Soetomo

From Ensiklopedia
Soetomo. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P09-354

Dokter Soetomo adalah salah seorang pendiri Boedi Oetomo yang menjadi organisasi awal kaum terpelajar yang mewakili kesadaran kebangkitan nasional Indonesia pada awal abad ke-20. Kiprahnya dalam politik pergerakan juga ditunjukkan melalui kepemimpinannya di dalam organisasi partai politik Parindra pada dekade 1930-an. Kehadirannya dalam sejarah telah membuahi embrio atau janin nasionalisme yang masih bersifat kultural-kedaerahan bernama "kebangkitan Jawa" yang terus tumbuh dan bertransformasi menjadi gerakan kebangsaan "kebangkitan Indonesia" yang lebih nyata, sebagai perintis yang berperan dalam proses "pembentukan Indonesia". Hingga hari-hari terakhir hidupnya dia ikut mendorong proses perwujudan cita-cita kebangsaan menuju kemerdekaan sekalipun dia sendiri tidak sempat menyaksikan hasil perjuangannya.  

Nama aslinya Soebroto. Lahir di desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur, pada 30 Juli 1888. Ia berasal dari keluarga priayi menengah Jawa. Ayahnya, Raden Soewardji, seorang Wedana di Maospati, Madiun. Dengan latar belakang itu, setelah menamatkan pendidikan dasar, dia segera dapat memasuki pendidikan dokter di sekolah dokter STOVIA di Jakarta pada tahun 1903. Selama menempuh pendidikan dokter inilah dia dijangkiti demam nasionalisme.

Soetomo muda sering berdiskusi dengan rekan-rekannya sesama calon dokter lain di STOVIA. Yang paling senior dan berpengaruh di antara mereka ialah dr. Wahidin Soedirohoesodo. Pertemuan Soetomo dengan Wahidin telah memberi bobot yang mantap dan meluaskan jangkauan cita-citanya. "Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit," tulis Soetomo mengenang pertemuan itu.

Pada 20 Mei 1908, atas saran Wahidin, Soetomo bersama sejawat-sejawatnya sesama siswa STOVIA yang lain mendirikan Boedi Oetomo. Soetomo sendiri terpilih sebagai ketuanya. Tanggal ini di kemudian masa diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. C.Th. van Deventer, tokoh politik etis yang terkenal, bersorak atas kelahiran itu, "Insulinde, putri cantik yang tidur itu, telah bangkit!" Soetomolah, bersama tokoh-tokoh muda STOVIA lainnya—seperti Goenawan Mangoenkoesoemo, Sukarno, Goembreg, Mohamad Saleh, dan Soelaeman—mendirikan organisasi yang menjadi tonggak kebangkitan nasional Indonesia itu. Dalam menggerakkan Boedi Oetomo, Soetomo dibantu oleh kawan-kawannya yang terbilang cakap dan mempunyai kepedulian yang besar pada nasib pribumi itu. Djajadiningrat menyebutkan, tokoh-tokoh muda STOVIA yang paling banyak jasanya bagi berdirinya Boedi Oetomo, di antaranya, ialah Soetomo (Komandoko, 2008: 10).

Peran Soetomo dalam organisasi para dokter Jawa itu penuh rongrongan orang-orang Belanda maupun dari sesama bangsanya sendiri. Keikutsertaannya dalam Boedi Oetomo membuat dia dianggap berbahaya oleh pemimpin STOVIA, sehingga petinggi sekolah itu berniat hendak mengeluarkannya. Beruntung, seorang dosen STOVIA yang bersimpati pada perjuangannya, dr. H.F. Rool, membelanya di hadapan para pimpinan sekolah dokter itu. Pembelaan Rool menghindarkan Soetomo dari dikeluarkan.

Halangan lainnya ialah keterbatasan kemampuan Soetomo dan siswa-siswa STOVIA lainnya dalam membiayai organisasi itu. Hal ini menyebabkan dalam waktu singkat kepemimpinan Boedi Oetomo jatuh ke tangan para priayi tua yang kolot dan anti pembaharuan. Sementara peran Soetomo semakin dikebiri dan dibatasi dalam pengurusan organisasi. Ketika kongres pertama Boedi Oetomo tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, kepemimpinan organisasi itu secara nyata telah beralih ke tangan kaum tua. Soetomo hanya mendapat peran terbatas sebagai Ketua Boedi Oetomo cabang Jakarta.

Peran yang terbatas itu justru membuat Soetomo dapat lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan studi. Dia menamatkan pendidikannya di STOVIA tahun 1911. Setelah itu dia memulai karier profesionalnya sebagai dokter bumiputra yang mengabdi untuk kesehatan rakyat bangsanya, berpindah dari satu tempat tugas ke tempat tugas yang lain. "Selama delapan tahun berikutnya dia tenggelam dalam kegiatan profesionalnya sebagai dokter," demikian tulis Kaisiepo (2000: 167). Mula-mula dia mendapat tugas di Semarang. Dari sana dia dipindahtugaskan beberapa kali, mula-mula ke Tuban, kemudian ke Lubuk Pakam dan Baturaja di Sumatera, dan akhirnya ke Malang dan Blora.

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id.

Di rumah sakit di Blora, Soetomo menemukan jodohnya, seorang perawat Belanda bernama E. Gurning yang waktu itu berstatus janda. Soetomo menikahinya pada 1917. Sekalipun pernikahan itu ditentang baik oleh keluarga istrinya maupun dari sejawatnya dari kalangan pergerakan yang menganggap tidak pantas seorang kaum pergerakan menikahi perempuan Belanda, tetapi hubungan percintaan itu langgeng dan mendalam, demikian kata Soetomo dalam biografi tentang dirinya.

Namun, seringnya berpindah tempat tugas tidak saja telah memberinya jodoh yang tepat, tetapi juga membuahinya dengan pengalaman yang banyak. Di Malang, misalnya, dia menghadapi wabah pes yang sedang mengganas. Di berbagai tempat lain dia menyaksikan kesengsaraan rakyat secara langsung. Hal itu semakin mengentalkan kesadaran kebangsaan dalam jiwa dan pikirannya. Selama delapan tahun penugasan sebagai dokter di berbagai kota itu, kata Kaisiepo lagi "telah memperlihatkan realitas masyarakat Indonesia yang sesungguhnya" kepada Soetomo.

Pengalaman-pengalaman itu juga telah mengobarkan wawasan dan kesadaran baru kepada Soetomo tentang "kebangkitan Indonesia" menggantikan kesadaran lama yang dulu pernah dipupuk dr. Wahidin terhadapnya tentang cita-cita dan gagasan "kebangkitan Jawa". 

Dalam suasana perubahan wawasan dan kemunculan kesadaran baru itu, Soetomo berangkat ke Negeri Belanda. Pada 1919 dia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mendalami ilmu penyakit kulit dan kelamin di Universitas Amsterdam. Di sana wawasan dan kesadaran baru itu justru semakin menemukan bentuknya, ketika Soetomo aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia bernama Perhimpunan Indonesia, di mana dia didapuk menjadi salah satu ketuanya. Berdiri pada 1908, beberapa saat setelah Boedi Oetomo, organisasi inilah yang untuk pertama kali merumuskan konsepsi nasionalisme Indonesia secara jelas dan rinci yang menjadi acuan bagi berbagai gerakan nasionalis di Indonesia kemudian. Indische Vereeniging, demikian nama Belanda-nya, di saat Soetomo bergabung tengah bertransformasi dari organisasi sosial menjadi organisasi politik yang semakin radikal. Bergabungnya Soetomo ke dalam Perhimpunan Indonesia yang semakin politis dan radikal itu sedikit-banyak telah mempengaruhi karakter perjuangan kebangsaannya.

Roeslan Abdulgani (1974: 8) menyebut watak-pribadi Soetomo disebabkan pengaruh zaman (tijdsgeeest) saat dia tumbuh dan beranjak dewasa. Tiap zaman mempengaruhi tipe generasi yang hidup dalam zaman itu. Zaman yang penuh pergolakan akan melahirkan generasi yang siap ditempa keadaan.

Kembali ke Indonesia pada 1923, Soetomo bertugas sebagai dokter sekaligus dosen di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sekolah untuk pendidikan dokter bumiputra di Surabaya. Namun, perhatiannya tampak tidak lepas dari lapangan pergerakan kebangsaan yang tengah bergejolak masa itu. Perhatiannya tertuju kepada organisasi lamanya yang dulu sempat ditinggalkannya selagi melanjutkan studi ke Belanda. Soetomo, misalnya, mulai melihat berbagai kelemahan dan kekurangan Boedi Oetomo yang terlalu konservatif dan eksklusif. Organisasi itu terlalu berorientasi Jawa dan kurang berorientasi Indonesia. Sehingga, dia menyarankan Boedi Oetomo mengubah diri dari gerakan sosial kaum priayi Jawa yang cenderung tertutup menjadi gerakan politik massa yang keanggotaannya terbuka untuk semua lapisan masyarakat Indonesia.

Tidak terlalu diterima dalam lingkungan Boedi Oetomo yang konservatif, pada tanggal 11 Juli tahun 1924 Soetomo mendirikan Indonesische Studieclub atau Kelompok Studi Indonesia di Surabaya. Kelompok studi yang pertama di Indonesia ini merupakan wadah bagi kaum terpelajar Jawa untuk mengembangkan kesadaran mereka tentang Indonesia sebagai satu bangsa dan memberikan kepemimpinan kepada gerakan kebangsaan. Kelompok ini, kata Kaisiepo, merupakan organisasi orang Jawa di kota-kota yang mendapatkan pendidikan Barat. Kebanyakan dari mereka ialah anggota Boedi Oetomo sebelumnya yang memilih keluar karena menganggap Boedi Oetomo terlalu berorientasi kedaerahan dan kurang berorientasi kebangsaan.

Di bawah kepemimpinan Soetomo, Kelompok Studi Indonesia berhasil mendirikan asrama untuk pelajar, sekolah tenun bagi perempuan, bank kredit dan koperasi untuk para pedagang dan petani, dan sebagainya. Tidak berapa lama setelah terbentuknya Kelompok Studi Indonesia di Surabaya, menyusul Kelompok Studi Umum yang didirikan di Bandung pada 29 November 1925 atas inisiatif mantan anggota Perhimpunan Indonesia lainnya, tokoh-tokoh nasionalis terkemuka seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Sartono, serta seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang kelak menjadi tokoh utama dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, Sukarno. Kelompok Studi Indonesia di Surabaya dan Kelompok Studi Umum di Bandung mencoba mencari peranan politik yang lebih luas. Di tataran anggota dua kelompok ini, ada keinginan yang besar untuk membentuk satu partai nasionalis yang baru. "Langkah-langkah pertama yang disertai keraguan telah menuju persatuan yang luas antara berbagai kelompok," demikian tulis Kaisiepo tentang terbentuknya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung yang lahir atas prakarsa dua kelompok studi tersebut.

Kepemimpinan PNI diserahkan kepada Sukarno, tokoh muda yang sedang naik daun di kalangan masyarakat. Namun, tidak berselang lama, PNI ditekan sedemikian keras oleh pemerintah kolonial Belanda yang semakin represif terhadap berbagai gerakan politik bumiputra. Para pemimpinnya, terutama Sukarno, dipenjarakan. Partai politik ini nyaris tidak berfungsi lagi. Di tengah kondisi vakum politik itu, Soetomo tampil kembali dengan Kelompok Studi Indonesia-nya,  memainkan peran berarti untuk mengisi kekosongan gerakan politik kebangsaan masa itu. Pada tanggal 11 November 1930, Soetomo mengubah Kelompok Studi Indonesia menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Soetomo, PBI berkembang pesat (Panuju, 2002: 34).

Namun pada tahun 1935 pemerintah kolonial Belanda yang semakin represif terhadap setiap gerakan sosial-politik menggabungkan PBI dengan Boedi Oetomo menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Di partai ini Soetomo kembali menjadi tokoh sentral. Di bawah kepemimpinan Soetomo, partai ini kemudian malah menjadi corong perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Partai ini, misalnya, menjadi kelompok Indonesia yang paling berpengaruh di Volksraad (Dewan Rakyat). Meskipun hanya dapat memenuhi sedikit dari kebutuhan Volksraad atau lingkungan politik pada umumnya, kata Kahin. Partai ini jelas telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia dalam bidang-bidang lainnya. Partai ini di antaranya telah membentuk koperasi pengecer dan koperasi petani, serta sebuah bank yang syarat-syarat kreditnya memadai untuk orang Indonesia. Selain itu, partai ini juga menyediakan sarana untuk buruh miskin, suatu program dalam memerangi buta huruf, dan sejumlah kegiatan sosial lain yang bermanfaat.

Peran sentral Soetomo dalam Perindra tidak berlangsung lama. Tiga tahun setelah partai ini berdiri, tepatnya pada 30 Mei 1938, Soetomo meninggal di Surabaya karena kesehatannya yang semakin melemah. Pada 1961, negara mengangkat dr. Soetomo menjadi Pahlawan Kemerdekaan.

Penulis: Dedi Arsa
Instansi: IAIN Bukittinggi
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Abdulgani, Roeslan (1974), Almarhum Dr. Soetomo yang Saya Kenal, Jakarta: Idayu, 1974.

Kaisiepo, Manuel (2000), “Wahidin Sudirohusodo dan Soetomo: Dari Kebangkitan Jawa ke Kebangkitan Nasional”, dalam J. Kristanto (editor), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Komandoko, Gamal (2008), Boedi Oetomo, Yogyakarta: Pressindo.

Kristanto J. (editor) (2000), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Panuju, Redi (2002), Dr. Soetomo Pahlawan Bangsaku, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.