Sumatera Thawalib
Sumatera Thawalib atau Para Pelajar Sumatera merupakan organisasi masyarakat (ormas) di bidang pendidikan Islam yang berdiri pada tahun 1919 oleh sejumlah ulama kaum muda Sumatera Barat. Cikal bakal perhimpunan ini berasal dari dua surau, yakni Surau Jembatan Besi dan Surau Parabek. Kedua surau tersebut memiliki perkumpulan murid yang dinamai dengan nama yang sama, yaitu Sumatera Thawalib.
Surau Jembatan Besi terletak di Padang Panjang dengan dipimpin oleh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan Haji Rasul. Surau yang dikelola oleh ayah Hamka ini didirikan pada tahun 1918 dengan tujuan untuk saling membantu dalam kondisi sosial yang sulit (Bulmberger 1931: 99). Surau Jembatan Besi menawarkan pendidikan modern berjenjang. Para santri didorong melakukan diskusi sampai akhirnya membentuk sebuah organisasi keilmuan.
Surau Parabek dipimpin oleh Syekh Ibrahim Musa. Terletak di Bukit Tinggi, Surau Parabek didirikan pada 1918 setelah beliau pulang dari Mekkah. Di surau ini, para santri juga memiliki wadah dalam bidang keilmuan sebagaimana terdapat di surau Jembatan Besi. Kedua organisasi tersebut kemudian bertemu dan bersepakat untuk membentuk organisasi gabungan dengan nama Sumatera Thawalib (Burhanuddin 2017: 397-398).
Sumatera Thawalib terus berkembang di beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Padang Panjang, Parabek, dan Padang Djopang. Masing-masing wilayah melayani kurang lebih 800 pelajar, 1.000 pelajar, dan 600 pelajar dari seluruh pelosok Sumatera (Bloembergen, 2011: 180).
Para siswa yang belajar di Sumatera Thawalib diwajibkan untuk mengenakan ‘pakaian pintar’, yang mirip dengan pakaian barat meliputi celana panjang, dasi, sepatu, dan kacamata. Kurikulum yang dipakai santri adalah buku-buku yang berasal dari Mesir. Penggunaan sumber tersebut ternyata menuai kontra dari sejumlah kalangan, menganggap Sumatera Thawalib cenderung eksklusif dan menentang adat Minangkabau serta menjadi kekhawatiran kaum tua.
Pada 1923 Dt. Batuah datang dari Jawa membawa paham komunisme pada lembaga ini sehingga Sumatera Thawalib tidak hanya fokus pada Pendidikan agama tapi ikut bergerak dalam bidang politik (Seno 2010: 64). Pasca masuknya paham komunis, berbagai kegiatan yang dilakukan Sumatera Thawalib selalu dicurigai Pemerintah. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa Sumatera Thawalib telah mendukung gerakan komunisme (Kahin 1984: 41). Merespon kecurigaan ini Pemerintah menutup kantin Thawalib Padang Panjang karena dianggap sebagai sarang komunis terselubung.
Isu masuknya komunisme menjadi perhatian khusus bagi ulama dan guru di Sumatera Thawalib, hingga akhirnya diadakan kongres yang bertujuan untuk mengekspresikan nasionalisme anggotanya. Kongres digelar pada Mei 1929 di Batu Sangkar dan menghasilkan beberapa keputusan. Pertama, usulan untuk mengubah nama menjadi Indonesia Thawalib. Kedua, adanya hari libur khusus untuk memperingati wafatnya pahlawan nasional. Ketiga, merancang pendidikan dengan standar dan kurikulum yang terpadu. Keempat, kelas tidak lagi terbatas pada pengajaran agama berdasarkan prinsip-prinsip ortodoks, melainkan diperluas dengan materi umum mencakup pelajaran ekonomi, politik, pertanian, pembukuan, pengetahuan tentang hukum, dan sebagainya (Bloembergen 2011: 181).
Pada tahun 1932, Sumatera Thawalib direorganisasi dengan nama baru yakni Persatuan Muslim Indonesia (PMI/Permi). Permi menuntut lebih banyak suara dalam manajemen dan pemerintah sekolah Thawalib. Sebagian besar sekolah Thawalib berafiliasi dengan gerakan baru, sementara beberapa cabang Permi mendirikan sekolah mereka sendiri (Bloembergen 2011: 182). Meski demikian, Sumatera Thawalib sebagai lembaga pendidikan masih terus berjalan bahkan guru-gurunya menjadi basis pertama yang menyebarkan pengaruh Permi (Martamin 1977: 69).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Blumberger, J.TH. Peterus. (1931). De Nationalistische Beweging in Nederlandsche-Indie. Haarlem : H. D. TjeenkWillink
Seno. (2010). “Peran "Kaum Mudo'' Dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau 1803-1942”. BPNST Padang Press: Padang.
Basri, Khairul Asdiq Bin. (2014). “Sheikh Ibrahim Musa Parabek (1884-1963) : A Critical Study of His Contributions To Da'wah and Education in Minangkabau”. International Islamic University Malaysia: Malaysia.
Mawangir, Muhammad. (2015). “Modernization Of Islamic “Surau” Traditional Education In West Sumatra, Indonesia”. Journal Of Islamic Studies and Culture. Vol. 3, No. 2, pp. 28-38.
Bloembergen, Marieke.( 2011). “The Perfect Policeman: Colonial”. Indonesia, (91), 165.
Kahin, A. R. (1984). “Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in West Sumatra in the 1930s”. Indonesia, 38, 39.
Satria, Rangga. (2016). Transformasi Pendidikan Islam di Minangkabau Abad 20 Pergumulan Islam dan Modernitas. Sakata Cendikia.
Burhanuddin, Jajat. (2017). Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Prenada Media.
Martamin, Mardjani. (1977). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta