Said Oesman
Said Oesman adalah seorang ulama Hadrami yang paling terkemuka di Nusantara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menduduki jabatan tertinggi di lingkar kekuasaan kolonial di Hindia Belanda yang tak tertandingi di antara diaspora Arab di Nusantara pada masanya. Snouck Hurgronje menganggapnya kawan karib dan rekan kerja yang mumpuni dan sekutu Arab bagi Pemerintah Hindia Belanda yang paling loyal. Penguasa kolonial menjadikannya Penasihat Kehormatan dan bahkan mengangkatnya sebagai Mufti Batavia. Ia ulama yang berwenang dalam bidang ilmu kalam dan hukum "tidak hanya di kalangan rekan sebangsanya, namun juga di kalangan umat Islam di seluruh Nusantara," tulis van den Berg (2010: 147). Steenbrink menyebutnya seorang "teolog kenamaan di Batavia" yang "sangat berpengaruh di dalam masyarakat Islam Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya" (2017: 226). Azra mencatat kalau ia ialah "seorang pembaharu Islam di Indonesia" (2002: 164).
Said Oesman lahir di Pekojan, sebuah perkampungan Arab yang dibangun Belanda di Batavia, pada sekitaran tahun 1822. Ia berasal dari keluarga sayyid, kelas bangsawan agama yang bisa ditelusuri asal-usulnya hingga Nabi Muhammad. Menurut Nico J.G. Kaptein (2015: 54), penulis biografi Oesman yang paling otoritatif sejauh ini, asal-usulnya ini sangat penting baginya atau bagi sayyid pada umumnya, karena dengan menjadi bagian dari anggota kelas ini ia dianggap sebagai pemimpin alami dalam masalah agama dan menikmati segala macam hak istimewa dalam interaksi dengan orang-orang beriman. Selain itu, garis keturunan yang mulia ini juga membawa prestise alamiah karena dianggap bahwa dengan mengikuti sayyid seseorang secara otomatis mengikuti Nabi, sumber utama semua pengetahuan Islam.
Ayah Oesman adalah Sayyid Abdullah. Sayyid Abdullah, yang lahir di Mekah, merupakan anak bangsawan Arab bernama Sayyid Aqil bin Umar bin Yahya. Ia jelas salah satu ulama/pedagang diaspora Hadrami yang merantau mencoba peruntungan ke Nusantara, tetapi tidak ada rincian bagaimana ia sampai ke Batavia. Di kota kolonial di utara Jawa itu, ia menikah dengan Aminah, putri seorang syekh keturunan Mesir bernama Abdurrahman bin Ahmad al-Mishri. Dari pernikahan itulah Oesman lahir pada tahun 1822. Tapi hanya berselang tiga tahun kemudian, ayah Oesman berangkat ke Mekah, dan tidak pernah kembali ke Indonesia (Kaptein, 2015: 55). Sejak itu, pengasuhan atas Oesman diambilalih kakeknya dari pihak ibu.
Al-Mishri datang dari Timur Tengah sebagai pedagang. Mula-mula ia berdagang di Palembang lalu pindah ke Padang, tetapi kemudian memilih bermukim di Batavia, di Petamburan. Di situ ia membeli sebidang tanah, mendirikan masjid, dan mengundurkan diri dari usaha dagang untuk mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan. Van den Berg (2010: 146) menulis, Al-Mishri sangat ahli dalam bidang astronomi dan astrologi sehingga ia dikenal luas di Batavia dan dihormati penguasa Belanda, bahkan oleh Gubernur Jenderal Markus yang menjabat ketika itu. Di bawah pengasuhan kakeknya itu, Oesman dididik dalam pengetahuan agama Islam. Ketika Al-Mishri meninggal pada tahun 1841, Oesman baru berusia 18 tahun. Pada usia itu, ia memutuskan pergi ke Mekah untuk menemui ayahnya yang menjadi guru di sana. Selama berada di tanah suci, selain belajar kepada ayahnya sendiri, ia juga melanjutkan studinya dengan belajar kepada beberapa guru terkemuka lainnya, di antaranya Abdul Ghani Bima dan Ahmad Zaini Dahlan. Kaptein mencatat kalau ia telah belajar secara khusus di Mekkah sepanjang tahun 1841-1847, dan telah berkunjung ke negeri leluhurnya di Hadramaut pada 1847 dan menetap di sana sampai tahun 1862. Di samping di Hadramaut, sepanjang tahun 1855-1856, dia telah berkelana ke berbagai negeri, seperti Mesir, Tunisia, Jerusalem, dan Konstantinopel ((2015: 147). "Ia mengelana ke negeri-negeri itu untuk belajar kepada ulama-ulama terkenal," kata Jajat Burhanuddin (2012: 180-181).
Pada 1862, Oesman kembali ke Indonesia karena rindu kepada tanah kelahirannya, tetapi ketidakberhasilan menjadi ulama yang berpengaruh di Hadramaut adalah penyebab utamanya kembalinya Oesman ke Indonesia (Kaptein, 2015: 72). Di Indonesia, ia tinggal di Petamburan, di mana ia memiliki sebidang kecil tanah di dekat masjid yang dulu didirikan kakeknya Syekh Al-Mishri. Masjid itu kemudian menjadi pusat aktivitasnya. Mulai-mula ia mencurahkan hidupnya untuk pengajaran dan dakwah. Selama tiga bulan awal sejak bermukim di Batavia, dia menjadi salah seorang yang paling dicari diantara guru-guru lain di Batavia. Apalagi sebagai ulama yang bergelar sayyid, banyak orang telah mendekatinya untuk permintaan mengajar.
Sejak tahun 1869 dan seterusnya, Oesman mulai menggunakan mesin cetak litograf untuk menyebarkan pandangannya. Penggunaan media cetak ini sangat penting bagi karir Oesman, tidak hanya untuk penyebaran ide-idenya di kalangan penduduk asli, tetapi juga karena sangat meningkatkan visibilitasnya di kalangan kolonial Belanda (Kaptein, 2015: 75). Steenbrink (2017: 137) menulis, Oesman "mencetak brosur dan buku-buku tentang agama." Ketika itu ia sudah berhenti mengajar dan mengkhususkan diri hanya dengan mengarang. Jumlah tulisannya sampai 1886 tercatat mencapai 38 buah, sebagian besar dalam bahasa Melayu dan lainnya dalam bahasa Arab (rinciannya lihat: van den Berg, 2010: 149).
Oesman secara teratur terlibat dalam isu-isu kontroversial. Terkadang dia ikut campur atas inisiatifnya sendiri, sementara dalam kasus lain dia didekati oleh orang lain untuk memberikan pendapatnya tentang hal-hal tertentu, terkadang dalam bentuk fatwa (Kaptein, 2015: 78). Karya-karyanya, "sebagian besar tidak lebih dari 20 halaman", di antaranya berisi perlawanan terhadap mistisisme Islam. Ia selalu berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkan aliran tarekat (van den Berg, 2010: 147). Pada 1883, di antaranya, dia mengeluarkan tulisan berjudul al-Nasihat al-Aniqa li al-Mutallabisin bi al-Thariqah (Nasihat Elok untuk Pengikut Tarikat). Ia memperingatkan orang-orang Eropa terhadap keberadaan haji-haji fanatik, "guru-guru palsu", yang pasti akan mengibarkan bendera pemberontakan dengan memakai kedok Perang Sabil. Buku tipis itu hadir di saat yang tepat, ketika dua tahun kemudian Pemberontakan Cianjur yang didukung ulama meletus. Oesman menulis sebuah edaran atau pamflet berdasar pada karya terdahulunya itu yang isinya mengkritik dan melemparkan tuduhan yang berapi-api atas keikutsertaan ulama dalam upaya melawan pemerintah. Oesman, catat Sartono Kartodirdjo (2015: 172), "membagi-bagikan sebuah surat edaran yang isinya menimbulkan kerugian umum terhadap tarekat Naksibandiyah." Steenbrink (2017: 138) menulis, "salinan pamflet ini dibagi-bagikan secara gratis di Priangan". Karya Oesman ini jugalah yang dipakai pemerintah kolonial untuk melegitimasi penanganan yang dipilih untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Ketika pemberontak yang mirip kembali terjadi, kali ini di Banten pada 1888, di mana sejumlah pengikut tarikat membunuh beberapa orang Eropa dan Indonesia, dan pemerintah kolonial kemudian melakukan serangan balasan yang mengorbankan hampir seratus orang Islam. Oesman menolak mengakui mereka yang terbunuh itu sebagai syuhada: menurut pandangannya, mereka itu hanya korban kebodohan (Steenbrink, 2017: 226). Oesman melancarkan kritik tajam kepada para ulama yang terlibat. Ia menulis karya singkat bertajuk Minhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah untuk itu. Dalam karangan itu, ia menuduh ulama yang terlibat atasnya sebagai pengikut setan. Ia menyalahkan para ulama pesantren dan pengikut tarekat (Naqsabandiyah dan Qadiriyah) karena kebodohan mereka telah mendukung pemberontakan melawan pemerintah.
Peristiwa-peristiwa ini menjadi titik pijak bagi Oesman memasuki lingkaran kekuasaan kolonial yang lebih dalam. Pada 1889 adalah saat dia mulai menjadi sekutu pemerintah dan memberi banyak bantuan untuk kepentingan penguasa. Snouck Hurgronje merekrutnya dan menjadi pelindungnya yang utama. Berkolaborasi dengan penghulu dan bekerja sama dengan orang Arab, seperti Oesman, adalah cara yang dilakukan Snouck dalam berurusan dengan umat Islam dan menjalankan tugasnya (Burhanudin, 2012: 181). Snouck memujinya sebagai bagian dari “umat Islam yang benar-benar mengetahui tentang ajaran-ajaran suci” (Steenbrink, 2017: 227). Berkat argumentasi-argumentasi yang mendukung kebijakan penanganan pemberontakan yang dilakukan pemerintah kolonial itu, Oesman menjadi ulama Hadrami yang loyal, yang mengabdikan dirinya untuk memberi legitimasi agama kepada kekuasaan kolonial yang melindunginya. Pada 20 Juni 1891, Oesman kemudian diangkat sebagai Penasihat Kehormatan untuk Urusan-Urusan Arab. Peran-perannya semakin menentukan sehingga pada tahun 1897 dia diangkat menjadi Mufti Batavia sebuah jabatan setengah resmi yang sengaja dibentuk oleh pemerintah kolonial untuknya.
Pada bulan-bulan terakhir tahun 1913 Said Oesman jatuh sakit. Ia telah dibawa ke ranjang sakitnya selama beberapa bulan. Oesman akhirnya meninggal pada malam, 18 Januari 1914.
Penulis: Dedi Arsa
Instansi: IAIN Bukittinggi
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Azra, Azyumardi (2002), Islam Nusantara: Jaringan Lokal dan Global. Bandung. Mizan.
Berg, L.W.C. van den (2010), Orang Arab di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu.
Burhanuddin, Jajat (2012), Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.
Kaptein, Nico J.G. (2014), Islam, Colonialism and the Modern Age in the Netherlands East Indies: A Biography of Sayyid `Uthman (1822-1914). Leiden: Brill.
Kartodirdjo, Sartono (2015), Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok: Komunitas Bambu.
Steenbrink, Karel (2017), Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942. Yogyakarta: Gading.