Suryomentaram
Dilahirkan di Yogyakarta pada 20 Mei 1892, Ki Ageng Suryomentaram merupakan anak ke-55 dari 79 putra dan putri Sultan Hamengkuwono VII. Ibunya adalah seorang selir kerajaan bernama Bendoro Raden Ayu (BRA) Retnomandoyo yang merupakan anak dari Patih Danureja VI atau Pangeran Cakraningrat. Sebelum mendapatkan gelar Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram, nama kecilnya adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji (Adimassana, 1986: 23). Nama Ki Ageng Suryomentaram sendiri diberikan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai penghormatan atas kontribusinya dalam mendidik orang-orang dewasa di Taman Siswa (Suryomentaram & Suastika, 1986: 191-192). Suryomentaram memang dikenal sebagai pemuka kebatinan Jawa yang sederhana dengan ajaran-ajarannya yang terkenal mengenai Kawruh Bejo (Ilmu Kebahagian) atau Kawruh Jiwa. Hingga saat ini, ajaran-ajaran tersebut masih diterapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ia mengenyam pendidikan dasarnya melalui sekolah di dalam keraton yang bernama Srimanganti. Setelahnya, ia mendapatkan kursus untuk bangsawan dalam Klein Ambtenaar. Sedangkan, pendidikan keagamaan didapatnya dari KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Setelah lulus dari pendidikannya, ia bekerja di Karesidenan Yogyakarta. Ia gemar membaca buku-buku filsafat, sejarah, psikologi, dan agama. Namun, ia merasa tidak puas pada kehidupanya dan merasa terkungkung di lingkungan istana. Tak banyak mengetahui mengenai keadaan di luar lingkungan keraton. Hal inilah yang menyebabkannya memutuskan untuk mengembara keluar dari istana.
Suryoementaram pun meninggalkan istana dengan menyamar sebagai seorang pedagang batik dan ikat pinggang (stagen) ke Cilacap bernama Notodongso. Sultan yang akhirnya mendengar kepergian Suryomentaram ini kemudian memerintahkan KRT. Wiryodirjo dan RL. Mangkudigdoyo untuk mencari pangeran itu. Mereka menemukan Suryomentaram di Kroya yang sedang bekerja sebagai seorang penggali sumur. Keduanya pun membawa Suryomentaram kembali ke Yogyakarta (Sarwiyono, 2007: 5).
Ketidakpuasan Suryomentaram semakin menjadi. Selain gelar sebagai pangeran, menurutnya, semua harta benda menyebabkan ketidakpuasan. Ia pun menjual semua harta bendanya dan hidup secara sederhana sebagaimana rakyat jelata pada umumnya. Ia mencoba pamit meninggalkan keraton lagi, tapi Sultan Hamengkubuwono VII tidak mengizinkannya. Bahkan, hingga sang sultan wafat di tahun 1921. Penggantinya, Hamengkubuwono VIII mengizinkannya untuk meninggalkan istana dan memberinya gaji sebesar 75 gulden sebulan sebagai penghormatan. Gaji tersebut diterimanya. Namun, pada saat Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar 333,50 gulden sebulan, ia menolak uang pensiun tersebut secara halus (Suryomentaram & Suastika, 1986:191).
Dengan senang hati ia meninggalkan istana dan membangun sebuah rumah di desa Bringin, Salatiga. Di sanalah ia hidup sebagai petani dengan panggilan Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Namun, tinggal di desa tidak serta merta memisahkan dirinya dari kehidupan intelektual. Ia dan para bangsawan lainnya, seperti Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara, mengadakan Sarasehan Selasa Kliwon secara rutin. Topik-topik yang dibahas pun beragam mulai dari pemikiran-pemikiran Jawa hingga kondisi politik internasional terkini, seperti masalah Perang Dunia I dan dampaknya terhadap Hindia Belanda. Dari diskusi-diskusi tersebut disepakatilah bahwa perlu sebuah lembaga pendidikan yang menanamkan rasa kebangsaan bagi rakyat Hindia Belanda. Inilah yang mendasari lahirnya Taman Siswa pada tahun 1922, sebuah sekolah yang kental nuansa kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia (Suryomentaram & Suastika, 1986: 191-192). Di sarasehan Selasa Kliwon itulah, ia diberikan nama sebagai Ki Ageng Suryomentaram.
Saat Hindia Belanda menjelang perang dengan Jepang, Suryomentaram bergabung dengan dua belas tokoh lainnya dalam Manggala Tiga Belas yang mendiskusikan perlu atau tidaknya kaum Bumiputera ambil bagian dalam perang yang akan terjadi. Pada akhirnya, tentara Jepang pun berhasil menguasai Indonesia tanpa perlawanan yang berarti dari Pemerintah Hindia Belanda. Suryomentaram bersama panitia kecil yang disebutnya Manggala Sembilan, kemudian menyurati Pemerintah Militer Jepang agar diberi wewenang untuk membentuk pasukan paramiliter sendiri. Pemerintah Militer Jepang pun memperbolehkannya membentuk barisan tentara sendiri. Kelak pada masa Revolusi Kemerdekaan, barisan yang dibentuk ini dikenal sebagai Pasukan Jelata, yang beroperasi di sekitar Wonosegoro, Boyolali. Suryomentaram dan pasukannya turut serta dalam perang gerilya hingga Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949 (El-Ashiy, 1971: 32-33).
Setelah kemerdekaan, Suryomentaram yang memang tidak menyukai politik memilih untuk menjadi seorang yang makin mendalami ilmu kebatinan atau ilmu jiwa. Ia makin aktif berceramah mengenai Kawruh Jiwa ke beragam komunitas yang ada di Pulau Jawa. Hal inilah yang menyebabkan Presiden Sukarno mengundangnya ke Istana Negara tahun 1957. Presiden meminta nasihat dan pendapat bagaimana seharusnya ia menjalankan Pemerintahannya. Kesederhanaan Suryomentaram ditunjukkannya saat menemui Presiden dengan baju yang sangat seadanya.
Pada awal-awal tahun 1960-an, kondisi kesehatan Suryomentaram tidak begitu baik. Ini menyebabkannya beberapa kali di rawat di Rumah Sakit. Pada tanggal 18 Maret 1962, Ki Ageng Suryomentaram pun wafat sebagai seorang rakyat biasa yang menamatkan pencariannya akan kebahagiaan jiwa manusia (El-Ashiy, 1971: 36-37).
Penulis: Haryo Mojopahit
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Adimassana, J.B. (1986). Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
El-Ashiy, Abdurrahman. (1971). Makrifat Jawa untuk Semua. Jakarta: Serambi.
Sarwiyono, Ratih. (2007). Ki Ageng Suryomentaram: Sang Plato dari Jawa. Yogyakarta: Cemerlang Publishing.
Suryomentaram, Grangsang, dan Suastika, Ki Oto. (1986). Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram III. Jakarta: PT. Idayu Press.