Sri Sultan Hamengkubuwana IX

From Ensiklopedia
Sri Sultan Hamengkubuwana IX - Visualisasi Hasil Pembangunan Orde Baru Pelita I-Pelita II-Pelita III


Sabtu Pahing, 12 April 1912, seorang anak lahir dari rahim Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom, yang kemudian menjadi seorang tokoh paling penting bagi Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Purubaya, seorang pangeran kemudian menjadi penguasa Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana VIII. Dorodjatun, nama Sri Sultan Hamengkubuwana IX saat masih kecil, sejak dini memang diperkirakan menjadi pewaris sang ayahanda. Oleh sebab itu, sang ayahanda mempersiapkan pendidikan terbaik bagi putranya itu (Mochtar 2011: 7–8).

Dalam pemikiran ayahnya, pendidikan Eropa bakal memberi kebijaksanaan bagi Dorodjatun saat berhubungan dengan Belanda dan dunia internasional. Pendidikan Eropa dianggap sebagai simbol modernitas yang bakal membawa kemajuan bagi kerajaan. Oleh sebab itu, Pangeran Adipati Anom mengirim Dorodjatun yang masih berusia empat tahun ke sebuah keluarga Belanda (Ma’as & Yuliati 2020: 147). Mengirim anak ke keluarga lain yang terpandang guna belajar tentang kehidupan adalah bagian dari tradisi priayi Jawa.

Pangeran Adipati Anom memilih keluarga Mulder, kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School (NHJJS) sebagai tempat pengasuhan Dorodjatun. Pada keluarga Belanda inilah Dorodjatun menyerap kebudayaan Eropa dan kedisiplinan. Meskipun Dorodjatun adalah seorang pangeran, ia tidak mendapatkan keistimewaan dalam keluarga Belanda. Ia juga tidak dilayani oleh abdi dalem atau punakawan satu pun. Ia hanya dilayani oleh pembantu keluarga Mulder.

Dalam keluarga Mulder, Dorodjatun dipanggil dengan nama Henkie yang berarti Henk yang bertubuh kecil. Panggilan Henk diambil dari nama Hendrik, suami Ratu Wilhelmina (Mochtar 2011: 13; Jawa Pos, 15 April 1982). Sejak berusia empat tahun, Henkie sudah diajak berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Ia lancar berbicara Belanda tanpa aksen Jawa, bahkan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer mengakui kemampuan komunikasinya. Kemampuan berbahasa Belandanya meningkat pesat kala Henkie disekolahkan ke  Eropa.

Henkie disekolahkan ke Frobel (Taman Kanak-kanak) yang dikelola Juffrouw Willer di Bintaran Kidul, Yogyakarta. Setelah berusia enam tahun, ia disekolahkan ke Eerste Europeesche Lagere School B (Sekolah Ngidul Ngloji), sebuah sekolah elit Eropa yang terletak di Kampemenstraat (Secodiningratan). Selanjutnya, ia melanjutkan sekolah ke Neutrale Europeesche Lagere School di Pakemweg (saat ini Jalan Kaliurang). Tidak beberapa lama, ia pindah ke keluarga Belanda lainnya, yaitu keluarga Cock. Sebagai siswa, ia aktif dalam kegiatan sekolah. Ia pernah mengikuti klub kepanduan, Nederlandsch Indische Padvinders Club (NIPV). Selain itu, Henkie memiliki beberapa hobi, yaitu memasak dan bermain sepak bola.

Ketika itu, sang ayahanda dinobatkan sebagai raja bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Wolu ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Henkie tetap tidak mendapat perlakuan khusus. Ia sering sekali dihukum oleh guru akibat gemar berkelahi. Di sekolah itu ia berkawan dengan Mozes (dikenal sebagai Sultan Hamid II).

Pada 1925, Henkie melanjutkan studi ke Hoogere Burger School (HBS) Semarang. Ia dititipkan ke keluarga Voskuil, seorang kepala penjara Mlaten, Semarang. Namun, Henkie tidak lama di Semarang karena sering sakit-sakitan. Akhirnya, ia pindah ke HBS Bandung yang lebih sejuk. Keluarga De Boer menjadi pilihan selama tinggal di Bandung. Pada 1930, Henkie diperintahkan untuk bersekolah ke Belanda oleh sang ayahanda. Ia menempuh pendidikan di sekolah Gymnasium yang terletak di Haarlem, Belanda. Di sana, ia tinggal di rumah keluarga Ir. W.C.G.H. Mourik Broekman, direktur sekolah tersebut. Pada 1934, Henkie berhasil lulus dari sekolah tersebut.

Selepas itu, Henkie melanjutkan studinya di Rijksuniversiteit Leiden, Belanda. Tidak main-main, kampusnya adalah perguruan tertua dan terkemuka di Belanda. Ia mengambil jurusan Indologi. Selama studi, ia aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Ia tercatat pernah menjadi anggota Leidse Studentencorps. Bahkan, ia pernah menjadi ketua Verenigde Faculteiten. Dalam organisasi Minerva, ia pernah menjadi komisaris. Ia rajin mengikuti berbagai kegiatan diskusi kampus. Sebagai seorang anak Sultan, gerak-geriknya diawasi oleh intelijen Belanda. Buktinya, ia pernah dipanggil oleh Kementerian Urusan Jajahan (Ministerie van Koloniën) setelah menghadiri rapat Nationaal Socialistische Beweging (Gerakan Nasionalis-Sosialis) (Mochtar 2011: 19–20).

Pada 1939, Perang Dunia II mengancam kedamaian langit Eropa. Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pun khawatir memikirkan keadaan anak-anaknya yang ada di Eropa. Barangkali sang ayahanda telah memiliki firasat jika ajalnya sudah dekat sehingga khawatir tidak dapat melihat wajah putranya sendiri. Telegram segera dikirimkan ke Belanda. Sang ayahanda memanggil pulang seluruh anak-anaknya untuk kembali ke Yogyakarta. Oleh karena kondisi perang, semua kapal penumpang enggan berlayar sehingga para pejabat Belanda yang membantu kepulangan anak-anak Sultan kesulitan mencari kapal. Pada waktu itu, hanya ada kapal pengangkut barang yang berlayar ke Hindia Belanda. Itu pun hanya ada satu tempat kosong. Dorodjatun alias Henkie dipilih untuk berlayar terlebih dulu, sementara keempat anak Sultan lainnya bakal menyusul. Kapal itu berusaha untuk menghindari zona perang sehingga rute yang digunakan lebih jauh daripada rute yang biasa dilalui.

Sebenarnya, Dorodjatun merasa enggan pulang mengingat  studinya belum tuntas di Belanda. Namun ia juga memahami perasaan khawatir keluarganya di Yogyakarta. Apalagi, ia mendengar kondisi kesehatan sang ayahanda yang menurun. Dorodjatun berpikir masih bisa menyelesaikan studinya di lain waktu.

Setibanya di Batavia, Dorodjatun alias Henkie kaget bukan kepalang. Ia segera mendapat culture shock (gegar budaya). Terlalu lama tinggal bersama keluarga Eropa yang egaliter membuatnya kaget karena mendapat perlakuan khusus dari para abdi dalem Kesultanan Yogyakarta. Semua yang ada di pelabuhan menghaturkan sembah, menghormat, dan menyambutnya dengan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil. Rombongan segera menuju ke Hotel Des Indes, hotel termewah se-Hindia Belanda. Di sana, Sri Sultan, sang ayahanda sudah menunggu dengan hati gembira.

Namun, mereka tidak sempat melepas rindu. Acara kenegaraan padat menanti. Sri Sultan mesti menghadiri berbagai pertemuan, salah satunya menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Anggur, Champagne, nyamikan manis, dan beragam makanan berlemak dihidangkan. Konsumsi minuman dan makanan tidak sehat memengaruhi kesehatan Sri Sultan. Dalam perjalanan dari Batavia ke Yogyakarta, Sri Sultan mendadak pingsan. Setibanya di Yogyakarta, Sri Sultan sudah dalam keadaan koma. Akhirnya, Sri Sultan Hamengkubuwana VIII berpulang dengan tenang pada 22 Oktober 1939 (Mochtar 2011: 42–47).

Pemerintah Hindia Belanda segera membentuk suatu panitia yang diketuai oleh GRM. Dorodjatun. Sebagai ketua panitia pemerintahan sementara, Dorodjatun segera mengumpulkan seluruh keluarga yang memiliki kesempatan untuk menjadi sultan. Dalam kesempatan itu, seluruh anggota keluarga mendukung Dorodjatun untuk menjadi sultan. Sebagai calon raja, GRM. Dorodjatun sangat memahami politik kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda ingin mengontrol Kesultanan Yogyakarta secara penuh. Namun, GRM. Dorodjatun berpendirian teguh demi menjaga martabat warisan leluhur.

Pembicaraan kontrak politik antara Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Hindia Belanda pun berlangsung alot (Kasenda 2016: 156). GRM. Dorodjatun menolak tunduk dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Masalah kedudukan Pepatih Dalem menjadi topik panas antara Dorodjatun dengan Lucien Adam (Iswantoro 2019: 159). Meskipun masih muda, Dorodjatun mampu mengimbangi Adam yang berpengalaman dalam negosiasi.

Akhirnya, Dorodjatun menandatangani kontrak politik dengan Pemerintah Hindia dengan prediksi bahwa Belanda bakal angkat kaki dari bumi Nusantara. Seminggu setelah penandatanganan kontrak politik, GRM. Dorodjatun dinobatkan sebagai putra mahkota bergelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Lima menit kemudian putra mahkota dinobatkan sebagai raja bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping Sanga. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada Senin Pon tanggal 8 Bulan Sapar Tahun 1871 atau 18 Maret 1940.

Gambar 1: Penobatan Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Sumber: Koleksi KITLV


Dalam upacara penobatan, ada peristiwa yang menarik. Dua tamu undangan wartawan bumiputra duduk sejajar dengan tamu undangan pemerintah kolonial (Iswantoro 2019: 160). Sri Sultan Hamengkubuwana (HB) IX benar-benar menerapkan budaya egaliter di keraton. Belanda merasa seolah-olah telah berhasil menundukkan Sultan, tetapi kenyataan berkata lain. Akhirnya Belanda harus menyerah terhadap Pemerintah Militer Jepang. Prediksi Sri Sultan terbukti tepat.

Ketika Jepang memasuki Hindia Belanda, Sri Sultan sempat diajak untuk mengungsi ke Australia oleh pemerintah kolonial. Namun, ia menolak ajakan tersebut (Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX Peringatan 40 Tahun 18 Maret 1940-18 Maret 1980, 1980: 20). Ketika Pemerintah Militer Jepang menduduki Yogyakarta, Sri Sultan berupaya untuk mengadakan negosiasi. Sri Sultan diberi kewenangan untuk mengatur wilayah kekuasaannya di bawah pengawasan Pemerintah Militer Jepang. Selama masa pendudukan Jepang, Sri Sultan melakukan reorganisasi dan restrukturisasi birokrasi (Darban et al. 1998: 20–22). Selain itu, ia berusaha untuk membangun siasat agar rakyat Yogyakarta selamat dari penindasan Jepang. Salah satunya adalah meminta bantuan pendanaan dari Jepang untuk membangun saluran irigasi karena Yogyakarta adalah wilayah yang kurang subur. Saluran irigasi tersebut kemudian dikenal sebagai Selokan Mataram (Darban et al. 1998: 26–27).

Pada 17 Agustus 1945, Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, disusul esok harinya pelantikan Sukarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sebagai negara yang baru berdiri, Indonesia membutuhkan pengakuan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Kesultanan Yogyakarta dengan segera mengakui kemerdekaan Indonesia. Sri Sultan HB IX mengucapkan selamat melalui surat kawat yang dikirimkan kepada Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, dan dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat pada 18 Agustus 1945.

Pada 20 Agustus 1945, Sri Sultan mengirimkan surat kawat lagi kepada Presiden dan Wakil Presiden. Kali ini ia berkirim pesan dalam kapasitasnya selaku Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta. Pada 5 September 1945, Sri Sultan mengeluarkan amanat yang mengakui Yogyakarta sebagai daerah istimewa dari Republik Indonesia. Segala urusan pemerintahan (Yogyakarta) berada di tangan HB IX. Sultan bertanggung jawab terhadap presiden secara langsung (Iswantoro 2019: 174–176).

Setelah mengakui kemerdekaan Indonesia, Sultan memperbarui sistem pemerintahannya. Kekuasaan elit istana disesuaikan dengan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Pemerintah Republik (Ricklefs 2010: 443). Meskipun mengakui otoritas Pemerintah Republik Indonesia, kekuasaan Sultan Hamengkubuwana IX sebagai penguasa Yogyakarta tidak berkurang. Kekuasaan internal Yogyakarta masih di bawah pengaruhnya, sedangkan masalah nasional diserahkan kepada Pemerintah Republik. Sultan HB IX tetaplah seorang raja, namun berada di bawah Presiden Republik Indonesia (Woodward 2011: 1–2).

Gagasan Sultan Hamengkubuwana IX untuk meleburkan diri ke dalam Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua konsep utama  kepemimpinannya, yaitu konsep kekuasaan raja dan konsep kehendak rakyat (Wardani 2012: 56–57). Penyerahan mandat kekuasaan ke Pemerintah Republik bukannya mengurangi otoritas Sri Sultan, tetapi justru memperkuat kedudukan Sultan HB IX sebagai salah satu elit nasional. Ia diangkat sebagai Menteri Negara pada 1946 dalam Kabinet Sjahrir III. Sri Sultan  IX tetap mempertahankan statusnya sebagai elit nasional di antara elit nasional dari kalangan bawah yang lahir dari pendidikan Eropa (Vickers 2005: 116).

Sultan Hamengkubuwana IX memang piawai dalam membaca kondisi politik. Hal ini terlihat ketika Indonesia mengalami masa-masa genting selama periode revolusi. Kondisi Republik Indonesia sudah di ujung tanduk. Pusat pemerintahan hampir jatuh ke tangan sekutu. Untuk mengatasi permasalahan ini, Sri Sultan dituntut berpikir cepat. Ia segera menghubungi pemerintah pusat dan menawarkan perlindungan. Yogyakarta pun menjadi ibukota Republik Indonesia (Ricklefs 2010: 443).

Lebih dari itu, Sultan Hamengkubuwana IX menjadikan Yogyakarta sebagai basis perlawanan terhadap Belanda. Ia sudah memikirkan untuk membuat serangan umum kepada pasukan Belanda yang menduduki Yogyakarta. Apalagi setelah Sri Sultan mendengar berita radio tentang delegasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berada di Yogyakarta. Ia ingin membuktikan kebohongan propaganda Belanda kepada para delegasi PBB yang ada di Yogyakarta. Ide tentang serangan umum pun disampaikan kepada Panglima Jendral Sudirman melalui surat rahasia. Jenderal Sudirman memberikan dukungannya. Lantas, Sudirman memberikan saran agar Sultan menghubungi Letkol Soeharto, komandan perang di Yogyakarta (Kasenda 2016: 155).

Pada 13 Februari 1949, Sri Sultan menanyakan kesanggupan Letkol Soeharto untuk mempersiapkan dan memimpin serangan umum yang sudah kian dekat. Tepat pada 1 Maret 1949, Yogyakarta dikepung oleh pasukan Republik. Yogyakarta berhasil dikuasai selama enam jam. Cukup untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis, meskipun para pemimpinnya ditangkap Belanda. Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Belanda mengajak Sri Sultan untuk berunding. Dengan sedakep, Sri Sultan tidak memedulikan ancaman Jenderal Meyer. Belanda pun gagal menundukkan Sri Sultan (Mochtar 2011: 79–84).

Pada Juli 1949, Belanda menyetujui untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar. Pemerintah Republik menunjuk Sultan Hamengkubuwana IX sebagai wakil Indonesia untuk penandatanganan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 di Jakarta. Sukarno semakin memercayai Sultan Hamengkubuwana IX (Notosusanto 1993: 112–113). Ia diangkat sebagai Menteri Negara hingga Agustus 1949. Setelah itu, Sri Sultan dipercaya sebagai Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri sejak Agustus 1949 hingga Desember 1949. Pada masa Republik Indonesia Serikat, Sri Sultan menjabat sebagai Menteri Pertahanan hingga 1950. Setelah itu, ia diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Natsir 1950-1951). Sri Sultan juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Wilopo (1952-1953), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (1959), Menteri Koordinator Pembangunan (1966), Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (1966), dan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968). Oleh karena dedikasinya dalam Pramuka, pada 1973 Sri Sultan mendapatkan penghargaan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) atau Organisasi Kepanduan Internasional (Darban et al. 1998: 78–79).

Medio 1960-an adalah masa transisi dalam pemerintahan Presiden Sukarno yang digantikan oleh masa Orde Baru. Pemerintahan Presiden Sukarno dipandang oleh Hamengkubuwana IX telah membawa beban berat pada sektor ekonomi. Anggaran negara mengalami defisit, harga kebutuhan melambung, dan inflasi tinggi. Kondisi semacam itu, dalam pandangan Sultan HB IX, harus segera dilakukan koreksi dan  berbagai tindakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Sultan HB IX dan Adam Malik akhirnya ditunjuk oleh Jenderal Soeharto untuk menjadi presidium kabinet (Muhaimin 1991: 51).

Presiden Soeharto membutuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX untuk mendapat kepercayaan dari rakyat di Jawa. Sri Sultan memiliki karisma yang besar di kalangan rakyat Jawa. Soeharto menaruh hormat besar terhadap Sri Sultan yang dianggap memiliki legitimasi gaib seperti raja-raja Jawa pada umumnya (Ricklefs 2010: 563). Kedekatan Soeharto dengan Sri Sultan terus melekat dan Sri Sultan masuk pada pusaran kekuasaan Soeharto.

Gambar 2: Sri Sultan HB IX tertawa saat menjadi juru kampanye Golkar tahun 1971. Sumber: Arsip Daerah Yogyakarta

Sri Sultan HB IX selain dikagumi secara magis, juga dipercaya sebagai salah satu pilar perbaikan ekonomi negara, keuangan dan pembangunan (Ricklefs 2010: 269–270). Kondisi perekonomian pada akhir masa pemerintahan Presiden Sukarno dalam kondisi lemah. Tugas Sri Sultan Hamengkubuwana untuk memperbaiki kondisi ekonomi cukup berat. Sri Sultan juga ditunjuk untuk mengurusi masalah ganti rugi aset perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Sri Sultan Hamengkubuwana IX pergi ke Den Haag pada tanggal 5-7 September 1966. Ia bertemu dengan Menteri Luns untuk membahas perjanjian ganti rugi nasionalisasi tahap akhir (Jong & Sutterland 2004: 20–23).

Langkah yang dilakukan oleh Sultan HB IX selama menjalankan perintah dari Ketua Presidium Soeharto antara lain merundingkan kembali utang luar negeri dengan para pemberi utang dan juga menanggulangi inflasi dan yang terakhir meminta suntikan dana dari para pemodal asing (Muhaimin 1991: 57). Keberhasilan Sri Sultan HB IX untuk memperbaiki perekonomian dan pembangunan membawanya pada jabatan yang lebih tinggi. Pada 1973, Sri Sultan diangkat sebagai wakil presiden hingga 1978 (Ricklefs 2010: 586).

Pada 1978, Sri Sultan pecah kongsi dengan Presiden Soeharto. Meskipun memendam kekecewaan, Sri Sultan tetap menghormati Presiden Soeharto. Ia mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden dengan alasan kesehatan, padahal penyebabnya adalah ketidaksesuaian prinsip dengan Presiden Soeharto. Sri Sultan memilih diam dan menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan sebagai pemimpin tertinggi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Usia tujuh puluh tahun tidak membuat Hamengkubuwana IX letih. Ia tetap aktif melakukan berbagai macam kegiatan. Sri Sultan masih aktif dalam gerakan kepanduan. Pada Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka 1988, Sri Sultan didaulat sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Lebih lanjut, pada bidang pramuka Sri Sultan HB IX mendapatkan gelar sebagai Bapak Pandu dan Bapak Pandu Agung (Kedaulatan Rakyat, 1989; Lutfiasin 2021 : 48).

Selain gerakan Pramuka, penggemar fotografi itu juga aktif membina kegiatan olahraga di Indonesia. Ia menaruh perhatian besar untuk meningkatkan prestasi Indonesia di kancah internasional. (Mochtar 2011: 136; Widyastama 2017: 34–35). Selain itu, Sri Sultan aktif dalam berbagai kegiatan budaya. Pada 14 September 1988, Sri Sultan berangkat menuju Jepang dan Amerika Serikat untuk misi kesenian meskipun kesehatannya kurang mendukung (Soebendo 1989: 19–20).

Tidak lama setelah kepulangannya ke Indonesia, sang raja dari tiga zaman berpulang ke haribaan Tuhan pada tanggal 2 Oktober 1988. Ngarsodalem meninggal secara tiba-tiba. Sontak kabar duka dengan cepat menyebar dan membawa duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Mantan wakil presiden yang telah menyelamatkan Indonesia pada masa krisis militer dan ekonomi telah meninggal dunia (Soemardjan 1989: 115)

Penulis: Waskito Widi Wardojo
Instansi: Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNS Surakarta
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Daliman, A. (2001). Makna Simbolik Nilai-Nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis dan Etismologis. Humaniora, XIII(1).

Darban, A. A., Sutjiatiningsih, S., Nurcahyo, A. L., Setyawati, N., & Nurdiyanto. (1998). Biografi Pahlawan Nasional Sultan Hamengku Buwana IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Iswantoro. (2019). Peranan Sultan Hamengku Buwono IX dalam Menegakkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2).

Jawa Pos. (1982, April 15). Masa Kecil Sri Sultan Menurut Tahta untuk Rakyat.

JJP de Jong. Mw DME  Lessing-Sutherland, 2004.  To Forget The Past in Favour of a Promise For The future, Nederland, Indonesie, en de Financiele overeenkomst van 1966. Onderhandelingen, Regeling, Uitvoering, Den Haag, Ministerie van Buitenlands Zaken.

Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX Peringatan 40 Tahun 18 Maret 1940-18 Maret 1980 (1980).

Kasenda, P. (2016). Manusia dalam Pusaran Sejarah (Beranda). Malang.

Kedaulatan Rakyat. (1989, Maret 22). Tari Ciptaan HB IX Akhirnya Manggung, hal. 2.

Kedaulatan Rakyat. (1989, Maret 23). Sebagai Pramuka, HB IX Tidur di Tikar, Antre Mandi, hal. 1.

Ma’as, A. A., & Yuliati, D. (2020). Diplomasi Kebudayaan antara Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Kolonial Belanda pada Masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII, 1921-1939. Historiografi, 1(2), 143–152.

Mochtar, K. (2011). Pak Sultan dari Masa ke Masa. In M. Roem, M. Lubis, K. Mochtar, & S. Maimoen (Ed.), Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mochtar, K. (2011). Pak Sultan dari Masa ke Masa. In M. Roem, M. Lubis, K. Mochtar, & S. Maimoen (Eds.), Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Muhaimin, Y. A. (1991). Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES.

Notosusanto, N. (Ed.). (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI Republik Indonesia: Dari Proklamasi sampai Demokrasi Terpimpin. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Parera, F. M. (1991). Ketokohan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Prisma.

Ricklefs, M. C. (2010). Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Soebendo, B. (1989). Sri Sultan telah Tiada. In Rekaman Peristiwa ’88. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soemardjan, S. (1989). In Memoriam: Hamengkubuwono IX, Sultan of Yogyakarta, 1912-1988. Indonesia, April(47).

Vickers, A. (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press.

Wardani. (2012). Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural Sultan Hamengku Buwana IX. Masyarkaat, Kebudayaan dan Politik, 25(1).

Woodward, M. (2011). Muslims in Global Societies Series Volume 3: Java,Indonesia and Islam. New York: Springer.

Yudha Minggu. (1989, April 16). Tari Golek Menak Warisan Agung HB IX.