Sabang, Pelabuhan Bebas

From Ensiklopedia

Pelabuhan Bebas Sabang (Sabang Free Port) adalah pelabuhan internasional yang terletak di kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Pelabuhan Sabang telah beroperasi sejak pertengahan abad ke-19, dan kemudian menjadi titik transit bagi kapal-kapal yang mengangkut beragam sumber daya alam di wilayah Sumatra, terutama batu bara (Malik et. al. 2019: 18). Dalam perkembangannya, Pelabuhan Sabang memiliki status free trade zone atau kawasan bebas yang menjadikan Sabang sebagai salah satu dari empat pelabuhan di Indonesia yang terbebas dari pengenaan bea impor selain dari Karimun, Bintan, dan Batam (Pradhani 2017: 197).

Pulau Sabang terletak sekitar 17 km di utara Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh. Sebagai satu wilayah yang berada di titik paling utara Sumatra, Pulau Sabang adalah pintu masuk bagi wilayah Republik Indonesia. Sebelumnya, pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Aceh merupakan sebuah kesultanan yang memiliki aktivitas perdagangan yang mapan, serta pusat dari berbagai budaya dan peradaban. Hingga akhir abad ke-19, Kesultanan Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan Inggris dan Turki, serta menjadikan wilayah Aceh memiliki kedaulatan yang utuh dan berada di luar kekuasaan pemerintahan kolonial Hindia Belanda secara penuh, setidaknya hingga tahun di penghujung abad ke-19 (Reid 1969: 74–75). Setelah terjadi penyerangan terhadap Kesultanan Aceh di tahun 1874, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai melakukan campur tangan terhadap sebagian wilayah Aceh (Hadi 2011: 197; Taylor 2011: 210).

Pada tahun 1896, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai merancang pembangunan pelabuhan bebas atau vrij-haven di wilayah Aceh (Malik et. al. 2019: 18–19). Kemudian pada tahun 1898, Pulau Weh, di wilayah Sabang, ditunjuk sebagai lokasi strategis pembangunan pelabuhan bebas. Pembangunan pelabuhan tersebut bertujuan untuk membentuk pelabuhan dan pusat transit kapal-kapal yang dianggap dapat menyaingi Singapura dan Penang di wilayah Malaya (Reid 2018: 26; Dick et. al. 2002: 23). Baru pada awal abad ke-20 Sabang mendapatkan status Pelabuhan Bebas, serta menjadi satu-satunya pelabuhan di wilayah koloni Belanda yang berada di luar kekuasaan dan tidak dikendalikan oleh pemerintahan kolonial (Zandvliet 2002: 380).

Pada masa Pendudukan Jepang, Sabang merupakan basis militer di Indonesia, dan karena itu Pelabuhan Sabang menjadi sasaran pengeboman oleh tentara Sekutu (Boediono & Hasan 1974: 45), sehingga mengalami kerusakan dan menyebabkan penutupan pelabuhan dalam jangka waktu tertentu (Malik et. al. 2019: 19). Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, gagasan pelabuhan bebas di Sabang kembali menguat ketika terjadi Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Pada saat itu, pemerintah Indonesia berhenti melakukan perdagangan dengan Singapura, sehingga pemerintah Republik Indonesia memberikan perhatian terhadap pembangunan infrastruktur Pelabuhan Bebas Sabang (Boediono & Hasan 1974: 45).

Di tahun 1980-an, status Pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan bebas ditarik oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada saat itu, pemerintah membatasi aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan pelabuhan, termasuk pemrosesan berbagai komoditas produksi yang berasal dari Aceh (Phelps 2011:422–423). Status Sabang sebagai Pelabuhan Bebas kembali didapatkan pada tahun 2000 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 148).

Penulis: Teuku Reza Fadeli
Instansi: University Of York
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 148

Boediono, & Hasan, I. (1974). An Economic Survey of DI Aceh. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 10(2), 35–55.

Dick, H., Houben, V. J., Lindblad, J. T., & Thee, K. W. (2002). The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Hadi, A. (2011). “Exploring Acehnese Understandings of Jihad” dalam Feener, R. M., Daly, P., & Reed, A. (Eds.). Mapping the Acehnese past. Leiden: BRILL.

Malik, M., Suprayitno, S., & Ratna, R. (2019). Sabang Free Port 1962-1985, Indonesia. Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences, 2(3), 17–26.

Phelps, N. A., Bunnell, T., & Miller, M. A. (2011). Post-disaster economic development in Aceh: Neoliberalization and other economic-geographical imaginaries. Geoforum, 42(4), 418–426.

Pradhani, S. I. (2017). Sejarah Hukum Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam Hukum Indonesia Kini. Lembaran Sejarah, 13(2), 186–203.

Reid, Anthony. (1969). Indonesian Diplomacy A Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud, 1870–4. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 42(2), 74–114.

___________. (2018). “Challenging geography: asserting economic sovereignty in a porous archipelago” dalam Arianto A. Patunru, et al. (Editor). Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignty. Singapura: ISEAS - Yusof Ishak Institute.

Taylor, J. G. (2011). “Aceh Histories in the KITLV Images Archive” dalam Feener, R. M., Daly, P., & Reed, A. (Eds.). Mapping the Acehnese past. Leiden: BRILL.

Zandvliet, Kees. (2002). The Dutch encounter with Asia, 1600-1950. Amsterdam Rijksmuseum, Zwolle: Waanders.