Saminisme
Saminisme adalah sebuah gerakan milenarian yang muncul di Jawa pada abad ke-20. Saminisme menjadi pusat gerakan perlawanan pasif massa terhadap penetrasi kolonial Belanda, hierarki agama Islam, kaum bangsawan, dan elite (La Botz 2001). Orang Samin menolak untuk membayar pajak, denda, menerima upah, meninggalkan tanah ulayat ketika masa sewa berakhir, dan menolak mengikuti pesta atau ritual desa (slametan). Variasi resistensi kaum Samin itu merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya didorong oleh dominasi entitas pemerintah kolonial Belanda yang memarginalkan eksistensi penduduk lokal. Orang Samin menilai bahwa pemerintah kolonial Belanda secara sistematis dan terstruktur telah menjadikan penduduk lokal sebagai kelompok inferior. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) membuat petani menjadi kuli yang mengolah tanah bagi pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial Belanda juga mengumpulkan pajak untuk membiayai aparatnya. Lebih ironis lagi, kebijakan dan peraturan kolonial Belanda terkait penguasaan hutan semakin membatasi petani dalam mengakses hutan. Bagi penduduk desa yang miskin, kehilangan akses hutan berarti kehilangan sumber daya utama sehingga berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup (Permanasari, Kompas, 25 Oktober 2005, 14).
Orang Samin selalu memiliki atensi pada kondisi ekologi dan ekosistem di sekitarnya, seperti orang Samin di Desa Klopo Duwur, Kecamatan Randu Blatung, Kabupaten Blora. Dalam implementasinya, mereka ikut menjaga pelestarian kayu jati di Blora. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan memasak. Pandangan terhadap ekologi ini tercermin dari ungkapan “Banyu podo ngombe/ Lemah podo duwe/Godong podo gawe”, berarti bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dijaga (Arybowo, Kompas, 10 Mei 2007, 36).
Pada 1900-an, ajaran Samin menyebar dengan cepat dari Blora ke Bojonegoro, Grobogan, Ngawi, Pati, Rembang, dan Madiun. Pada 1907, pengikut Samin mencapai 3.000 orang. Sebagian besar pengikut Samin awalnya adalah petani pemilik tanah. Namun, ada pula yang merupakan keturunan dari pendiri desa (Permanasari, Kompas, 25 Oktober 2005, 14). Mereka lebih senang bertempat tinggal secara terpencar dibandingkan bergerombol, setiap desa terdapat 5-6 keluarga. Meskipun hidup terpencar, solidaritas sosial yang dijalin di antara anggota komunitas sangat kuat (Arybowo, Kompas, 10 Mei 2007, 36).
Sebetulnya, kelahiran masyarakat pengikut Samin masih diliputi kabut misteri. Ada yang memercayai bahwa Samin merupakan putra dari Raden Surowidjojo, cucu dari Raden Mas Adipati Brotodinigrat. Suriwidjojo ibarat Robinhood yang mencuri dari Belanda kemudian dibagikan pada orang miskin. Ia lalu mendirikan kelompok “Tiyang Sami Amin”. Pergerakan dilanjutkan Putra Surowidjojo, priyayi Raden Kohar, yang konon mengganti namanya menjadi Samin Surosentiko. Seperti ayahnya, dia tidak tahan dengan perlakuan Belanda terhadap orang kecil yang diskriminatif dan eksploitatif (Permanasari, Kompas, 25 Oktober 2005, 14; Arybowo, Kompas, 10 Mei 2007, 36).
Para pengikut Samin dikenal dengan cara bicara yang penuh “teka-teki” atau dengan interpretasi literal atas apa pun yang dikatakan, tetapi taktik ini hanya ditujukan pada para pejabat atau surveyor Belanda yang datang untuk mereklasifikasi tanah komunal. Mereka bahkan berani berbicara dalam bahasa berlevel rendah (ngoko) kepada pegawai Belanda atau priayi. Orang Samin berteriak, “Kanggo”, yang berarti “saya memilikinya” (Peluso 1992, 70). Pada zaman Orde Baru, ketika mereka menggunakan kiat atau strategi ngumumi; tidak melawan pemerintah, tetapi mengkritisi secara pasif. Mereka tidak mau ikut menerima kredit dari Bank Republik Indonesia (BRI) supaya tidak ngemplang. Orang Samin membuat pupuk dan irigasi secara mandiri. Bagi orang Samin, tidak ada hukum kolonial, yang ada hanyalah hukum tindakan, ucapan, dan keharusan. Orang Samin tidak mau berbuat jahat, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri) (Vickers 2013, 44; Arybowo, Kompas, 10 Mei 2007, 36). Seperti nasib para perintis kemerdekaan Indonesia yang lain, Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, Blora, Jawa Tengah pada 1859 dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat tahun 1914. Namun, ajaran samin masih eksis hingga sekarang.
Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Arybowo, Sutamat, 2007. “Kearifan Tradisi: Orang Samin dan Pandangan Hidupnya,” Kompas, 10 Mei, 36
La Botz, Dan, 2001. Made in Indonesia Indonesian Workers Since Suharto. Boston: South End Press.
Peluso, Nancy Lee, 1992. Rich Forests, Poor People Resource Control and Resistance in Java. California: University of California Press.
Permanasari, Indira, 2005. “Kehidupan Pengikut Samin: Kultur Berlatar Gerakan Perlawanan,” Kompas, 25 Oktober, 14.
Vickers, Adrian, 2013. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.