Soebadio Sastrosatomo

From Ensiklopedia


Soebadio adalah pelaku sejarah yang namanya kerap dikaitkan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di bawah pimpinan Sutan Sjahrir. Bersama Soepeno, Soebadio melaksanakan pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), yang direformasi menjadi parlemen pada bulan Oktober 1945. Beliau juga merundingkan agar Sultan Hamengkubuwono IX menyetujui kepindahan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta dari Jakarta ke Yogyakarta, dan melancarkan komunikasi antara anggota delegasi RI yang diketuai Syahrir dan Sukarno-Hatta sewaktu perundingan Indonesia-Belanda di Linggarjati, November 1946.

Sebagian besar pemikiran politik dan sepak terjang Soebadio tak lepas dari pengaruh Sjahrir dan PSI. Pada masa pendudukan Jepang, pria kelahiran Pangkalanbrandan, Sumatra Utara, 1919 itu termasuk kelompok garis keras yang menentang pendudukan tentara Dai Nippon. Sebelumnya, pada masa penjajahan Belanda, Soebadio sudah terlibat dalam gerakan kemerdekaan sejak di bangku sekolah menengah.

Radikalisme dan sikap kritis yang dimilikinya membuat kaum kolonialis marah sehingga menangkap dan memenjarakannya. Tidak terhadap penjajah, sikap kritis juga disuarakan Soebadio pada pemerintah Republik. Buah dari sikapnya itu, Soebadio dikirim ke penjara oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru. Presiden Sukarno menjebloskannya bersama Syahrir, Mohammad Roem, dan lain-lain ke penjara Madiun (1962-1965). Setelah Peristiwa Malari 1974, Soebadio ditahan lagi oleh Presiden Soeharto selama 888 hari tanpa pernah diadili dan semua itu hanya karena sikap oposisinya terhadap pemerintah.

Soebadio Sastrosatomo lahir pada 26 Mei 1919. Sejak kecil beliau  dia ditempa “pahit”-nya kehidupan pribadi. Ketika baru berusia 10 tahun, Soebadio ditinggal ayahnya, seorang pegawai Jawatan Garam dan Candu Negara di Sumatra Timur. Bersama ibunya, Soebadio, yang bersaudara delapan orang, kemudian hijrah ke Jawa. Mereka menetap di Desa Ngupit, dekat Klaten, Jawa Tengah. Karena kedua kakak laki-lakinya tidak hidup bersama mereka, otomatis Soebadiolah sebagai laki-laki tertua di keluarga itu. Kondisi seperti ini menyebabkan Soebadio menggantikan peran ayahnya. Beliau mengurus kepentingan keluarga, termasuk mencari tambahan penghasilan dengan membuka warung kecil-kecilan. Tugas Soebadio membeli barang dagangan ke kota.  Selain itu, perekonomian keluarga ini juga disokong kedua kakaknya dan uang pensiun. Kendati kehidupan mereka tak berlebihan, namun sang ibu berkeinginan melihat putra-putrinya menjadi “orang”. Maka, ia mendorong mereka melanjutkan pendidikan.  Sang ibu bahkan menyarankan agar tak perlu terlibat dalam organisasi politik mahasiswa, yang kala itu tengah marak.

Soebadio sendiri, setelah menyelesaikan sekolahnya pada Algemeene Middelbare School (AMS) tahun 1939, hijrah dari Yogyakarta ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool). Sesuai dengan pesan ibunya yang melarang Soebadio ikut berorganisasi politik, ia hanya bergabung dengan perkumpulan pemuda yang bernama USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis). Organisasi kebangsaan itu sama sekali tidak melibatkan politik. Tetapi,  bakat Soebadio yang sejak kecil senang berorganisasi, membuat pesan itu hanya bertahan selama dua tahun.

Selanjutnya, Soebadio menjadi mahasiswa Recht Hogeschool, Sekolah Tinggi Hukum. Sewaktu menjadi Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum, dia banyak membaca buku Karl Marx sehingga tak heran dia kemudian menjadi sosialis. Sosialisme yang dianutnya bukan ajaran yang dipraktikan oleh Lenin, melainkan yang dijabarkan oleh Karl Marx muda yang menekankan pada democratie en menselijke waardigheid (kerakyatan dan martabat kemanusiaan).

Selain itu, ia juga masuk Perkumpulan Indonesia Muda, yang lebih bisa meningkatkan kesadaran berbangsa. Kemudian, ia juga ikut menjadi pengurus Jong Islamieten Bond. Namun demikian, Soebadio tidak bisa melanjutkan pendidikannya, kendati belajar ilmu hukum itu murni pilihannya sendiri. Penyebabnya, kehadiran Jepang di Tanah Air tahun 1942, yang mengakibatkan semua bentuk sekolah ditutup. Setahun kemudian, Soebadio bekerja sebagai penerjemah dan anggota staf Komisi Bahasa Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan Hatta. Sedangkan yang menjalankan, Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sarmidi Mangunsarkoro, dan Mr. Suwandi. Soebadio menjadi asisten STA.

Dari situ, Soebadio banyak menggali pengetahuannya tentang keadaan dan kondisi masyarakat. Sebab, mereka sering berbincang-bincang soal itu. Kedekatan Soebadio dengan Sutan Sjahrir kemudian tak lain karena mereka memiliki pandangan yang sama. Yaitu, tidak mau orang asing, Jepang atau fasisme yang lain, ikut campur tangan di Republik ini. Di tengah tekanan pemerintah Jepang itulah, Soebadio semakin banyak mengenal pemimpin organisasi yang mengadakan kontak dengan penguasa Jepang. Bahkan, tokoh-tokoh itu bisa mendirikan pusat latihan pemuda. Ia sangat menyayangkan kondisi tersebut. Maka, Soebadio tak pernah bersedia diajak bergabung dengan mereka. Bahkan, justru melakukan manifesto demokrasi. Akibatnya, bersama dengan STA, dia ditahan. Itu pun tak membuatnya jera.

Masa-masa itu juga Soebadio menjadi anggota Badan Permufakatan Perhimpunan Pelajar. Seperti Sjahrir, ia ikut aktif menjadi anggota gerakan bawah tanah melawan fasis Jepang. Karena kegiatannya itu, lagi–lagi ia masuk bui. Begitu juga STA, Dr. Soetomo, dan lainnya. Mereka baru bisa menghirup udara segar waktu Jepang mengizinkan bangsa Indonesia membuat persiapan kemerdekaan. Soebadio adalah seorang yang selalu anti-fasis. Perjuangan yang dilakukan untuk kemerdekaan berarti melawan fasisme. Setelah fasisme Jepang kalah, ada kekosongan kekuasaan. Namun, atas perintah Sekutu, Jepang diminta menegakkan law and order.  Sjahrir, Hatta, Sukarno tahu akan ada Perang Pasifik dan dilanjutkan adanya kekosongan kekuasaan. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan itu, kemerdekaan itu diproklamasikan.

Bersama Sjahrir, ia ikut mendirikan Politbiro Partai Sosialis tahun 1945. Dan menjadi tokoh penting PSI untuk selanjutnya, sampai partai itu dibubarkan tahun 1963. Pengetahuannya yang mendalam tentang Marxisme dan Leninisme menjadikan Soebadio menjadi tempat bertanya bagi kawan-kawan. Di samping itu, sebagai pemimpin teras partai, sampai 1960, berbagai jabatan pun sempat disandangnya. Antara lain sebagai Ketua Fraksi Partai Sosialis Indonesia, anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat, dan Ketua Fraksi PSI dalam parlemen. Keterlibatannya yang intens tersebut telah membawa Soebadio berkesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh sosialis Eropa.

Sebagai sosialis, Soebadio memperjuangkan cita-cita keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Beserta Syahrir, Amir Syarifuddin, Djohan Sjahroezah dan Sudarsono, beliau mendirikan Partai Sosialis di Cirebon pada tahun 1948. Partai ini kemudian pecah menjadi dua fraksi. Satu fraksi bergabung dengan sayap kiri, fraksi lain berkumpul dalam partai Sosialis Indonesia. Soebadio duduk dalam BP-KNIP, kemudian dalam parlemen hasil pemilu 1955. Hubungan “mesra” dengan Sukarno tak berjalan mulus. Tahun 1960, PSI dibubarkan. Partai Komunis mulai melebarkan pengaruhnya. Seiring dengan memanasnya situasi politik, fitnah dan intrik politik merajalela. Soebadio tak luput dari sasaran fitnah. Tahun 1962, bersama dengan tokoh politik lainnya yang kritis terhadap pemerintahan Sukarno dan anti-PKI, Soebadio dijebloskan ke penjara.

Munculnya Orde Baru membawa angin segar dalam kancah politik nasional. Soebadio kembali menikmati angin kebebasan. Pada masa ini bisa dibilang periode tenang dan kehidupan Soebadio. Pada masa ini pula ia sempat menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Maria Ulfah atau Itje, yang juga bekas Menteri Sosial pada zaman Orde Lama. Namun, pembawaannya sebagai orang politik menyebabkan Soebadio tak bisa tidak melibatkan diri dalam proses politik, yang dirasakannya bertentangan dengan prinsipnya. Kali ini, kembali ia menerima akibatnya. Peristiwa MaIari, 1974, kembali menyeret Soebadio ke pintu penjara. Soebadio dituduh mendalangi demonstrasi–demonstrasi mahasiswa. Hanya karena kegiatannya aktif berceramah di depan aktivis mahasiswa di Universitas Padjadjaran, IKIP, dan ITB.

Nama Soebadio Sastrosatomo kembali melejit setelah diperiksa Kejaksaan Agung. Bukunya yang berjudul Era Baru Pemimpin Baru: Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru, dianggap bisa menimbulkan keresahan. Soebadio dianggap mengkritik pemerintah Orde Baru dan melakukan tindakan subversif. Selain itu, ia juga harus berurusan dengan pihak kejaksaan, ketika Ketua Umum PUDI, Sri Bintang Pamungkas, ditangkap. Karena, Soebadio juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pusat PUDI.

Perjuangannya merebut kemerdekaan serta konsistensinya memperjuangkan kebebasan berpolitik dan demokrasi jugalah yang membuat Soebadio seakan tak pernah lelah berpolitik. Selain itu, pengaruh petuah Jawa dan legenda pewayangan, yang seakan melekat erat dalam diri penganut kejawen itu, agaknya ikut mempengaruhi setiap tindakannya. Apalagi, baginya, Pancasila itu berasal dari budaya Jawa-kejawen. Sebagai orang yang “taat” pada konsep jawa, Soebadio teringat apa yang disebut handayaningrat. Angon rakyat, bukan menindas rakyat. Demi memperjuangkan kemerdekaan dalam arti kebebasan itu, Soebadio tak takut dengan risiko apapun, termasuk ditangkap.

Masih dalam tema demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan, saat itu Soebadio banyak melemparkan kritik tajam terhadap pelaksanaan Pembangunan, yang menimbulkan jurang ketidakadilan, serta proses politik yang kurang demokratis. Buah pikiran Soebadio itulah yang dijadikan alasan untuk menyeretnya ke tahanan militer. Selama 808 hari dalam tahanan, kakak kandung pengusaha Soedarpo ini akhirnya dibebaskan.

Penulis: Anastasia Wiwik Swastiwi
Instansi: Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Padiatra, Aditia Muara (2019), “Wartawan Tiga Zaman: Biografi Singkat Perjalanan dan Pemikiran Rosihan Anwar 1948- 1983”. Journal of Indonesian History 8 (1) (2019).

Sunarti (1996), Jalan Masuk Arsip Pribadi Soebadio Sastrosatomo. Arsip Nasional Republik Indonesia.