Sartono
MR. Raden Mas Sartono, lahir di Baturetno, Wonogiri, pada tanggal 5 Agustus 1900. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo, pernah menjabat ketua parlemen sementara (DPRS) pada Republik Indonesia Serikat (1949) dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat antara tahun 1950 sampai 1959, serta pernah juga menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Beliau lahir dari keluarga bangsawan. Nama kedua orang tuanya adalah Raden Mas Martodikaryo dan Raden Ajeng Ramini. Ayahnya adalah cicit dari Mangkunegoro II, sedangkan ibunya adalah cucu dari Mangkunegoro III. Sebagai anak keturunan bangsawan, Sartono dapat bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) di Surakarta pada tahun 1906 dan lulus pada 1923 dengan predikat nomor satu. Ia pun dengan mudah diterima di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) di kota yang sama. Pada 1916, ia berhasil melanjutkan studinya di Rechtschool di Jakarta.
Pada awal tahun masa studinya di Rechtschool, Sartono mulai mengenal dunia pergerakan dengan memasuki Tri Koro Dharmo, sebuah organisasi pemuda Jawa, yang pada 1918 berubah menjadi Jong Java (JJ). Pada tahun 1921 Sartono menyelesaikan pelajarannya di Rechtschool dengan predikat peringkat kedua setelah Iwa Koesoema Soemantri. Sartono kemudian bekerja di Pengadilan Negeri (Landraad) di Surakarta, Namun pekerjaan ini hanya dijalaninya selama enam bulan. Sebagai seorang pegawai negeri, sebenarnya ia mempunyai kesempatan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Leiden di Negeri Belanda, tetapi karena tawaran itu tidak segera datang, maka pada tahun 1922 Sartono berangkat bersama Iwa Kusuma Sumantri ke Belanda pada September 1922 atas biaya sendiri. Di sini ia banyak bertemu dengan teman-temannya sesama lulusan Rechtschool. Di samping belajar, Sartono di Negeri Belanda juga menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (1922-1925), suatu organisasi mahasiswa Indonesia yang banyak memberikan sumbangaan bagi ide dan gerakan nasionalis di Indonesia
Setelah berhasil meraih gelar Meester in de Rechten, Sartono kembali ke Indonesia. Di kota Bandung, ia menjalankan profesi advokat, membuka kantor hukum di Regentsweg 22 – sekarang Jalan Dewi Sartika Bandung, di bawah pimpinan Mr Iskaq Tjokrohadisuryo.
Minatnya yang besar terhadap dunia pergerakan nasional diperlihatkan MR. Sartono ketika ia mengikuti rapat-rapat pendirian PNI di tahun 1927. Sartono menjadi sekretaris kongres kedua PNI di Jakarta pada 18 – 20 Mei 1929. Ketika aksi-aksi propaganda PNI makin mendapat dukungan yang luas dari rakyat Indonesia, pemerintah kolonial melancarkan penggeledahan di rumah dan penangkapan terhadap sejumlah tokoh tokoh PNI seperti lr. Sukamo, R. Gatot Mangkoepradja, Maskun, dan Supriadinata yang kemudian diajukan ke Pengadilan di Bandung pada tahun 1930.
Keterlibatan Mr. Sartono dengan peristiwa penangkapan dan pengajuan empat orang itu ke pengadilan adalah dengan cara menjadi pembela mereka.Tim pembela selain MR. Sartono adalah MR. Sastromoeljono, R. Idih Prawiradipoetra, dan MR Soejoedi.
Pada 18 Agustus 1930, MR. Sartono membacakan pembelaannya yang antara lain menyebutkan bahwa mereka (yang ditangkap itu) bersih dari perbuatan yang dituduhkan. Seperti diketahui bahwa hasil persidengan pengadilan kolonial itu telah menjatuhi hukuman penjara bagi keempat tokoh PNI itu. Insinyur Sukarno mendapat hukuman penjara 4 tahun, R. Gatot Mangkoepradja 2 tahun, Maskoen satu tahun delapan bulan,dan Soepriadinata satu tahun tiga bulan penjara.
Setelah penangkapan keempat tokoh PNI itu, partai politik nasional membubarkan diri. Ada dua kelompok yang kemudian mendirikan organisasi yang memakai cara perjuangan yang berbeda tetapi mempunyai tujuan yang sama dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Mereka yang percaya pada partai kader seperti Drs Mohammad Hatta dan Sjahrir, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), sedangkan yang masih percaya dengan kekuatan massa mendirikan Partai Indonesia Raya (Partindo), MR. Sartono memilih yang terakhir dan ia sendiri menjadi ketua muda (1931-1936).
Sewaktu Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) berdiri (1937 – 1942), MR. Sartono menjadi ketua muda pengurus besarnya. Pada tahun 1941 Mr. Sartono menjadi Pengurus Harian Majelis Rakyat Indonesia. Ketika Pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), MR. Sartono diangkat menjadi kepala Bagian Organisasi. Pada tahun 1943 ia kemudian diangkat menjadi anggota Chuo Sangi-in Menjelang proklamasi kemerdekaan, MR. Sartono diangkat sebagai anggota BPUPKI. Ia duduk sebagai anggota Panitia Kecil untuk merancang UUD. Panitia ini terdiri atas 19 orang dan diketuai Ir. Sukarno
Setelah kemerdekaan Mr. Sartono menjabat Menteri Negara pada kabinet pertama pimpinan Sukarno-Hatta. Ketika terjadi aksi pemogokan Karung Goni di Delanggu (1948), Mr. Sartono menjadi ketua Angket Komisi Badan Pekerja KNIP dan ditugaskan untuk menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara itu.
Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Sartono menjadi penasehat umum delegasi Indonesia. MR Sartono kemudian didaulat menjadi Ketua DPR ketika Indonesia berbentuk serikat (RIS). Ia menang lewat voting melawan M. Yamin dan A.M Tambunan. Sartono memperoleh 51 suara, Yamin 39 suara, sedangkan Tambunan mengundurkan diri.
Setelah pemilu 1955 Sartono tetap duduk di kursi Ketua DPR hingga 1960. Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955, dan memilih anggota parlemen baru yang disebut DPR Gotong Royong (DPR-GR). Mr Sartono termasuk yang menentang kebijakan Presiden Sukarno. Setelah mempertimbangkan banyak hal, MR Sartono mengundurkan diri sebagai Ketua DPR pada 5 Maret 1960.
Pada bulan Maret 1962, Sartono menduduki posisi baru sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Proses pengangkatan Sartono sebagai Wakil Ketua DPA ini dimulai pada 4 Maret 1962. Jabatan Wakil Ketua DPA dipegang oleh Sartono berkelanjutan hingga tahun 1966. Selain menduduki jabatan tersebut, Sartono juga menjabat menteri ex officio dalam berbagai kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Dalam Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, kedudukan Sartono menjadi Menteri Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri, di mana ia membawahi Menteri-Menteri: Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Dalam Negeri. Kabinet yang terkenal dengan julukan Kabinet Seratus Menteri ini hanya berumur kurang dari satu bulan. Sebagai gantinya, dibentuk Kabinet Dwikora III, di dimana Jenderal Soeharto menjabat Ketua Presidium Kabinet. Kabinet ini dilantik pada 27 Maret 1966 sekitar dua minggu sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret. Dalam kabinet yang berakhir masa kerjanya pada 25 Juli 1966 tersebut, Wakil Ketua DPA Sartono berkedudukan sebagai Menteri, di bawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Pemerintah K.H. Idham Chalid.
MR RM Sartono meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1968 karena sakit yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Makam Kerabat Mangkunegaran.
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Deradjadi. Sartono Pejuang Demokrasi & bapak Parlemen Indonesia. Jakarta Pt. Kompas Media Nusantara 2014.
Ingleson, J. (1988). Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.
Wali, N.A.T. (1985). Mr. Sartono Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.