Taman Siswa
Taman Siswa atau National Onderwijs Instituut “Taman Siswa” adalah institusi pendidikan yang membangun konsep pendidikan nasional di masa kolonial. Institusi ini didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Soewardi Soerjaningrat, yang selanjutnya dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara[1] . Sebelum mendirikan Taman Siswa, Soewardi Soerjaningrat telah aktif dalam dunia politik dan jurnalistik. Awal perjuangan politik Soewardi dimulai lewat jusnalistik dengan bekerja di harian Sediotomo di Yogyakarta, Midden Java di Semarang dan De Expres di Bandung. Soewardi juga menjadi anggota redaksi di harian Kaum Muda, Utusan Hindia dan Tjahaja Timur serta mengasuh majalah Het Tijdscrift di Bandung yang berada di bawah pimpinan Douwes Dekker (Sularto 2015: 58-59). Soewardi Soerjaningrat bersama-sama Dokter Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij (IP) pada 1912 dan sebelumnya sempat bergabung dengan Boedi Oetomo (BO) serta Sarekat Islam (SI cabang Bandung) (Darsiti Soeratman 1981/1982: 35).
Pendirian Taman Siswa merupakan bagian dari gerakan kebudayaan nasionalis karena pendidikannya dirancang sebagai sarana membangun budaya nasional untuk menandingi budaya kolonial yang mendominasi Hindia Belanda pada awal abad ke-20 (Dewantara 1962: 47). Penguatan identitas nasional semakin terlihat dengan penggantian penggunaan nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa setelah konggresnya yang pertama pada 1930 (Sayoga 1981: 208-209). Dalam tulisan berjudul “Bertoemboehnja Pergoeroen Nasional Diatas Koeboer Westerschkoloniaal Schoolsysteem” Ki Hadjar Dewantara menjelaskan cita-cita akan terbangunnya sebuah masyarakat Indonesia, yang “bukan” masyarakat Hindia Belanda (Poesara, 1931). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Taman Siswa menyusun kurikulum sendiri yang tidak menggunakan standar kurikulum pemerintah kolonial.
Ciri khas Taman Siswa yang membedakan dengan institusi pendidikan kolonial adalah penyebutan sekolah sebagai perguruan (peguron) yang berarti tempat di mana guru tinggal dan pusatnya studi; berarti juga ajarannya itu sendiri, di mana pribadi guru itu merupakan unsur terkemuka atau diartikan haluan yang dianut. Lingkungan demikian oleh Ki Hadjar Dewantara disebut “rumah sekolah,” yang menunjukkan adanya kegiatan murid-murid di waktu pagi, siang, maupun petang di bawah pimpinan guru-gurunya (Dewantara 1962: 56- 57).
Taman Siswa juga memperkenalkan panggilan “bapak” atau “ibu” terhadap guru-gurunya. Panggilan ini mengandung prinsip bahwa guru yang diberi kedudukan sebagai “pamong” berarti menempati posisi sebagai “bapak” atau “ibu” bagi murid-muridnya. Sebutan “bapak” dan “ibu” tersebut digunakan untuk menggantikan sebutan-sebutan lama seperti tuan, nona, nyonya (atau meneer, mevrouw atau juffrouw) dan di Jawa sebutan mas behi, den behi, ndoro yang dinilai tidak boleh lagi berlaku dalam keluarga Taman Siswa (Dewantara 1981: 61).
Dalam mewujudkan pendidikan yang nasionalis, Taman Siswa menekankan prinsip kemerdekaan dan kemandirian. Prinsip tersebut diantaranya dimuat dalam majalah Wasita pada 1928: “Manusia merdeka yaitu manusia jang hidupnja lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri” (Wasita, Desember 1928; Dewantara 1962: 3)
Prinsip kemerdekaan dan kemandirian Taman Siswa diimplementasikan dengan menyusun kurikulum pendidikan yang tidak mengikuti standar pendidikan serta tidak menerima subsidi dari pemerintah kolonial (Ricklefs 1995: 268). Selain itu, prinsip tersebut terlihat dari sikap penentangan Taman Siswa terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Misalnya, Taman Siswa melakukan penolakan ketika pada 17 September 1932 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No. 494 tentang Onderwijs Ordonnantie Sekolah Partikelir yang selanjutnya dikenal dengan Ordonansi Sekolah Liar 1932, atau yang Ki Hadjar Dewantara menyebutnya sebagai Ordonansi Pengajaran (Poesara, Oktober 1932).
Isi ordonansi tersebut adalah memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai oleh negara; misalnya sekolah partikelir maupun guru-gurunya sebelum memberi pelajaran harus mempunyai izin dan isi pelajaran tidak boleh melanggar peraturan negara dan sesuai dengan sekolah pemerintah (Sajoga 1981: 230-231). Izin tersebut juga harus memenuhi syarat bahwa pemohon merupakan orang yang dipercaya pemerintah, tidak akan melanggar ketertiban dan ketenteraman umum, dan merupakan lulusan sekolah pemerintah (Dewantara 1988: 151).
Bagi Taman Siswa, ordonansi yang diberlakukan per 1 Oktober 1932 tersebut mengancam keberadaan sekolah-sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi pemerintah kolonial. Oleh karena itu, atas mandat Majelis Luhur Taman Siswa, sehari sesudah ordonansi diberlakukan Ki Hadjar Dewantara mengirimkan telegram kepada Gubernur Jenderal di Bogor yang berisi penolakan (Sularto 2015: 74). Penentangan terhadap ordonansi tersebut mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi baik yang bergerak di bidang pendidikan maupun politik (Poesara, Nopember-Desember1932).
Karena sifat nasionalnya, Taman Siswa berkembang pesat ke seluruh Nusantara. Berdasarkan data masuknya uang iuran guna kas sentral Persatuan Taman Siswa, diperoleh data jumlah cabang Taman Siswa pada November 1931 sebanyak 91 (Poesara, Nopember 1931), pada Juni 1933 telah meningkat menjadi 138 cabang (Poesara, Djoeli 1933), Juli 1934 menunjukkan jumlah 166 cabang (Poesara, Djoeli 1934) dan Juli 1935 telah menjadi 181 (Poesara, Agoestoes 1935). Selanjutnya menjelang Perang Dunia II Taman Siswa memiliki 199 cabang (Hing 1978: 41[2] ).
Ketika Indonesia merdeka, Taman Siswa tidak mengalami perkembangan pesat lagi, namun eksistensinya tetap diakui. Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan tanggal lahirnya, 2 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, serta Tut Wuri Handayani menjadi semboyan pendidikan Indonesia. Pada 2006 Taman Siswa tercatat memiliki 129 cabang dengan 277 sekolah dan 6 perguruan tinggi (Laporan Pertanggungjawaban, 2006: 35-36).
Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Bambang Sokawati Dewantara (1988). Ki Hadjar Dewantara Ayahku. Jakarta: Sinar Harapan.
Dewantara, Ki Hadjar Dewantara (1962). Bagian Pertama. Pendidikan. Jogjakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hadjar (1981). Azas-azas dan Dasar-dasar Taman Siswa”, Taman Siswa 30 Tahun. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, Cetakan Ketiga.
Hing, Lee Kam (1978). “The Taman Siswa in Postwar Indonesia”, Indonesia, No. 25, April.
Laporan Pertanggungjawaban Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Masa Bakti 2001-2006. Disampaikan dalam Kongres XIX Persatuan Tamansiswa Tanggal 11-15 Desember 2006 di Yogyakarta.
Poesara, Djilid I, No. 3-4-5 Nopember 1931.
Poesara, Dl. III No. 1, Oktober 1932.
Poesara, Dj. III, No. 2-3, Nopember-Desember 1932
Poesara, Dj. III. No. 10, Djoeli 1933
Poesara, Dj. IV. No. 10, Djoeli 1934.
Poesara, Djilid V No. 10. Agoestoes 1935.
Ricklefs, M.C. (1995). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiry Press, Cetakan Kelima.
Sajoga (1981). “Riwayat Perjuangan Taman Siswa, 1922-1952”, 30 Tahun Tamansiswa, 1922-1952. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, Cetakan Ketiga.
Soeratman, Darsiti (1981/1982). Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Sularto, St. (2015). Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Jakarta: Kompas: Kompas, 2016.
Wasita, Djilid I No. 3, Desember 1928.