedung sekolah. Penyelenggaraan lotere berhasil mengumpulkan dana sebesar f. 10.000 (Chaniago 2010: 101). Ketika pembangunan gedung sekolah mulai berlangsung, Ruhana diterpa tuduhan penggelapan keuangan perkumpulan (Fitriyanti 2001: 84). Setelah melalui serangkaian pemeriksaan pengadilan Landraad Bukittinggi bahwa tuduhan itu tidak terbukti, dan nama baik Ruhana dikembalikan. Namun, Ruhana bersama suami mengundurkan diri sebagai Ketua dan Komisaris I dari kepengurusan Vereeniging K.A.S. te Koto Gedang. Ruhana dan suami pindah ke Bukittinggi dan mendirikan Ruhana School.

Di Bukittinggi profesi sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe tetap dilakoninya. Ruhana memberi warna surat kabar itu dengan berbagai informasi tentang aktivitas perempuan, kerajinan, dan peristiwa politik. Berbagai tulisan Ruhana menjadi pembangkit perempuan ke alam berkemajuan, misalnya lewat pantun, syair, artikel, dan cerita pengalaman Ruhana sendiri. Ruhana memimpin Soenting Malajoe sampai tahun 1920.

Selanjutnya, Ruhana menjadi Guru di Sekolah Dharma di Lubuk Pakam (satu tahun) dan Sekolah Dharma Medan sekitar tiga tahun. Aktivitas kewartawanan terus berlangsung. Ruhana menulis dan memimpin Surat Kabar Perempoean Bergerak bersama Siti Satiaman Parada Harahap. Begitu juga ketika kembali tinggal di Kotogadang (1924), ia menjadi anggota redaksi surat kabar Harian Radio (Dagblad Radio) yang terbit di Padang dan aktif menulis untuk surat kabar Tjahaja Soematra. Kemudian Ruhana mengajar pada sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (V.S.M) Fort de Kock di Bukittinggi (Zed dan Chaniago 2018: 120; Djaja 1980: 79–80). Setelah suaminya Abdul Kuddus meninggal (1951), Ruhana Kuddus ikut bersama anaknya Djasma Juni ke Padang, Medan, Jakarta, Surabaya, dan kembali ke Jakarta.

Pada tanggal 17 Agustus 1972, Ruhana Kuddus meninggal dunia dalam usia 88 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Ruhana melalui Keputusan Presiden No. 120/TK tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.

Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan

Referensi

Chaniago, Hasril. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.

Djaja, Tamar. 1980. Ruhana Kuddus Srikandi Indonesia, Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara.

Hanani, Silfia. 2011. “Ruhana Kuddus dan Pendidikan Perempuan”, dalam Marwah Jurnal Perempuan Agama dan Jender.Vol. 10. No. 1 (Pekanbaru-UIN Suska Riau).

Fitriyanti. 2001. Roehana Koeddoes; Tokoh Pendidik dan Jurnalis Perempuan Pertama Sumatera Barat. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP).

Zed, Mestika dan Chaniago, Hasril. 2018. Riwayat Hidup dan Perjuangan Ruhana Kuddus Tokoh Perempuan yang Mendahului Zaman.  Padang: UNP Press.

Zubir, Zusneli. 2011. Dari Pingitan Hingga Karier Perjalanan Tokoh Perempuan Minangkabau Menentang Tradisi. Yogyakarta: Eja Publisher.