Soedjatmoko

From Ensiklopedia
Soedjatmoko. Sumber: Arsip Kemenlu Duta Besar RI untuk Amerika Serikat


Soedjatmoko Saleh Mangoendiningrat (lahir tanggal 10 Januari 1922 di Sawahlunto, Sumatra Barat) adalah diplomat Indonesia, jurnalis, anggota Konstituante, rektor ke-2 Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ilmuwan sosial, dan salah satu intelektual terkemuka di Indonesia pada paruh kedua abad ke-20. Kehidupan awalnya berpindah-pindah. Putra seorang bangsawan Jawa asal Madiun yang berprofesi sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda, Saleh Mangoendiningrat, ia lahir di Sawahlunto di mana ayahnya ditempatkan (Nursam, 2002). Belakangan, ia memilih hanya menggunakan nama depannya, Soedjatmoko, karena ia menilai nama keluarga yang bercorak kebangsawanan tidak sesuai dengan jiwa revolusi yang melingkupi dirinya (Kahin & Barnett, 1990: 133). Para koleganya memanggilnya dengan nama yang lebih ringkas: Koko.

Pada usia dua tahun ia pindah ke Belanda guna mengikuti ayahnya yang mendapatkan beasiswa kedokteran di sana. Di negeri induk Hindia Belanda itu ia belajar dan pada akhirnya menguasai bahasa Belanda, yang memudahkannya untuk menyelesaikan studinya di sekolah-sekolah Belanda di Hindia Belanda. Sepulang dari Belanda, ia menempuh pendidikan dasar di Manado, Sulawesi Utara. Ia lalu pindah ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS). Selepas dari HBS ia memasuki sekolah kedokteran, Geeneskundige Hogeschool, di Batavia. Minatnya bukan hanya pada bidang kesehatan, tapi juga pada ilmu sosial, sebagaimana tampak dari bahan bacaannya yang bertema luas, mulai dari sejarah, pemikiran Marxisme, serta karya-karya filsuf Spanyol Ortega y Gasset dan sejarawan Belanda Jan Romein (Legge, 2010: 90).

Pada masa pendudukan Jepang, ia diberhentikan dari pendidikan kedokterannya lantaran dianggap memiliki relasi dengan tokoh pemuda anti-fasis, Sutan Sjahrir, serta karena penentangannya terhadap kewajiban penggundulan paksa oleh militer Jepang kepada semua mahasiswa Indonesia. Penolakannya terhadap tindakan militerisme ala Jepang ini berakar dari pandangannya bahwa Jepang bukanlah pembebas Indonesia dari penjajahan Belanda, melainkan kaum fasis dan musuh demokrasi. Ia lalu memilih pulang ke Surakarta di mana ayahnya menetap. Di sana ia membantu praktik ayahnya sekaligus mulai membangun minatnya pada sosialisme melalui berbagai bacaan tentang sejarah, filsafat dan politik Barat yang ia peroleh dari perpustakaan keluarganya. Keberadaannya di Surakarta berada di bawah pengawasan polisi rahasia Jepang, Kenpeitai.

Meletusnya revolusi Indonesia memberi arah baru pada kehidupannya. Soedjatmoko turut berpartisipasi di dalam pemerintahan Republik Indonesia yang baru lahir, apalagi dua sosok sosialis tengah memainkan peranan kunci, Sjahrir sebagai perdana menteri dan Amir Sjarifuddin sebagai menteri penerangan. Pada tahun 1946 ia bekerja di Kementerian Penerangan. Kariernya menanjak setahun kemudian, ketika ia dan dua koleganya diminta oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk menjadi utusan Republik Indonesia dalam kapasitas sebagai observer (pengamat) di markas besar PBB di New York. Di sana ia mempelajari sikap AS dan potensi Indonesia untuk mendapatkan dukungan negara dengan pengaruh besar di PBB itu. Dalam tinjauannya, ia menekankan bahwa RI harus waspada dengan sikap ‘wait and see’ (menunggu perkembangan dan melihat situasi) AS serta kemungkinan sokongan AS pada Belanda (Gouda & Zaalberg, 2007: 255).

Ia berada di Amerika Serikat hingga 1951, dan menjalankan berbagai macam aktivitas, seperti menambah pengetahuan di Harvard Littauer Center dan menjadi penasihat di Kedutaan Besar Indonesia di Washington pada tahun terakhirnya di sana. Ia memutuskan berhenti dari dinas di pemerintahan dan, setelah petualangan dan pencarian pengetahuan politik baik dengan membaca literatur-literatur sejarah dan politik Barat serta dengan perjalanannya selama berbulan-bulan di Eropa Barat dan Eropa Timur, ia kembali ke Indonesia.

Sekembalinya ke Indonesia, ia membangun karier di bidang lain yang juga menjadi minatnya: jurnalisme. Ketertarikannya di bidang pers dan diseminasi informasi sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1946, ketika ia bergabung dalam surat kabar berbahasa Belanda yang diinisiasi Sjahrir, Het Inzicht, dan dalam sebuah surat kabar sosialis, Siasat. Di koran terakhir ini, yang sangat laris di Jakarta di masanya (Mrázek, 1994: 326), ia bekerja sama dengan Rosihan Anwar dan Soedarpo Sastrosatomo. Sepulang dari luar negeri, ia kembali bergabung dengan Siasat, dan beberapa media cetak lainnya, termasuk Pedoman dan Konfrontasi. Sebuah penerbitan dan toko buku bernama Pembangunan turut ia kelola. Penerbit yang aktif mempublikasikan karya sastra ini merupakan salah satu penerbit terkemuka di Indonesia di era 1950-an (Rosidi, 2008: 108)

Kiprah Soedjatmoko di bidang jurnalistik terhenti ketika ia, yang dekat dengan Sjahrir baik secara ideologi maupun lantaran hubungan keluarga–kakaknya, Siti Wahjunah, menikah dengan Sjahrir–menjadi anggota Konstituante dari Partai Sosialis Indonesia selepas Pemilu tahun 1955. Pada tahun yang sama, ia menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika yang digelar di Bandung, Jawa Barat.

Minat Soedjatmoko pada sejarah Indonesia tampak dalam kontribusinya pada pemikiran sejarah di Indonesia pasca kemerdekaan. Soedjatmoko ambil bagian dalam Seminar Sejarah I di Yogyakarta tahun 1957, di mana ia mendukung penulisan sejarah yang bercorak Indonesiasentris. Di samping itu, ia mengeditori sebuah buku yang menjadi salah satu tonggak pemikiran tentang sejarah nasional Indonesia, An Introduction to Indonesian Historiography (1965). Di buku itu, para sejarawan Indonesia dan asing mendiskusikan tentang berbagai aspek sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, termasuk perihal konsep sejarah nasional Indonesia, sumber-sumber sejarah primer, arti penting arkeologi bagi sejarah, dan tradisi sejarah lokal (Soedjatmoko [ed.], 2007).

Ia bersikap kritis pada pemerintahan Sukarno sekaligus memiliki kekhawatiran pada menguatnya peranan kalangan komunis di sekitar sang presiden. Sejumlah peristiwa memberi dampak besar pada dirinya di dekade 1960-an itu, termasuk penahanan dan kematian Sjahrir serta kekerasan politik pada September 1965. Selepas runtuhnya kekuasaan Sukarno, ia kembali ke luar negeri dengan menjalani karier yang beragam, mulai dari di bidang kenegaraan hingga akademik. Pada tahun 1968-1971 ia diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Pemikirannya yang mendalam tentang pembangunan di Indonesia serta cara pandangnya yang global membuatnya mendapat tempat di beberapa yayasan di luar negeri, termasuk Ford dan Hazen Foundation. Apresiasi padanya semakin tinggi dan pada tahun 1980 ia ditunjuk sebagai rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang, posisi yang dipegangnya selama dua periode. Ia berkontribusi besar dalam mengarahkan haluan universitas itu pada eksplorasi terhadap tema-tema yang sangat relevan dengan kebutuhan dunia kala itu, seperti soal manusia, lingkungan, pembangunan dan teknologi. Di samping itu, ia juga berkomitmen dengan riset, sebagaimana tampak dalam pendirian pusat kajian di Finlandia dan Belanda (Kahin & Barnett, 1990).

Terdorong oleh keinginan untuk meninggalkan pekerjaan yang bersifat institusional agar bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca dan menulis, pada tahun 1987 ia kembali ke Indonesia. Ia aktif menjadi pembicara di berbagai seminar dan menuangkan gagasannya dalam tulisan. Soedjatmoko wafat di Yogyakarta pada 21 Desember 1989 dalam usia 67 tahun.

Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Gouda, Frances & Thijs Brocades Zaalberg (2007). Indonesia Merdeka karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949. Jakarta: Serambi.

Kahin, George McT. & Milton L. Barnett (1990). ‘In Memoriam: Soedjatmoko, 1922-1989’, Indonesia, No. 49 (April 1990).

Legge, J.D. (2010 [pertama terbit tahun 1988]). Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupied Jakarta. Singapore: Equinox.

Mrázek, Rudolf (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. New York: Southeast Asia Program, Cornell University.

Nursam, M. (2002). Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rosidi, Ajip (2008). Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Soedjatmoko (ed.) (2007 [terbit pertama tahun 1965]). An Introduction to Indonesian Historiography. Jakarta: Equinox.