Sardjito

From Ensiklopedia
Sardjito. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P03-0250

Prof. Dr. Sardjito, M.P.H. adalah seorang dokter, pejuang, Pahlawan Nasional, pecinta wayang serta ilmu kebatinan, dan nantinya akan menjadi rektor (presiden) pertama Universitas Gadjah Mada. Selama hidupnya, suami dari Soekemi ini mengabdi untuk kemajuan pendidikan tinggi, menolong sesama tanpa pamrih, berjuang untuk kemerdekaan dan pembebasan. Prinsip dan motto hidupnya sangat menginspirasi, yaitu “Door het geven wordt men rijk” yang artinya, “Dengan memberi kita akan kaya” (Santoso, 2010: 2).

Sardjito lahir di Purwodadi, Madiun pada 13 Agustus 1889 (Yamin, 2010: 100), anak pertama dari Sajit, seorang guru yang tekun pada dunia pendidikan. Pada usia 6 tahun, Sardjito mulai belajar mengaji Al’Quran dan pelajaran agama di Mushola desanya. Selain pendidikan agama, pendidikan umum mulai ditempuhnya di Sekolah Rakyat Purwodadi. Aktivitas belajarnya di SR Purwodadi hanya dijalaninya sampai usia 10 tahun, karena harus pindah ke Lumajang dan menyelesaikan Sekolah Rakyat di kota ini pada tahun 1901 (Purwanto dkk., 199: 74-75).

Sardjito mulai mengenyam pendidikan dasarnya di volkshool (Sekolah Rakyat) di Purwodadi pada tahun 1895. Selanjutnya ia melanjutkan studinya ke Sekolah Rendah Belanda (ELS) di Lumajang  yang diselesaikan pada tahun 1906 (Bahauddin, 2019: 5-6). Pada 3 Desember 1906, Sardjito mulai tercatat sebagai mahasiswa STOVIA di Batavia dan berhasil menamatkan studinya pada tahun 1915 sebagai juara pertama. Ketika belajar di STOVIA, Sardjito sudah mulai menampakkan kepeduliannya terhadap nasib bangsanya. Oleh karena itu, selepas studinya di STOVIA, Sardjito aktif dalam organisasi “Perkoempoelan Dokter Indonesia”. Selain itu, ia mengabdikan diri pada rumah sakit Jakarta dan Instituut Pasteur Jakarta sampai tahun 1920 (Purwanto, 1999: Lampiran). Institute Pasteur Jakarta merupakan laboratorium riset terkemuka di belahan bumi selatan, yang menghasilkan nobel bagi Eyckman, penemu penyakit beri-beri dan vitamin B1. Oleh karena itu, jiwa peneliti Sardjito ikut terbangun di  sekolah ini. Pada tahun 1918 sampai 1919 Sardjito mengikuti tim penelitian khusus influenza yang merupakan penyakit pertama yang diteliti oleh Sardjito (Sutaryo, 2013).

Pada tahun 1920 sampai 1922, Sardjito melanjutkan sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam Belanda. Sardjito mendapatkan promosi doktor dari Universitas tersebut pada tahun 1923 dengan judul disertasi “Immunisatie tegen Anti-Dysenterie door Middle van Bacteriophaag Anti-Dysenterie Shiga-Kruse” yang dipromotori Prof. Dr. PC Flu (Sutaryo, 2012; Baha’uddin. 2019: 12). Setelah lulus, Sardjito melanjutkan pendidikan ke John Hopkins University Amerika Serikat untuk sekolah hygiene dan mendapat gelar Master of Public Health (MPH). Didasari jiwa berorganisasi yang tinggi, Sardjito tetap aktif dalam organisasi Budi Utomo. Pada tahun 1925 Sardjito menjadi ketua Budi Utomo cabang Jakarta. Sardjito juga menjabat anggota pemerintahan kotapraja dan wakil wethouder Jakarta (Baha’uddin, 2019: 12). Pada tahun 1931-1932, Sardjito memperoleh tugas belajar tentang laboratorium di Reich-Gesundheitant, Berlin, Jerman (Sutaryo, 2012).

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Sardjito yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Laboratorium Kesehatan di Semarang ditugaskan oleh menteri kesehatan Dr. Boentaran untuk mengambil alih dan memindahkan Institut Pasteur dari Bandung ke Klaten. Ketika terjadi agresi militer Belanda II 1948, Sardjito bersama dengan PMI Klaten mendirikan rumah sakit darurat di Sendang Jimbung Klaten untuk merawat para pejuang yang mengalami luka ringan. Untuk pejuang yang mengalami luka berat dipindahkan untuk dirawat di rumah sakit Tegalyoso Klaten. Pada masa gerilya ini, Sardjito pernah bertemu A.H. Nasution di desa Boro kecamatan Kalibawang yang diminta untuk menyediakan makanan khusus untuk para pejuang. Sardjito kemudian membuat makanan di Institut Pasteur berupa biskuit berbentuk tablet yang mampu memberi energi selama 24 jam yang kemudian disebut sebagai biskuit Sardjito (Baha’uddin, 2019: 16-17). Pada masa revolusi kemerdekaan ini, Sardjito berperan penting dalam pendirian Universitas Gadjah Mada yang kemudian menjadi rektor pertama universitas ini selama 12 tahun 9 bulan (1949-1961) (Bambang Purwanto dkk., 1999: 136).

Beberapa penghargaan yang pernah diterima Prof. Dr. Sardjito, antara lain: penghargaan istimewa dari pemerintah (1951), Bintang Gerilya (1958), Bintang Mahaputera III (1960), Bintang Kehormatan Keilmuan Uni Soviet (1960), Bintang Satya Lancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Bintang satya Lancana Karya Satya (1961), serta masih banyak penghargaan lain yang diterimanya. Pada tanggal 5 Mei 1970 di Rumah Sakit Panti Rapih, Prof. Dr. Sardjito wafat. Atas jasa-jasanya, Prof. Dr. Sardjito dianugerahkan Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi pada tahun 2019 (Humas UGM, 2019).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Baha’Uddin (2019), Pahlawan Nasional: Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta: Gadjah Mada Nuversity Press

Humas UGM (2019), “Sardjito dikukuhkan Sebagai pahlawan nasional”, https://www.ugm.ac.id/id/berita/18693-sardjito-dikukuhkan-sebagai-pahlawan-nasional, diunduh 30 Oktober 2021

Purwanto, Bambang, dkk (1999), Dari Revolusi ke Reformasi: 50 Tahun Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: Puspar UGM.

Santoso, Heri (2010), Hikmah, Humor dan Kisah Unik Guru Besar UGM, Yogyakarta: Pustaka Rasmedia.

Sutaryo (2012), “Meneladani Karier Prof. Sardjito” http://ratnaherliadewi. blogspot.com/2012/03/meneladani-karier-prof-sardjito-oleh.html, diunduh 29 Oktober 2021.